Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar

Seorang bapak yang mengumpulkan kenangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bau

18 Oktober 2024   00:14 Diperbarui: 18 Oktober 2024   01:56 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah enam jam lamanya Pono berkutat di kamar mandi. Mulanya ia mencoba menggosok kulit tubuhnya dengan spons yang dipenuhi busa sabun, tapi busa-busa yang telah menutupi tubuhnya itu tak mampu merubah apapun. Bau tubuhnya tak jua kunjung hilang. Bau yang keluar dari tubuhnya itu begitu menyengat dan busuk. 

Ia merasa bahwa tubuhnya mengeluarkan aroma seperti sampah di tempat pembuangan sampah apartemen di lantai bawah. Ia terus menggosok dan menggosok kulitnya, hingga lecet, sementara setengah botol sabun cair sudah  digunakannya, namun tak jua mampu membuat bau itu hilang. Ia kemudian mencoba berendam dengan sisa sabun yang ada, sudah berjam-jam hingga tertidur saking lamanya, tapi bahkan wangi strawberry itu sama sekali tak membekas ditubuhnya.

Ia bangkit dan mengambil botol parfum di almari, dituangkannya pula botol parfum ke dalam bak mandi, tapi bau sampah itu tetap di sana. Tak berkurang barang sedikit. Padahal ia tetap dapat mencium wangi strawberry  bercampur parfum eropa itu dalam busa yang digenggamnya, namun bila ia menghirup bau tubuhnya, hidungnya seperti ditusuk obeng hingga berdarah. Bau sampah itu keluar terus dari tubuhnya.

"Barangkali spons ini tak mampu membersihkan apa-apa." Ucapnya pada dirinya sendiri.

Dengan kalap, diraihnya spons kawat pencuci piring, yang biasa digunakannya untuk menggosok kerak di penggorengan. Terus digosoknya kembali kulit tubuhnya, dan begitulah spons kawat itu menari-nari, berputar di kulitnya, masih dalam bak mandi, terus menggosok hingga kulitnya mengelupas dan kini  berdarah-darah. Luka-luka itu makin perih terkena sabun, Tapi, bau sampah itu tetap hadir mendekap erat tubuhnya, tak mau melepaskannya barang sejenak.

...

Hal itu bermula ketika ia terbangun dari tidurnya, Pono  merasa amat berkeringat, padahal suhu pendingin ruangan dalam kamar apartemennya sudah disetel enam belas derajat, tapi tetap saja panas dari dalam tubuhnya itu merayap memenuhi setiap urat, lalu mendidihkan darahnya, mengeluarkan banyak keringat. 

Rasanya kemudian keringat-keringat itu membuat tubuhnya begitu bau, bau yang amat busuk keluar begitu saja dari tubuhnya. Padahal ia tak menggunakan pakaian barang sehelaipun. Ia tidur dengan bertelanjang namun tak merubah apa-apa. Dibukanya tirai yang menutupi jendela, melihat hujan deras di luar. Awan gelap bergulung menutupi mentari. Tapi mengapa terasa panas begini? Batinnya dalam hati.

Awalnya dikiranya pendingin ruangan itu tidak berfungsi dengan benar. Akhirnya Pono mencoba menelepon tukang perbaikan. Ia menunggu beberapa waktu sambil berdiri di depan jendela yang terbuka, tapi masih tak terasa angin dingin menerpa tubuhnya.

Pono masih bertelanjang, sementara menunggu tukang datang, dibukanya pintu belakang, berdiri ia di balkon, sambil memandangi hujan yang begitu deras. Tapi mengapa tetap saja serasa mendidih darah di dalam urat-uratnya?

Sampai datang si tukang yang ditunggu, mengetuk pintu, dan terheran-heran melihatnya membuka pintu menutupi tubuhnya hanya dengan bercelana dalam.

"Yang mana yang rusak, Pak?"

"Semua pendingin di ruangan apartemen ini panas!"

"Bapak sudah sinting? Tidak lihat saya menggigigil begini? Mau mempermainkan saya, ya?"

"Mempermainkan bagaimana?"

"Pendingin ruangan Bapak nyala semua, hujan deras, cuaca dingin begini, malah telanjang, masih bilang panas!"

"Memang panas kok!"

"Barangkali bapak harus tinggal di Kutub Utara! Kalau mau ngerjain jangan begini, Pak!"

"Saya bayar kamu sepuluh kali lipat, perbaiki pendingin ruangannya!" Bentak pemuda itu seraya mengambil dompetnya. Diperlihatkannya berlembar-lembar ratusan ribu.

