Banyak orang ingin menjadi apa saja. Pun  diriku. Dari sebanyak ingin menjadi apa saja itu, aku ingin kamu menjadi kekasihku.
Namun, itu tak sesederhana yang kubayangkan. Masalah pertama, aku terlalu suka padamu. Masalah kedua, kau tak suka padaku.
Tak apa. Bagaimana kalau kamu Berpura-pura menjadi kekasihku?
"Berpura-pura?"
"Ya."
"Untuk apa?"
"Agar orang tahu bahwa aku bisa mempunyai kekasih."
"Itu aja? Aneh."
"Ya, itu aja. Nggak ada yang aneh."
"Kenapa harus aku?"
"Karena aku sudah lama mengenalmu."
"Kan banyak cewek yang lain? Lagi pula, kamu ganteng."
"Cuma kamu yang bilang aku ganteng."
"Memang yang lain bilang apa?"
"Ganteng banget."
"Huh, sok pede."
"Huh, memang iya."
"Oke. Mulai kapan?"
"Sejak detik ini."
"Apa yang harus kulakukan?"
"Pertama, kamu yang bayar kopi ini."
"Apa?!"
***
Ini absurd.
Namun, itulah yang terjadi. Kita memang telah saling mengenal sejak lama, sejak sama-sama kuliah dulu. Dan kita bekerja di kota yang sama. Juga satu grup WA.
Aku tahu hampir semua yang menimpa dirimu. Kamu pun tahu tak ada lagi rahasia diriku di hadapanmu.
Kamu tahu banyak tentang diriku. Tahu betapa sulitnya aku mendekati seorang perempuan. Kecuali, kecuali terhadap dirimu. Aku tidak tahu kenapa.
Aku juga tahu siapa-siapa cowok yang pernah dekat denganmu. Boleh kusebut?
Ada Dani, Tok, David, dan ... siapa cowok yang menurutmu kurang ajar itu? Oh, ya, Brian 'kan?
Kini kita sama-sama tak mempunyai kekasih. Dan entah kenapa aku mengusulkan ide gila itu. Lebih gila lagi, kamu mau.
"Ya, lucu aja. Nggak salah juga. Lagian, aku kasihan dengan kamu nggak pernah punya pacar. Hahaha!" Kamu tertawa lepas. "Tapi aku nggak yakin kalau sekadar iseng aja." Kamu menatapku.
"Ya, ada yang lain. Ini karena Bowo, dia ...."
"Bowo? Aku nggak kenal."
"Bowo sepupuku. Usianya dua tahun di bawahku. Tiga bulan lagi dia akan menikah. Dari seluruh saudara kami sepupuan, tinggal aku yang belum menikah. Bisa habis aku diberondong pertanyaan keluarga besarku, saat kumpul-kumpul di pesta pernikahan Bowo."
"Apa hanya itu?"
"Tidak. Karena sudah lama mengenalmu."
"Itu pernah kauucapkan. Yang lainnya."
"Karena kamu tidak terlihat cantik."
"Hah?!"
"Hahaha! Maksudku, aura kecantikanmu nggak kelihatan saat kamu dengan pacar-pacar kamu dulu. Lain kalau kamu sedang berjalan denganku."
Kamu terbahak. Lalu, "Kamu bisa juga gombal. Enak juga diajak ngomong. Pinter cerita, tapi kok nggak punya pacar?" Kamu tertawa lagi.
"Aku bisa lepas kalau ngomong dengan kamu."
"Kenapa?"
"Ng, nggak tahu. Nyaman aja kalau ngobrol dengan kamu."
Kamu menatapku. Lama.
***
Kita pun menjadi sepasang kekasih. Pura-pura.
Meskipun begitu aku tetap berusaha menampilkan bagaimana layaknya seorang kekasih. Mentraktirmu makan, tentu. Mengajakmu nonton, pasti. Memberimu karangan bunga, kamu tertawa.
"Nggak usah terlalu sok romantis. Kita kan pura-pura?" katamu.
"Tapi karangan bunga ini bukan pura-pura."
"Aku percaya."
***
Dan puncaknya saat pesta pernikahan Bowo. Kamu, ah, kamu memang seorang pemain watak. Pandai memainkan peran di hadapan keluarga besarku, seolah-olah kamu memang benar-benar kekasihku.
Tapi tetap saja kamu tersipu-sipu saat ada salah satu keluargaku memuji dan menggoda kita. Terlebih, "Lho, Mama kok baru tahu kamu sudah punya pacar? Suka, Mama suka. Perasaan Mama dia anak baik. Kapan kamu bawa ke rumah?" Walau itu diucapkan pelan, aku yakin kamu mendengar apa yang diomongkan mamaku.
Tuh, kan, mukamu makin memerah?
Entah kenapa sesudah pesta pernikahan sepupuku itu, aku merasa kamu benar-benar kekasihku. Konyol, ya?
Kurasakan kegembiraan yang aku kesulitan untuk mengungkapkannya. Aku seperti menikmati debar dadaku saat-saat berdua denganmu. Juga, aku seperti takut kehilanganmu. Kamu sendiri, aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu.
Menurutmu, ini aneh nggak sih?
Tapi kita hanya berpura-pura. Kurasa ini memang harus diakhiri.
***
Kita terdiam cukup lama. Tidak ada yang berani memulai percakapan. Tiba-tiba!
"Bagaimana ...?" Kita saling tatap, diam, lantas tertawa. Kita mengucapkan "bagaimana" itu secara berbarengan.
"Ya, udah, kamu yang ngomong dul ...." Kita tertawa lagi, karena itu juga diucapkan secara bersamaan.
Kamu menyeruput kopimu. Aku juga.
"Oke. Aku yang ngomong," kataku akhirnya.
"Ini memang harus kita akhiri. Walaupun terasa konyol, tapi aku menikmati. Suatu saat nanti mungkin aku akan tersenyum-senyum sendiri ketika mengenangnya. Lucu."
Kamu hanya diam, menatapku.
"Terima kasih kamu sudah menolongku hingga aku nggak malu-maluin di tengah keluarga, saat pernikahan Bowo kemarin."
Kamu hanya mengaduk-aduk kopimu. Mendengarkan.
"Bagaimana kamu cerita dengan keluargamu, terutama mamamu?" Akhirnya kamu bersuara.
"Itulah, aku juga bingung. Kamu punya ide?"
"Kok aku? Kan kamu yang mengajakku untuk berpura-pura menjadi pacarmu?"
"Iya juga, sih." Diam sebentar. Dan, "Ng, bagaimana kalau kita tidak berpura-pura lagi?"
"Ini memang harus kita akhiri."
"Ya. Tapi bukan itu maksudku."
"Aku nggak ngerti."
Aku memegang kedua tanganmu. Reflek kamu ingin menariknya. Tapi kutahan.
"Apaan, sih?" tanyamu heran.
Kurasakan tanganmu bergetar. Atau tanganku?
"Selesai sampai di sini, kepura-puraan kita. Tapi kita akan melanjutkan dengan menjadi sepasang kekasih yang sebenarnya. Tanpa pura-pura lagi. Kamu mau?"
Kamu tak berani membalas tatapanku. Sedikit gelisah.
"Bagaimana?"
"Ih, jangan bercanda, deh."
"Serius. Aku serius."
Kini kamu menatapku. "Boleh. Tapi banyak syaratnya," katamu, tersenyum.
"Seberapa banyak? Sepuluh?"
"Seribu."
"Wah! Oke. Apa syaratnya?"
"Pertama, kamu yang membayar kopi ini."
Kita berdua tersenyum.
***
Lebakwana, November 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H