Tapi Elyana tak keberatan jika harus mengalami hal yang sama. Dia akan menjaga anaknya yang sedang sakit meski suaminya tidur pulas. Dia baru akan merasa berarti jika kehadirannya dibutuhkan oleh anak-anaknya. Elyana akan memberikan seluruh hidupnya.
"Baiklah. Apakah aku harus keluar selama proses perceraian; atau kau ingin aku tetap menjagamu dulu?" tanya Willy setelah mendengar semuanya. Dia merasa berat hati, tapi dia tidak ingin membuat Elyana menderita.
"Aku ingin mempunyai rumah yang baru. Rumah ini bisa membuatku gila karena dipenuhi kenangan kebersamaan kita. Sebagai gantinya kau boleh ambil semua perhiasanku. Tolong carikan rumah yang cukup nyaman."
*
Akhirnya surat perceraian pun sampai di tangan Elyana. Dia merasa lega.Â
Sebenarnya dengan keputusan ini, dia merasa dirinya sudah berlaku tidak adil kepada Willy. Dia terlalu egois.
Di sisi lain, mantan suaminya tak melepaskannya pergi membawa tangan kosong. Willy membekalinya dengan tabungan yang cukup. Bahkan akan mengurus segala sesuatunya jika dia ingin memulai usaha.Â
Elyana menolaknya. Dia tidak ingin nantinya disibukkan dengan urusan mencari uang. Dia ingin menjadi ibu seutuhnya.
"Baiklah jika itu keinginanmu." Willy pun berlalu.
Sejak sat itu Elyana tidak pernah memikirkan Willy lagi. Dia juga tidak pernah mencoba menghubunginya sekedar menanyakan kabar atau mengundangnya saat dia menikah dengan Edy.
Salah satu teman lamanya mengenalkan Elyana dengan sepupunya. Pria itu bernama Edy. Dia bekerja di salah satu perusahaan sebagai akuntan senior.