Tidak halnya dengan Patta. Ia menganggap ini sirri, karena ayah Tadang telah mencincang harga diri keluarganya. Dan harus dibalas.Â
Tapi Patta mengurungkan menghunus badik. Harus dengan cara lain untuk membuat si Tua itu merana terlebih dahulu. Patta teringat Marwa.Â
Hati Patta bersorak ketika Marwa mau diajak lari. Patta membayangkan kegeraman si Tua itu, meradang taktentu arah. Ayah Tadang takmungkin mengejarnya. Tapi bagaimana kalau Mappatadang sendiri yang mencarinya? Hati Patta masygul, taksiap kalau harus bertarung melawan sahabatnya.Â
Hari-harinya kemudian dibayangi kengerian. Tidurnya sering dihantui mimpi-mimpi buruk. Itulah sebabnya ia sering berpindah tempat, ketika terbetik berita Mappatadang akan memasuki daerah tempat tinggalnya.Â
Itu berlangsung hampir dua tahun, hingga lahir anak lelakinya. Tapi kemudian Pattasina menghentikan kegilaan itu. Kini ia dapat berpikir jernih. Cepat atau lambat Mappatadang, atau yang lainnya akan mengejarnya. Ini adalah hasil yang harus dipetiknya.Â
Tidak. Patta tidak menyesal atau menyalahkan dirinya. Ia meyakini yang ia lakukan adalah menegakkan harga diri keluarganya, membalas penghinaan ayah Tadang. Kini Patta merasa tenang, taklagi dihantui bagaimana menghadapi Mappatadang. Ia siap menunggu siapa saja yang ingin membuat perhitungan dengan dirinya.Â
Sungguhpun begitu tetap saja hatinya bergetar, ketika suatu pagi ada sebuah suara menyapanya. Suara yang sudah lama tak didengarnya. Suara yang datangnya amat jauh, tapi berdentang-dentang di telinga Patta. Mungkin seperti suara pacul penggali kubur. Patta memastikannya.Â
Sebuah senyuman menyambutnya.Â
"Apa kabar, Patta?"
"Beginilah," Patta juga tersenyum. "Kau?" Patta balik bertanya.Â
"Seperti yang kau lihat. Bagaimana Marwa?"