Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Badik Tak Mempunyai Mata

10 Desember 2020   05:14 Diperbarui: 10 Desember 2020   05:21 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber Pinterest. 

Tersebab apa tadinya agak sulit Mappatadang untuk menguraikannya. Mungkin semacam ketakberdayaan menjunjung beban. Ditambah rasa jengkel dan marah. Dendam? Mungkin tidak. Menegakkan harga diri? Kalau ini ditanyakan kepada ayahnya tentu akan dijawab, "ya". 

Ada rasa gentar. Takutkah ia menghadapi Pattasina? 

Kini empat tahun sudah. Rasa putus asa, ketakutan-ketakutan, dan bagaimana menghadapi Pattasina itu selalu menghantui pikiran Mappatadang. 

Bagaimana kalau ia yang terbunuh? Tentu ayahnya yang tua itu yang akan mencari Patta, ke ujung dunia sekalipun. Bagi ayah Tadang, perbuatan Patta itu tiada ampun. 

Ini sirri! Cuma darah Pattasina pengobatnya. 

Dan seperti gila rasanya Tadang memasuki setiap negeri mencari keberadaan Pattasina, menghabisi saat itu juga. Tapi Patta seperti ditelan bumi. 

Akhirnya perjalanan waktu jua yang meluruhkan hati Tadang. Seperti ada pencerahan batin dalam dirinya. Mappatadang meyakini dirinya sendiri bahwa ini perjalanan spiritual. 

Kini perasaannya terasa lepas. Takada lagi terasa beban yang menghimpit. Bila nanti ia ditakdirkan bertemu dengan Pattasina, itu adalah pertemuan dua sahabat. 

Patta, sedang apa dia kini? 

Tadang mengenang kembali saat-saat bersama Patta dahulu. Patta seperti sudah menjadi bagian keluarga Tadang. Begitu juga sebaliknya. Mereka selalu bermain berdua, atau bertiga dengan Marwa, adik perempuan Tadang. Marwa adalah gadis cantik yang sedang mekar-mekarnya. 

Mungkin dari sana awalnya. Entah siapa yang memulai, Marwa dan Patta saling jatuh cinta. Tapi hubungan mereka harus membentur tembok, orang tua Tadang taksetuju. 

Ayah Tadang adalah keluarga terpandang, orang terkaya di kampung itu. Sedang ayah Patta dari keluarga sederhana. 

Menyadari itu Tadang mencoba membantu, membujuk ayahnya. Tapi Patta taksabar, ia lari bersama Marwa. Gegerlah seisi kampung. 

Terasa langit rumah akan runtuh karena gelegak amarah ayah Tadang. Terhuyung-huyung ia membawa tubuh tuanya sambil menghunus badik menuju rumah Patta. Tapi Patta telah lenyap. 

Hampir saja terjadi pertumpahan antarkeluarga itu. Untung dapat dilerai tetua kampung. 

Tapi Patta harus membayarnya. Ini sirri! Pattasina telah menginjak-injak harga dirinya dan keluarganya. Masih berapi-api ia menghardik Tadang, anak lelaki satu-satunya. Cari Pattasina! 

Gemetar tangan Mappatadang menerima badik pusaka keluarga dari tangan ayahnya. 

***

Bagi Pattasina sendiri sebenarnya hanya ingin meruntuhkan kesombongan ayah Tadang. Pernah dalam suatu kesempatan, ayah Patta menyinggung hubungan Marwa dengan Pattasina. Tapi yang didapat adalah kata-kata kesetaraan, juga penghinaan. 

"Berapa kau sanggup memberi uang antaran bila melamar anakku?"

Telinga ayah Patta berdenging mendengarnya. Ia antara malu dan marah. Tapi ia takdapat berbuat apa-apa. 

Tidak halnya dengan Patta. Ia menganggap ini sirri, karena ayah Tadang telah mencincang harga diri keluarganya. Dan harus dibalas. 

Tapi Patta mengurungkan menghunus badik. Harus dengan cara lain untuk membuat si Tua itu merana terlebih dahulu. Patta teringat Marwa. 

Hati Patta bersorak ketika Marwa mau diajak lari. Patta membayangkan kegeraman si Tua itu, meradang taktentu arah. Ayah Tadang takmungkin mengejarnya. Tapi bagaimana kalau Mappatadang sendiri yang mencarinya? Hati Patta masygul, taksiap kalau harus bertarung melawan sahabatnya. 

Hari-harinya kemudian dibayangi kengerian. Tidurnya sering dihantui mimpi-mimpi buruk. Itulah sebabnya ia sering berpindah tempat, ketika terbetik berita Mappatadang akan memasuki daerah tempat tinggalnya. 

Itu berlangsung hampir dua tahun, hingga lahir anak lelakinya. Tapi kemudian Pattasina menghentikan kegilaan itu. Kini ia dapat berpikir jernih. Cepat atau lambat Mappatadang, atau yang lainnya akan mengejarnya. Ini adalah hasil yang harus dipetiknya. 

Tidak. Patta tidak menyesal atau menyalahkan dirinya. Ia meyakini yang ia lakukan adalah menegakkan harga diri keluarganya, membalas penghinaan ayah Tadang. Kini Patta merasa tenang, taklagi dihantui bagaimana menghadapi Mappatadang. Ia siap menunggu siapa saja yang ingin membuat perhitungan dengan dirinya. 

Sungguhpun begitu tetap saja hatinya bergetar, ketika suatu pagi ada sebuah suara menyapanya. Suara yang sudah lama tak didengarnya. Suara yang datangnya amat jauh, tapi berdentang-dentang di telinga Patta. Mungkin seperti suara pacul penggali kubur. Patta memastikannya. 

Sebuah senyuman menyambutnya. 

"Apa kabar, Patta?"

"Beginilah," Patta juga tersenyum. "Kau?" Patta balik bertanya. 

"Seperti yang kau lihat. Bagaimana Marwa?"

"Sehat. Juga Acok, sedang lucu-lucunya."

"Acok? Siapa?"

"Keponakanmu."

Pattasina keliru kalau Mappatadang tergetar dengan menyebut anaknya. Air muka Tadang datar saja. 

"Maaf Patta, aku tidak bisa berlama-lama di sini."

"Aku tahu."

"Aku sudah lama mencarimu," kata Tadang. 

"Ya. Aku juga sudah lama menunggumu," balas Patta. 

"Maafkan aku, Patta."

"Tidak ada yang perlu dimintakan maaf."

Mappatadang memandang Pattasina. 

"Ada lapangan kecil di sana, terlindung dari pepohonan. Tunggu aku esok sore," kata Patta. 

"Kita tetap bersahabat, bukan?"

"Ya. Sampai kapan pun."

***

Sore itu mereka berhadapan. 

"Kita tetap bersahabat, bukan?" ulang Mappatadang. 

"Ya."

Mappatadang meraba pinggangnya. Begitu juga dengan Pattasina. Tangannya berkeringat memegang hulu badik. 

Sementara nun di laut dekat muara, ombak terlihat tenang. Di atasnya sekumpulan burung camar bersiutan mencari mangsa. Menukik cepat. Ikan-ikan di bawah bergerak menghindar. Dalam satu kesempatan ada yang terkena. Seekor ikan menggelepar dalam cengkeraman kuku camar. Terbang melesat membawa mangsanya. 

Dan di saat yang sama Patta sedang mendekap perutnya yang robek terkena badik Tadang. Patta jatuh terduduk. Pandangannya nanar. Ia masih mencoba tersenyum menatap sahabatnya. Lalu, diam. 

***

Lebakwana, November 2020. 

Catatan. 

Cerita ini fiktif belaka. Cerita dengan latar belakang Suku Bugis. Karena ini sebuah jalinan cerita tentu ada efek drama yang berlebihan. Takada bermaksud apa-apa. Maaf, kalau ada kekeliruan karena pengetahuan penulis yang terbatas. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun