Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Apakah Aku Harus Percaya Ibuku seorang Penyihir?

27 Desember 2023   10:01 Diperbarui: 27 Desember 2023   10:08 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
MessyNessyChic dari Pinterest

Sepanjang yang aku ketahui, ibuku, Nyonya Mariane, adalah orang biasa dan juga orang baik-baik. Dia mengurus almarhum ayah dan ketiga adikku, sama seperti ibu yang lainnya. Lalu, kenapa penduduk Dreamtown bergosip dia seorang penyihir?

Dengan langkah pelan aku berjalan memasuki dapur, seraya menerka apakah ini waktu yang tepat untuk membahasnya? Ibu sedang sibuk dengan ragi yang harus dia takar secara akurat. Tetapi membicarakan masalah ini, akan memudahkan keputusanku nantinya.

"Ada apa denganmu, Cara? Ayo, kemarilah jika kau ingin belajar membuat roti yang terlezat di dunia!"

Aku tertangkap basah. Ibu mengetahui kedatanganku meski aku berusaha muncul secara diam-diam. Padahal aku yakin sejak tadi ibu hanya menatap mangkuk adonannya dan belum pernah beranjak dari situ.

"Sayang?"

"Bagaimana ibu tahu aku di sini?" 

Baca juga: Cerpen Bergaya

"Tentu karena ibu merasakan sesuatu yang tiba-tiba mengisi ruangan ini. Lalu angin berhenti masuk ke dapur. Apa kau tak pernah seperti itu?" Ibu memandangku, lalu tersenyum sebentar. 

Oh ya ampun! Mengapa aku bisa berpikir ibu menggunakan kekuatan sebagai penyihir untuk mengetahui segalanya? 

Meski aku tak bermaksud ingin belajar membuat roti, aku mendekat dan mengamati apa yang sedang dilakukannya. 

"Apakah ibu mengukur suhu airnya untuk raginya?"

Di sekolah yang kumasuki, kami belajar tentang bagaimana mengelola bisnis. Ini adalah keinginan ibu agar aku dapat mengurus toko roti miliknya kelak. Tapi aku sama sekali tak mengerti urusan di dapur.

"Tentu, Sayang. Kau harus membuatnya di antara empat puluh tiga sampai empat puluh enam derajat. Segalanya akan berlangsung baik dalam situasi yang tepat, bukan?" 

Aku mengangguk mengerti.

"Ibu, apakah aku boleh bertanya sesuatu?"

"Apakah ini tentang sekolahmu?"

"Sayangnya bukan."

"Baiklah, kau boleh bertanya." Ibu tersenyum penasaran.

"Sebenarnya, aku ingin tahu apakah ibu menggunakan kekuatan sihir untuk tujuan tertentu?"

"Pertanyaan apa ini, Cara?" ibu kaget bercampur heran.

"Ibu tahu kekuatan yang kumaksudkan itu bisa menembus dimensi padat sekalipun."

Ibu menatapku.

"Cara sayang, kau terlalu banyak membaca komik."

"Bu, semua orang telah mengaitkan meninggalnya ayah disebabkan sihir yang ibu lakukan."

"Kau juga percaya?"

"Aku butuh ibu memberitahuku dan aku akan mempercayai apapun yang ibu katakan."

Ibu terduduk di kursi kayu peninggalan nenek. Kursi itu begitu besar, sampai-sampai jika aku duduk di sana aku seperti tenggelam ke dalamnya. 

Kelembutan di wajah ibu berubah menjadi kesedihan. Tapi aku masih punya satu pertanyaan kunci.

"Aku menemukan beberapa botol berisi ramuan. Itu milik ibu, kan?"

"Kau juga memeriksa barang pribadi ibu?"

"Sebenarnya aku tidak bermaksud...."

"Cara, kita harus menghentikan pembicaraan ini. Ibu masih harus melanjutkan membuat roti pesanan keluarga Miguel."

Aku beranjak meninggalkan ibu, dan menangis menyalahkan kebodohanku. Bagaimana aku bisa lancang kepada wanita yang telah melahirkanku?

*

Ibu mengirimku  tinggal di asrama dan pulang hanya pada masa libur sekolah. Ini membuatku agak kebingungan saat ayah datang menjenguk untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun.

Saat aku membuka kotak hadiahnya, ternyata ayah memberikan seuntai kalung berliontin merah. Tepat dua minggu kemudian ayah meninggal dan itu adalah pertemuan kami yang terakhir.

Aku meminta izin pulang dan menemukan ibu menangis tanpa henti di depan jenazah ayah. Aku bisa mengerti karena tiga orang adikku masih kecil dan membutuhkan peran ayah.

Selain itu aku juga meyakini ibu merasa terpukul kehilangan orang yang dicintainya. Ibu dan ayah adalah pasangan yang serasi. Mereka sangat harmonis dan saling melengkapi. Tetapi desas-desus yang beredar mengatakan ibu merasa senang karena terbebas dari ayah yang sebenarnya mempunyai kepribadian ganda.

"Aku mendengar sendiri, Nak," kata nyonya Paul beberapa hari setelah pemakaman. Dia adalah tetangga kami yang sudah kuanggap seperti nenek semdiri. Sejak aku masih kecil, dia selalu memberi permen dan kue saat melihatku bermain di halaman.

"Setelah pihak kereta api mengirimkan telegram yang berisi nama-nama korban kecelakaan, aku dan putriku datang untuk menghibur nyonya Mariane. Ibumu meninggalkan kami, pergi ke kamar atas dan mengatakan tidak ingin diganggu. Mungkin saat itu dia ingin menenangkan dirinya."

"Ya, Nyonya Paul. Aku masih dalam perjalanan waktu itu."

"Karena ketiga adikmu terus mencari nyonya Mariane, aku meminta putriku naik ke atas untuk memanggilnya. Alangkah mengagetkan karena ibumu berkata-kata sendiri di kamarnya dan mengatakan sihirnya bekerja sangat baik."

Aku sempat meragukan cerita ini karena media memberitakan peristiwa kecelakaan tersebut disebabkan gangguan teknis yang tidak terduga.

Tetapi, semakin lama tuduhan bahwa ibu adalah penyihir semakin ramai terdengar. Sepertinya semua orang percaya ayahku telah meminum ramuan hingga memutuskan untuk menaiki kereta api menuju kantornya yang biasa dilakukannya dengan mobil pribadi.

Dan lebih buruk lagi, mereka mengatakan ini adalah siasat licik ibu agar mobil itu tetap utuh dan bisa digunakan pulang-pergi ke toko roti.

Sebagai anak yang baik, aku berusaha tidak mengungkit lagi apa yang menjadi rasa penasaranku. Aku juga tidak lagi menanyakan apakah kematian ayah disebabkan karena sihir yang dilakukan ibu. 

Saat aku lulus dari sekolah, ibu telah memiliki sebuah toko dengan dua pegawai di bagian penjualan dan lima orang pekerja yang membantunya di bagian produksi. Kelezatan roti buatan ibu membuat usaha ibu maju pesat pada tahun pertama.  

Sayang, pada bulan kelima aku di sana, ibu jatuh sakit dan meninggal tak lama kemudian. Kali ini aku benar-benar merasa terpukul karena ibu meninggalkan bisnisnya dan juga ketiga adikku yang masih bersekolah.

Aku termenung di belakang meja kasir, setelah para pengantri itu pergi membawa roti favorit mereka. Wajah mereka dihiasi senyum dan kepuasan karena produk "Mariane's Bakery" adalah yang terlezat di seluruh Dreamtown.

Ibu seorang penyihir atau bukan, bagiku dia mencintai keluarganya sampai akhir hidupnya.

***

Kota Kayu, 27 Desember 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun