*
Ibu mengirimku  tinggal di asrama dan pulang hanya pada masa libur sekolah. Ini membuatku agak kebingungan saat ayah datang menjenguk untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun.
Saat aku membuka kotak hadiahnya, ternyata ayah memberikan seuntai kalung berliontin merah. Tepat dua minggu kemudian ayah meninggal dan itu adalah pertemuan kami yang terakhir.
Aku meminta izin pulang dan menemukan ibu menangis tanpa henti di depan jenazah ayah. Aku bisa mengerti karena tiga orang adikku masih kecil dan membutuhkan peran ayah.
Selain itu aku juga meyakini ibu merasa terpukul kehilangan orang yang dicintainya. Ibu dan ayah adalah pasangan yang serasi. Mereka sangat harmonis dan saling melengkapi. Tetapi desas-desus yang beredar mengatakan ibu merasa senang karena terbebas dari ayah yang sebenarnya mempunyai kepribadian ganda.
"Aku mendengar sendiri, Nak," kata nyonya Paul beberapa hari setelah pemakaman. Dia adalah tetangga kami yang sudah kuanggap seperti nenek semdiri. Sejak aku masih kecil, dia selalu memberi permen dan kue saat melihatku bermain di halaman.
"Setelah pihak kereta api mengirimkan telegram yang berisi nama-nama korban kecelakaan, aku dan putriku datang untuk menghibur nyonya Mariane. Ibumu meninggalkan kami, pergi ke kamar atas dan mengatakan tidak ingin diganggu. Mungkin saat itu dia ingin menenangkan dirinya."
"Ya, Nyonya Paul. Aku masih dalam perjalanan waktu itu."
"Karena ketiga adikmu terus mencari nyonya Mariane, aku meminta putriku naik ke atas untuk memanggilnya. Alangkah mengagetkan karena ibumu berkata-kata sendiri di kamarnya dan mengatakan sihirnya bekerja sangat baik."
Aku sempat meragukan cerita ini karena media memberitakan peristiwa kecelakaan tersebut disebabkan gangguan teknis yang tidak terduga.
Tetapi, semakin lama tuduhan bahwa ibu adalah penyihir semakin ramai terdengar. Sepertinya semua orang percaya ayahku telah meminum ramuan hingga memutuskan untuk menaiki kereta api menuju kantornya yang biasa dilakukannya dengan mobil pribadi.