Lewat surel yang masuk Arok melihat foto sosok lelaki paruh baya; targetnya kali ini. Ia tahu lelaki itu. Seorang pengusaha yang sukses, juga sering menjadi pembicara publik. Bagi Arok, apa, siapa, dan kenapa, lelaki ini harus dibunuh itu tidak penting. Asal bayarannya sesuai apa pun ia lakukan.
Alex, nama lelaki itu. Dari luar bisnisnya terlihat bersih. Pertambangan, pabrik kimia, perhotelan, dan kini merambah bisnis kuliner dengan jenama internasional. Namun, ada bau busuk di balik sepak terjangnya. Ia begitu misterius, dingin, tak kenal kasihan, untuk menyingkirkan pesaing bisnisnya. Kalau perlu dengan menghilangkan nyawa. Sudah dengar 'kan, Ronald, seorang pengusaha tambang yang mati tenggelam di laut, seolah-olah karena kecelakaan? Itu semua ulah Alex. Alex menganggap Ronald telah mengganggu bisnis pertambangannya.
Entah kenapa sampai hari ini ia belum tersentuh hukum. Menurut bisik-bisik para pengusaha, Alex dilindungi seorang petinggi kepolisian. Tentu ini tidak gratis. Alex secara rutin mengirim dana perlindungan setiap bulan kepada oknum petinggi polisi itu. Dan banyak lagi jaringan pertemanannya dengan oknum-oknum aparat penegak hukum.
Dan kini Arok akan menghabisinya. Ia sudah mempelajari kebiasaan Alex. Tiap hari apa dan di mana ia main golf, tempat perempuan simpanannya, juga kapan ia ke luar negeri, dan berapa orang pengawal yang melindunginya. Arok sudah mencatatnya semua. Arok juga tahu minggu depan Alex akan menghadiri sebuah seminar dan ia akan menjadi pembicaranya.
Nah, di sana!
Bisa saja Arok menghabisi secara brutal, dengan rentetan tembakan ke arah mobilnya. Atau memasang bom. Tapi ini akan banyak menimbulkan korban. Cara ini sama saja melecehkan dirinya sebagai penembak jitu nomer satu di negeri ini. Arok tidak akan melakukannya.
Arok telah melakukan survei tempat di mana seminar itu akan diadakan. Keluar dari gedung seminar itu biasanya narasumber akan dikerebuti wartawan. Halaman gedung itu banyak pepohonan rindang. Tapi Arok melihat ada sedikit celah. Nanti, dari gedung di seberang, sebuah hotel, Arok akan mengeksekusinya.Â
Ia sudah memperhitungkan dari lantai berapa posisi yang tepat untuk jarak tembak. Arok juga mempertimbangkan kecepatan angin dan halangan rerimbunan daun.
Dan, tibalah!
Lewat teropongnya Arok melihat tamu-tamu sudah berdatangan. Tak lama kemudian terlihat mobil Alex. Pintu mobilnya langsung dikelilingi pengawalnya saat Alex akan keluar.Â
Arok begitu tenang, takada ketegangan pada dirinya. Ini pekerjaan kecil. Lalu ia memantik korek api gasnya, menghisap sebatang rokok. Menghirup kopi. Mm, tak lama, yakin tak sampai dua jam ia menunggu. Benar saja, terlihat Alex keluar dikerubuti wartawan. Terlihat Alex begitu percaya diri menjawab pertanyaan wartawan.
Mobilnya sudah menunggu. Mata Arok makin menyipit lewat lensa teropongnya.
Alex menghampiri mobilnya. Seseorang membukakan pintu. Badan Alex sedikit menunduk akan memasuki mobil.
Detik itu.
Arok menarik pelatuk. Bunyi yang teredam. Dalam sepersekian detik peluru melesat, membelah angin, dan Arok bersiul. Terlihat tubuh Alex  terjengkang.
Arok dengan tenang membereskan peralatannya. Seperti tak terjadi apa-apa ia keluar dari hotel. Ia masih sempat bergurau dengan resepsionis hotel saat pembayaran hotel. Ia selalu menggunakan uang tunai agar tak mudah terlacak. Kartu identitas? Ah, anak yang baru belajar IT pun bisa membuatnya.
Sebulan sebelumnya Arok sudah mengamati di mana letak CCTV, jadi ia sudah tahu badan dan wajahnya diarahkan agar tak tertangkap langsung oleh kamera.
Sekarang ia ingin bersenang-senang dengan, mm ... Dedes.
***
Dedes, dia.