"Nih lihat! Saya punya uang! Kalau ini kurang, saya ambilkan di ATM!"

"Sinting!"

Tukang itu keluar dengan membanting pintu. Pono ditinggal sendirian, Panas dalam tubuhnya begitu terus membuatnya tersiksa, seperti ada bara dalam dirinya, terus membuat keringatnya keluar.

Begitulah panas itu dirasakannya, lalu berpikir barangkali ada yang salah dengan tubuhnya? Kesehatannya? Ia pun  berpakaian, menyemprot parfum, keluar kamar apartemennya dan hendak turun ke klinik lantai dasar.

Ketika menunggu lift untuk turun ia berpapasan dengan perempuan gempal tukang bersih-bersih.

"Wangi sekali, seperti biasanya, Mas Pono."

Ia menciumi parfum itu. Parfum pria eropa mahal yang memang cocok untuk dirinya. Ia tersenyum bangga.

"Terima kasih."

"Mau ke mana, Mas?"

"Saya agak nggak enak badan, mau pergi ke klinik bawah."

Ia pun meminta diri ketika lift untuk turun terbuka.

Dokter yang memeriksa berkata tidak ada yang salah dengan tubuhnya, kesehatannya baik, semua pemeriksaannya  normal. Pono pun keluar dari klinik dengan kepala yang mulai berasap, sambil menyumpah serapah,

"Dasar klinik murahan, pastilah alat-alat murah itu tak dapat mendeteksi penyakitku."

Pono mengunjungi berbagai rumah sakit terkenal di kota itu, tapi benar-benar tak ada satupun dokter berkata bahwa ia sakit. Ia pun memaki-maki sepanjang perjalanan pulang.

Begitulah kemudian ia kembali ke kamar apartemen dengan asap keluar dari kepalanya, dan bau-bau busuk itu mulai keluar dari tubuhnya, bau busuk yang tak dibayangkannya sebelumnya.

Keringatnya keluar dari pori-pori tubuhnya, dirabanya kulitnya, keringat itu begitu menjijikkan, dirasakannya seperti cairan oli yang biasa rembes dari mesin mobilnya, mengental, berlendir, membuatnya berteriak kesetanan. Serasa ada yang memutar pengocok telur dalam perutnya. Ia pun dengan tergesa pergi ke kamar mandi. Menggosok kulitnya berjam-jam seperti sekarang ini.

Rasanya, malam itu begitu tambah mencekam, ketika kepalanya terus terbakar dan mengeluarkan asap yang juga berbau busuk, ia mengamati bayang-bayang tubuhnya, yang bergoyang-goyang, begitulah sesaat kemudian dari luka-luka menjijikkan yang terbuka di kulitnya itu, kecoak-kecoak kecil merayap keluar, hitam, berbuku-buku, bergerak-gerak. Dilihatnya pemandangan aneh itu, bercampur dengan bau busuk menyengat yang masih juga terus keluar dari tubuhnya,  nafasnya memburu.

Kecoak-kecoak kecil itu banyak sekali. Merayap begitu saja, bersamaan dengan lendir keringat sekental oli. Sementara Pono berusaha menyingkirkannya satu per satu, berendam dalam bak mandi pun tak berguna, air sabun telah bercampur minyak keringat yang kental diatasnya, sementara kecoak itu terus bertebaran, terbang.

Terbirit-birit ia keluar kamar mandi dan mengambil semprotan anti serangga, dibunuhnya kecoak-kecoak merayap itu yang telah memenuhi lantai, dinding, sofa, meja, ranjang, rak piring, meski kecoak-kecoak itu mati, tapi dari luka-luka tubuhnya, terus kembali keluar begitu saja kecoak-kecoak yang menjijikkan, merayap, bersamaan dengan lendir kental keringat, kecoak-kecoak itu beterbangan, terus memenuhi ruangan apartemen itu, setiap dibasminya kecoak yang keluar, dari luka kulitnya terus keluar lagi. Sementara lantai dan dimanapun juga berceceran lendir keringat yang kental seperti oli.

Maka diambilnya senar pancing dari peralatan pancingnya yang mahal di gudang, lalu meraih jarum dari sebuah laci. Ditutupnya lubang luka di sekujur tubuhnya itu, dengan tangannya sendiri, dijahitnya luka-luka itu, di dada, di perut,  tangan, lengan, paha, betis, leher, pipi, yang perlahan malah kelihatan menggembung dan terus menggembung, kecoak-kecoak itu tak dapat keluar lagi. Namun itu tak berlangsung lama.

Karena perlahan senar-senar pancing itupun terbuka juga, dan bertebaran keluarlah kecoak-kecoak yang meronta-ronta sedari tadi, juga lendir kental yang membuncah, berceceran di lantai, diikuti bau busuk, kecoak-kecoak itu terus memenuhi ruangan dan mencoba keluar lewat sela pintu.

Serangga-serangga menjijikkan itu terus merayap ke setiap celah ruangan-ruangan lain di apartemen itu, menimbulkan keributan tetangga-tetangga sebelah kamarnya yang merasa jijik dan terganggu, membuat mereka terpaksa keluar dari pintu-pintu kamar. Para penghuni apartemen menjerit-jerit melihat pemandangan mengerikan itu, mendapati Pono berlari-lari dengan tubuh yang ditutupi gerombolan serangga hitam, sementara kecoak-kecoak itu terus merayapi lantai, dinding dan langit-langit.

... 

Di dalam sebuah ruangan ber-AC yang terasa begitu dingin, Pono tengah duduk di sebuah kursi kulit hitam, menatap layar laptop di depannya. Tim suksesnya, yang terdiri dari beberapa orang berpakaian rapi, duduk mengelilingi meja, sibuk mencatat dan berdiskusi. Di dinding ruangan, terpampang poster besar bergambar wajah Pono, dengan songkok hitam berjas dan berdasi, juga  senyum lebar, disertai slogan: 

"Pono Jamin Rakyat Sejahtera!"

Seorang pria berkacamata membolak-balik beberapa lembar kertas di depannya menyadari Pono yang kurang menyimak, dan menyeru, 

"Pak, Pak Pono!"

"He, maaf, sampai mana tadi?" sahut Pono agak kaget. 

"Jadi, besok kita mulai di stadion kota pukul sepuluh, Pak. Spanduk-spanduk sudah terpasang, panggung sudah siap. Bapak hanya perlu bicara seperti biasa, Pak Pono. Jangan lupa, singgung soal bantuan sosial, dan reformasi hukum."

Pono mengangguk pelan. "Kita harus pastikan tidak ada cacat. Semuanya sudah diamankan?"

"Semua bersih, Pak. Tidak ada masalah," jawab pria lain, dengan senyum meyakinkan. "Bapak tentu punya citra yang sempurna di mata publik. Elektabilitas Bapak melejit, mereka percaya pada Bapak."

Namun, di saat yang bersamaan, Pono entah mengapa sedari tadi mulai merasakan panas dari dalam tubuhnya. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya, sementara udara ruangan perlahan terasa makin pengap. Ia menyesap kopi di depannya, mencoba mengalihkan rasa tidak nyaman yang mulai menyelinap.

"Kampanye besok harus jadi yang terbesar," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Kita tidak boleh gagal!"

Tiba-tiba, seorang wanita di timnya menyadari sesuatu. 

"Maaf Pak Pono, apakah Bapak baik-baik saja? Wajah Bapak... kelihatan sangat pucat. Bapak juga berkeringat, apakah Bapak kurang sehat?"

Pono menggeleng cepat, memaksakan senyum. 

"Lho, saya tentu baik-baik saja. Hanya sedikit lelah."

Aroma kurang sedap mulai merayap samar-samar di ruangan itu. Salah satu anggota tim sukses mengerutkan kening, memeriksa sekeliling. Pono bergegas berdiri, menyudahi pertemuan.

"Baik, kita sudahi di sini. Besok pagi kita bertemu di lokasi, sisanya saya serahkan pada kalian, jangan lupa para buzzer harus bekerja siang-malam untuk menyerang berita atau konten-konten yang dapat  membahayakan reputasi saya, tambahkan juga dana untuk influncer!" katanya terburu-buru.

Ketika Pono melangkah keluar, tangannya gemetar. Sesaat sebelum pintu tertutup di belakangnya, seorang anggota timnya berbisik kepada yang lain, 

"Apakah ada di antara kalian yang mencium bau busuk tadi?"

"Itu! Itu, baunya dari sana!" sahut seseorang. 

Anggota tim kampanye satu per satu  mendekat, memandang sebuah foto dalam pigura yang tergantung di sisi kanan ruangan di mana bau itu berasal. Itu adalah sebuah dokumentasi yang diambil ketika beberapa bulan lalu, Pono melakukan sebuah kunjungan ke sebuah  sungai pinggiran kota dengan pemandangan hitam pekat, juga berbagai tumpukan sampah-sampah. 

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun