Namaku Suzan, gadis yang kau temukan tegeletak di hamparan salju dalam keadaan tak sadarkan diri.
Sebenarnya saat itu kau sangat terburu-buru karena kereta akan tiba tiga puluh menit lagi. Kau juga sudah mempersiapkan seikat bunga untuk seseorang yang menuggumu di kafe di Rosenheim.Â
Tiba-tiba langkahmu terhenti. Kau tak percaya dengan apa yang kau lihat.
Kau memperhatikan kiri dan kanan. Tidak seorang pun di sana. Kau memutuskan untuk menolong gadis itu, dan menunda pertemuanmu dengan Sharah.Â
Tak ada pria yang benar-benar baik sampai dia mau berhenti untuk menolong orang lain yang tidak dikenalnya.
Aku sangat berterima kasih atas kebaikanmu, meski sebenarnya aku tidak ingin hidup lagi.Â
Akhir-akhir ini semua terasa kacau dan juga hampa. Seharusnya aku menerima cinta dari mereka, namun papa dan mama telah memutuskan untuk berpisah.Â
Aku tak mengerti mengapa orang dewasa masih suka bertengkar dan meski malam hari. Apakah menjadi pasangan seperti mereka sedemikian sulit hingga papa dan mama harus mengambil keputusan seperti ini?
Lalu setiap pagi mama keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah. Malam hari saat mama kembali, wajahnya terlihat begitu lelah.Â
Lumayan banyak makanan yang mama bawa. Mama menyuruhku menghabiskan roti dengan selai kacang karena besok pagi masih ada sosis yang bisa kunikmati sebelum berangkat sekolah.
Saat itu mama mulai sedikit bicara kecuali untuk hal yang benar-benar penting saja. Mama juga mulai jarang senyum meski aku merindukan mama seharian.
Sampai suatu hari mama diberhentikan dari tempatnya bekerja. Saat itu aku mulai batuk dan demam tinggi. Mama membawaku ke rumah sakit dan memelukku sepanjang malam di sana.
Aku tahu mama begitu sayang padaku, tetapi beban permasalahannya membuat dia jauh dariku. Kami bisa sama-sama duduk di meja makan namun mama hanya membisu.
Suatu hari mama memberitahu kalau dia akan bekerja malam. Aku harus tidur dan mengunci semua pintu. Betapa menakutkan berada sendirian di rumah terlebih saat hujan turun dan mataku sulit dipejamkan.
Beberapa bulan berlalu. Mama sedikit lebih bersemangat dan tak pernah lagi menunjukkan sikap yang dingin.
Tetapi aku mendengar gosip di luar yang bernada kurang enak. Mama akan menikah dengan pria muda yang pantas menjadi kakakku!
*
"Hai, apa kau melamun?" kau meletakkan secangkir cokelat panas dan sebuah buku di depanku.
"Aku akan meninggalkanmu di rumah karena harus membeli beberapa keperluan. Jangan pergi keluar sampai aku kembali, mengerti?"
Aku mengangguk ragu dan hampir menahanmu. Tapi akhirnya aku membiarkan kau berlalu dan menutup pintu.
Kau adalah pria muda baik hati. Tetapi Sharah tega memarahimu karena membiarkannya menunggu lama saat itu.Â
Sebenarnya hubungan kalian sudah hampir tujuh bulan terputus karena dia memilih pria lain. Sharah ingin kembali kepadamu dan kau setuju karena rasa sayang yang tidak mudah hilang begitu saja.
Aku semakin merasa bersalah karenanya. Sepertinya aku berada di waktu dan tempat yang salah. Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki senuanya?
Little Fires Everywhere. Sekilas kubaca judul buku yang tadi kau berikan. Sebuah novel yang ditulis oleh Celeste Ng. Aku mencoba membacanya sambil duduk di tepi jendela.
*
"Setiap anak mungkin merasakan kekecewaan tentang ibu mereka. Tetapi menjadi tidak adil jika kau menghakimi wanita yang mengorbankan hidupnya untukmu."
Aku menutup halaman terakhir novel yang kubaca. Aroma masakan yang kau bawa sangat menggoda seleraku.Â
"Apalagi jika ini hanya gosip murahan."
Aku menatap wajahmu. Wajah  dengan ekspresi yang hampir selalu datar, mirip si tampan Bright Vachirawit yang juga tampak innocent.
"Apakah kau tidak sedih karena kehilangan gadis itu untuk kedua kalinya?" aku mengalihkan pembicaraan.
Alismu bertaut. "Maksudmu Sharah?"
Aku mengangguk.
"Mungkin kami tidak berjodoh. Tapi kali ini tidak ada yang terasa perih di sini," kau menyentuh dadamu.
"Mengapa kau ingin mati beku di sana? Kau sangat konyol!" Ternyata kau masih penasaran.
Aku menatap matamu sungguh-sungguh. Tapi aku tidak berani mengatakan di hadapanmu mati menjadi lebih baik ketimbang melihat mama menikah dengan pria itu.
"Mungkin pria itu terlihat lebih muda dari usianya, tetapi sebenarnya tidak. Seharusnya kau bisa menghargai keputusan mamamu karena dia tidak mungkin bertindak salah.
"Tentu saja itu salah!"
"Dengan pergi dari rumah, tidak akan membatalkan keputusan mamamu, atau itu hanya akan membuatnya lebih patah hati."
"Apa kau pernah kehilangan mama?" aku menangkap nada yang aneh dalam kalimatmu.
Kau meluruskan pandangan melewati jendela kaca. Menatap butiran salju yang turun semakin cepat.
"Papa membawaku keluar negeri saat usiaku tujuh tahun. Aku sangat ingin bertemu kakek, apalagi aku belum pernah terbang dengan pesawat."
"Lalu?"
"Musibah gempa terjadi pada hari kedua kami meninggalkan mama sendirian. Semua bangunan roboh dan hancur. Mama ditemukan di bawah reruntuhan dalam keadaan tidak bernyawa."
Speachless, aku benar-benar tidak menyangka kau mengalami semua ini.
"Maafkan aku sudah membuatmu sedih."
Kau menggeleng.
"Berbicaralah dengan mama dari hati ke hati. Ungkapkan bahwa perpisahan mereka telah menyakitimu. Aku akan mengantarmu kalau kau sudah siap."
Kau lalu merangkul bahuku, sambil menggumamkan sesuatu.
"Kau dapat menggantikan Sharah, jika kau menerimaku."
"Keiser, kau mengatakan sesuatu?"
Kau menatapku, lalu menjawab pendek.
"Belum."
***
Kota Kayu, 15 Agustus 2023
Cerpen Ika Ayra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H