Sama dengan dirinya, Dedes juga seorang pembunuh bayaran. Dia juga seorang penembak jitu. Bedanya, Dedes dalam mendekati korbannya sering menggunakan kecantikannya. Dan orang takkan menduga. Dedes kadang menggunakan racun. Tapi tak jarang ia membunuh dari jarak dekat. Ia juga tak pandang bulu, menyapu siapa saja yang menghalanginya.
Coba buka berita tiga bulan yang lalu. Danu, seorang pejabat di salah satu kementerian tewas diberondong peluru. Termasuk seorang ajudan dan supirnya. Itu Dedes yang melakukannya, atas pesanan seseorang. Semua dihabisi karena ia tak ingin ada saksi mata.
Setelah itu ia akan menemui Arok. Minum-minum kopi, saling cerita, dan bercinta. Mereka sepasang kekasih? Tidak. Memang begitu kebiasaan mereka. Bila salah satu mengajak bertemu, biasanya sudah menyelesaikan sebuah tugas. Selain itu, tanpa disadari mereka sedang menunjukkan siapa sebenarnya pembunuh nomer satu. Dan semacam ada kesepakatan tak tertulis, mereka tidak akan saling ganggu saat melaksanakan tugas masing-masing. Juga sepertinya mereka sedang berlomba.
Minggu ini Dedes mendapat order untuk memberi pelajaran kepada seorang lelaki hidung belang yang juga suka menganiaya istrinya. Minggu berikutnya terdengar seorang direktur sebuah BUMN tewas saat lari pagi; job Arok.
Hingga sampailah ...!
***
Sekali ini Arok mendapat klien agak aneh. Uang sudah ditransfer, tapi siapa menjadi target tidak diberi tahu. Ia hanya disuruh pergi ke sebuah kafe.
Tadi ia sudah memperhatikan situasi di luar. Sejarak sekitar lima ratus meter ada persimpangan. Mungkin sedikit terganggu dengan lampu merah kalau nanti ia kabur. Lihat nanti, apakah ia akan menerobos atau belok ke kanan ke arah perkampungan.
Kafe ini.
Tempat parkir yang cukup luas; ada tujuh mobil terparkir. Pun suasana dalam ruangan. Sekali sapu dengan pandangannya ia sudah bisa merekam dalam kepalanya.Â
Di pojok ada seorang perempuan muda menghadap laptop. Di pojok lain seseorang lelaki sedang menghirup kopinya. Sepasang lansia. Ada lagi seorang lelaki dengan pakaian kerja lengkap, jas, dan dasi yang seperti mencekik lehernya. Sepertinya kurang pantas ia memakai pakaian itu.
Empat orang pelayan, ruang barista di sana.
Siapa yang akan menjadi targetnya?
Dan yang membuat Arok terkejut ada ... Dedes? Dedes juga sebenarnya mendapat order seperti Arok. Uang sudah ditransfer, target belum diketahui, dan disuruh pergi ke kafe. Nanti akan diberi tahu.
Arok dan Dedes sudah saling menduga bahwa mereka masing-masing mendapat order di tempat sama. Apakah target mereka sama? Begitu berbahayakah orang itu hingga Arok dan Dedes diutus secara bersamaan?
Mereka bertatapan kikuk, masih sempat saling senyum. Duduk berhadapan.
"Aku kurang suka dengan situasi seperti ini," kata Arok.
"Sama," jawab Dedes.
Seorang pelayan perempuan mendekati, lengannya penuh tato. Ia menanyakan apa minuman yang akan dipesan.Â
Arok waspada. Kulit Dedes menegang, reflek tangannya turun ke bawah meja.
"Espresso," suara Arok sambil lalu.
"Capuccino." Dedes.
Mereka menghembuskan napas pelan setelah pelayan itu pergi.
Mereka meletakkan HP di atas meja, menunggu pesan masuk. Saling tatap, tak banyak bicara. Merasakan keheningan, bahkan suara detak jantung mereka seperti terdengar.
Serombongan anak-anak muda masuk, lima orang. Tangan Arok dan Dedes langsung turun ke bawah meja. Di saat bersamaan kedua HP mereka ada bunyi notifikasi.Â
Mungkin ini.
Bersamaan pula Arok dan Dedes membuka HP-nya. Pada masing-masing HP mereka ada pesan singkat: Orang ini! Dan sebuah foto. Di HP Arok ada foto Dedes, sedang di HP Dedes ada foto Arok. Mereka terkejut, seakan tak percaya. Reflek mereka saling menodongkan pistol.
Terdengar ledakan. Sosok tubuh tersungkur di meja kafe dengan kepala berlubang. Meja kafe bersimbah darah.
***
Lebakwana, Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H