Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lail Al-Qadr, Itikaf dan Tajdid Al-Nafs

1 April 2024   22:14 Diperbarui: 1 April 2024   22:27 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perbedaan demikian pada akhirnya berimplikasi juga pada malam ganjil-genap dalam bulan Ramadhan. Misalnya, Muhammadiyah duluan berpuasa Ramadhan, maka malam ganjilnya pada sepuluh hari terakhir juga duluan. Sementara NU-Pemerintah malam ganjilnya belakangan. Ketika Muhammadiyah bermalam ganjil, maka NU-Pemerintah malah bermalam genap. Sebaliknya, ketika Muhammadiyah bermalam genap, NU-Pemerintah malah bermalam ganjil. Starting malam ganjilnya Muhammadiyah pada sepuluh hari terakhir (malam ke-21) dimulai pada malam tanggal 30 Maret. Sementara NU-Pemerintah memasuki malam ke-21 pada  tanggal 31 Maret.

Di situ tidak bermaksud berbicara pada tataran siapa yang paling benar dan siapa yang salah. Akan tetapi, hanya mengungkapkan salah satu keunikan umat Islam dalam merayakan hari keagamaannya. Terlepas dari itu, rupanya perbedaan dan keragaman semacam itu malah memberikan hikmah lain bagi umat Islam. Setidak-tidaknya hikmah ketika memasuki sepuluh hari terakhir. Di mana perbedaan dan keragaman semacam itu bisa dimaknai bahwa tidak ada malam genap pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan alias semuanya serba malam ganjil. Sehingga, lebih memacu adrenalin umat Islam untuk memaksimalkan ibadah pada sepuluh hari terakhir.

Kesadaran dan Spirit Tajdid al-Nafs

 

Dengan keagungan, kedahsyatan dan keutamaan (dari) peristiwa lail al-qadr pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka wajar kemudian di sana ada mobilitas kesalehan spiritual. Umat Islam benar-benar mewujudkan konsep "fastabiqul khairat" (berpacu dan berlomba-lomba dalam kebaikan). Di sana akan ditemukan gelombang "massa-umat" yang memilih untuk melakukan i'tikaf dalam rangka untuk bisa berjumpa dengan peristiwa lail al-qadr. Tidak hanya orang yang hari-harinya hidup dalam spektrum kesalehan spiritual yang menghidupkan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dengan melakukan i'tikaf, akan tetapi juga orang-orang biasa sekalipun.

Tentunya, tidak ada yang salah dengan fenomena mobilitas kesalehan spiritual pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tidak seperti anggapan sebagian orang bahwa fenomena keberagaman semacam itu merupakan fenomena gunung es dari laku "keberagamaan kekanak-kanakan". Karena orang-orang berpahaman demikian mengandaikan bahwa etos dan fenomena keberagaman semacam itu dipicu dan dipacu oleh "janji-janji manis" dalam beragama berupa mendapat keutamaan dari peristiwa lail al-qadr yang di dalamnya terdapat bonus kebaikan besar-besaran, mulai dari kemuliaan, keberkahan, kesejahteraan dan malam seribu bulan.

Bagi mereka, beragama dengan mengejar dan atau mengorientasikan kesalehan spiritual dalam beragama karena (sengaja tanpa menggunakan kata semat) "memburu" apa-apa yang menjadi "janji-janji manis" yang ditetapkan dalam doktrin keagamaan berupa bonus kebaikan adalah bagian dari manifest laku "keberagamaan kekanak-kanakan". Di mana salah satu indikator laku "keberagamaan kekanak-kanakan" adalah beribadah dalam rangka "memburu" bonus kebaikan yang dijanjikan dalam agama. Jika tidak ada "janji-janji manis", maka diandaikan tidak akan mungkin ada mobilitas kesalehan spiritual. Entah, logika semacam itu berangkat dari riset atau bukan.

Pandangan demikian nyaris sama dengan sebuah ungkapan yang sering dinisbatkan kepada Imam Ali, yakni "jangan beribadah laiknya pedagang yang mengharapkan untung dan jangan pula beribadah laiknya pembantu yang takut akan majikannya, tetapi beribadah karena cinta kepada-Nya". Ungkapan demikian juga serupa dengan salah satu ungkapan dinisbatkan kepada Rabiah Adawiyah ketika bergumam dalam kesunyian pendakian spiritual bahwa "kalau ibadah ku karena mengharapkan surgan-Mu, maka jauhkanlah daku dari surga-Mu dan kalau ibadahku karena takut neraka-Mu, maka campakkan daku dalam neraka-Mu, tetapi ibadah ku semata karena cinta".

Lalu, di mana letak problematiknya dari ungkapan-ungkapan semacam itu? Sebenarnya banyak sekali problem yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan tersebut. Namun, akan dijelaskan beberapa di antaranya yang dipandang penting dan relevan (saja). Pertama; semua kita pasti sepakat (tidak perlu melakukan survei dan observasi dalam bentuk wawancara dan angket untuk memastikannya sebab kebenarannya dapat diterima semua orang yang masih waras dengan tingkat keilmuan dan kecerdasan yang dimiliki) bahwa etos dan fenomena keberagaman semacam itu tidak ada yang salah. Tidak melanggar dan bertentangan dengan logika agama. Apalagi logika mereka.

Kedua; malah ungkapan-ungkapan di atas dipandang bertentangan dengan teks bahasa agama yang berbicara tentang trend beramal saleh. Di mana banyak teks bahasa agama menuntun umatnya untuk mengharapkan balasan kebaikan dari pelbagai kebaikan yang dilakukan. Bahkan banyak teks bahasa agama datang dalam bentuk perintah. Misalnya, perintah Allah untuk bersegera kepada ampunan Allah dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang diperuntukkan kepada orang-orang bertakwa (QS Ali Imran/133). Teks bahasa agama ini secara jelas memerintahkan untuk beristighfar sekaligus mengharapkan dan menuju surga yang disiapkan untuk orang bertakwa.

Dalam kaitannya dengan aspek epistemologis misalnya, juga terdapat banyak keterangan dari teks bahasa agama di antaranya QS Thaha/114 tentang perintah Allah kenapa Nabi saw untuk meminta tambahan nikmat ilmu. Pun doa familiar Nabi kepada seorang Ibnu Abbas yang berbunyi "allahumma faqqihhu fiddin wa a'llimhuttakwil" (HR Ahmad). Begitu pula doa-doa tentang masalah ini, yaitu doa yang untuk dibaca selepas zikir Subuh yang berbunyi "allahumma inni as-aluka 'ilman naafi'an wa rizqon thoyyiban wa 'amalan mutaqabbalan" (HR Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya). Masih banyak doa-doa lainnya yang di dalamnya mengandung permohonan dan harapan untuk kebaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun