Lalu muncul kepik merah di atas daun cabai yang mulai melebar dan subur, entah dari mana arah datangnya.
Matahari mulai meninggi dan hangat, Â tapi Alin belum juga menghubungi.Â
Sudah seminggu ini ia tak berkirim chat balasan untuk ibunya. Bertanya sudah istirahat atau belum pun, tidak. Padahal sebelumnya, itu pertanyaannya paling sering. Maklum ibunya beranjak menua. Ganjil memang. Dan rasanya baru kali ini Alin begini.
"Mak... Mesya lapar..."
"Cium aroma nasi kuning di dapur."
"Ada daging pula, boleh Mesya sarapan duluan?" jelitaku ini setengah berteriak dari atas teras.
Beda dengan Alin, yang selalu tenang dan lembut tutur katanya. Itu pun saat benar-benar sudah berada di sisiku, baru bertanya.
Aku mengangguk saja, enggan berpanjang kata.
Aku kembali menelusuri tanamanku. Beberapa kemangi tampak mengeluarkan cabang-cabang baru. Kelihatan subur dan segar.Â
Lalu mataku menemukan kuncup-kuncup bunga Karamunting, bunga kesukaan Alin. Cantiknya... tepat seperti sulungku yang ceria.
Hari ini engkau berulang tahun, Nak. Apa boleh buat ibu tak punya kado apa-apa untuk dikirim kesana. Tapi ibu punya rindu untukmu, cantikku.