Apa yang menarik dari Yudi?Â
Jangankan teman-temannya, Aliz sendiri heran kenapa bisa jatuh cinta kepada Yudi. Lelaki yang pendiam, nggak bisa dandan, takpernah aktif dalam kegiatan kampus, prestasi akademiknya pun biasa-biasa saja. Apa yang menarik?Â
Sangat jauh dengan dirinya, yang takbisa diam, aktif di berbagai organisasi, meledak-ledak; juga, ehm, cantik. Tapi di mata Aliz ada nilai plus pada Yudi. Yudi walaupun pendiam adalah sosok yang mandiri.Â
Aliz tahu itu, bagaimana Yudi membiayai kuliahnya sendiri dengan bekerja paruh waktu. Dan yang lebih penting, Yudi berani menyatakan cinta kepada dirinya.Â
"Mendapatkan dirimu aku seperti menjadi tokoh dalam cerita dongeng. Aku pemuda desa, memenangkan sayembara kerajaan untuk mempersunting putri kerajaan yang cantik. Kalaupun gagal itu tetap menjadi kebanggaan pada diriku," kata Yudi pada sebuah kesempatan.Â
Aliz takjub, tak menduga Yudi yang pendiam itu bisa berkata seperti itu. Dan Aliz suka.Â
Tidak seperti kawan-kawannya selama ini, hanya memandang takjub dari kejauhan. Merasa minder untuk menyatakan lebih lanjut. Juga kawan-kawannya yang suka pamer. Padahal itu dari uang orang tuanya.Â
Dan Aliz mengambil keputusan, seusai kuliah menikah dengan Yudi. Mengikuti Yudi yang telah menyelesaikan kuliah Pertaniannya ke desa. Aliz berharap dengan ia tinggal di desa dapat meredam sifat liarnya.Â
Tapi ternyata tidak. Jiwanya selalu menggelegak. Setelah anaknya berusia tiga tahun ia mengajukan tuntutan cerai.Â
"Apa kesalahanku?"
"Kesalahan Mas karena..., karena Mas Yudi terlalu baik."
Dan Aliz pergi. Ia lupa dengan ketulusan Yudi, dan tak peduli tangis anaknya.Â
Aliz yang memang mudah bergaul, bersama teman-temannya mendirikan sebuah LSM, melakukan kerja-kerja sosial, juga mengadvokasi perempuan-perempuan yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.Â
Awalnya ia menikmati. Tapi kemudian merasakan kehidupannya bertambah kacau. Ia larut dengan gaya hidup teman-temannya yang permisif, melakukan seks bebas.Â
Dan itu biasa-biasa saja.Â
Aliz ingat saat terjun membantu pengungsi saat terjadi gempa di suatu daerah. Di sela istirahat mereka melakukan itu, dengan sesama anggota LSM, dengan paramedis, juga relawan lainnya. Mereka melakukan seperti selingan hiburan saja. Tak ada beban.Â
Gila!Â
Ia yang selama ini membantu, membimbing korban-korban kekerasan dan pelecehan seksual, tapi ia bersama kawan-kawannya begitu ringannya melakukan hubungan seks bebas. Ia merasa tak lebih baik dari pelaku pelecehan dan kekerasan seksual itu.Â
Juga yang membuat miris, ia sering demo, melakukan gerakan anti korupsi, tapi kelakuannya dan teman-teman LSM-nya sama saja brengseknya.Â
Aliz tahu, dana-dana yang didapat dari lembaga luar negeri banyak yang dikorupsi. Memang ia mengirim laporan secara berkala, sebagai bentuk pertanggungjawaban. Namun, dana yang dipakai tak lebih dari dua puluh persen. Sisanya untuk bancakan bersama teman-temannya.Â
Ironi, memang.Â
Ini lama-kelamaan membuat Aliz muak. Ia pun memutuskan mengundurkan diri.Â
Aliz mengontak temannya yang di Kalimantan. Ia ingin mengabdi menjadi guru. Untuk menebus rasa bersalah yang ia lakukan selama ini, juga untuk membersihkan jiwanya.Â
Tapi sebelum itu ia akan menemui Yudi, juga Gendis anak semata wayangnya. Meminta maaf kepada mereka.Â
***
Aliz membawa nasi goreng yang telah dibuatnya ke depan.Â
"Aku bangunkan Gendis, ya? Mandi, juga menyiapkan peralatan sekolahnya."
"Tunggu! Boleh aku istirahat sebentar di kamarmu?"
"Ya, ya..., tuh kamarnya nggak dikunci."
***
Di kamar Aliz berbaring memandang langit-langit kamar, memikirkan ajakan Yudi. Bersatu kembali? Kalau memang ia ingin menebus kesalahan, kenapa tidak? Ada rasa nyeri dalam dadanya, mengingat selama ini Gendis kehilangan kasih sayang ibunya.Â
Kepala Aliz terasa berputar. Terus terang ini di luar rencananya. Kini ia jadi ragu untuk pergi ke Kalimantan.Â
Yudi? Ah, dia lelaki yang terlalu baik. Dulu ia meninggalkannya bukan karena membencinya. Mungkin ia hanya menuruti hawa nafsunya sendiri.Â
Di luar terdengar suara Yudi membangunkan Gendis. Suara gadis kecil yang ceria, langkah kaki ke belakang, juga terdengar kecipak air dari kamar mandi.Â
Kemudian terdengar Yudi bergurau dengan Gendis. Mungkin ia sedang memakaikan baju seragam sekolah Gendis. Ada rasa iri di hati Aliz.Â
"Yuk, sarapan," suara Yudi.Â
Gendis bernyanyi riang. Suara denting piring, dan...!Â
"Ayah, nasi gorengnya beli, ya?"
"nggak."
"Kok enak?"
"Jadi, yang kemarin-kemarin ini nggak enak, ya?"
Gendis tertawa. Di dalam kamar Aliz turut tersenyum.Â
"Enak, sih. Cuma yang ini lebih enak," Gendis masih tertawa. "Kalau Mama yang bikin mungkin lebih enak ya, Yah?"Â
"Ini memang Mama yang bikin."
"Ayah dari dulu ngomongnya begitu."
"Iya. Mama memang di sini!"
"Iya, di sini. Di hati Gendis, di hati Ayah. Paling itu lanjutannya," potong Gendis, suaranya seperti merajuk.Â
Di kamar Aliz terharu mendengar senda-gurau ayah dan anak itu. Ia taktahan.Â
"Nggak. Mama memang di sini, di rumah ini. Tuh...," Yudi menunjuk dengan dagunya.Â
Gendis sejenak terpana, matanya mengerjap-ngerjap. Ia memang sering video call dengan mamanya, juga sering melihat di TV, tapi kini...?Â
Tak menunggu berapa lama Gendis langsung menghambur, memeluk mamanya. "Mama." Hanya itu yang diucapkan Gendis.Â
Aliz sendiri merasakan bajunya basah. Ia pun larut dalam keharuan. Dipeluk serta diciuminya Gendis. Mereka saling melepas kerinduan.Â
"Ayo, kita sarapan bareng," ajak Aliz. Gendis menggelayut, tak mau melepaskan tangan mamanya.Â
"Ng, anu, Ma...," ragu, "Gendis disuapin, ya?"Â
"Ih, udah gede masih minta disuapin," Aliz menjentik hidung Gendis. Tapi memang kemudian Aliz menyuapi Gendis.Â
"Besok, Mama lagi yang bikin nasi gorengnya, ya?"
"Mm, anu Gendis," berat. "Mama cuma sebentar, Mama....!"Â
"Mama...!" Mata Gendis langsung merebak. Aliz taksanggup menatap wajah anaknya.Â
Hening sesaat.Â
"Ya. Ya, besok Mama lagi yang bikin nasi goreng. Juga besok, dan besoknya lagi," suara Yudi memecahkan suasana.Â
Aliz menatap Yudi, mengisyaratkan protes. "Demi Gendis, aku mohon. Sampai kapan kamu akan bertualang?" suara Yudi pelan. Tapi walaupun pelan mampu membuat kepala Aliz berdenyut.Â
Akhirnya, "Ya, besok Mama lagi yang bikin nasi gorengnya," kata Aliz.Â
Gendis langsung memeluk mamanya.Â
"Ayo, nasinya dihabiskan, beres-beres. Nanti sekolahnya diantar Mama."
Aliz ingin mengirim tatapan protes lagi, tapi Yudi langsung berdiri. Mengeluarkan motor.Â
"Horee...!" teriak Gendis.
Aliz tak bisa mengelak lagi. Dan kini ia semakin bimbang untuk pergi ke Kalimantan. Apalagi setelah melihat kegembiraan Gendis, juga penerimaan Yudi.Â
Aliz menghidupkan motor.Â
"Kalau memang kamu akan tinggal di rumah ini untuk selamanya -- dan aku yakin itu --, boleh aku minta satu syarat?" tanya Yudi.Â
"Apa?"
"Kalau kamu sedang kesal atau marah, kumohon kamu jangan menggunakan bahasa Inggris. Kamu tahu sendiri, dari dulu nilai TOEFL-ku takpernah naik."
Aliz tertawa. Lepas. Rasanya sudah lama ia tak tertawa selepas ini.Â
***
Lebakwana, Januari 2021Â
Catatan.Â
Cerita ini fiktif belaka. Takada hubungannya dengan orang, LSM, atau organisasi tertentu. Tidak juga untuk menyasar kegiatan LSM tertentu. Semuanya murni fiksi. Bila ada kemiripan itu hanya kebetulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H