Cinta harus diucapkan!Â
Dan itu yang akan kulakukan sore ini. Aku sudah berada di depan rumahnya, dengan setangkai bunga mawar segar. Sengaja ini kupesan dari penjual bunga langganan keluarga kami. Mm, mawar. Itu bunga perlambang cinta, bukan?Â
Aku sudah membayangkan bagaimana reaksi Dinni nanti. Tentu dia akan terkejut, tentu dia akan terharu, tentu dia akan gemetar sambil menghapus air matanya. Air mata bahagia.Â
Sudah pasti!Â
***
Dinni, Apriani Dinni, semua mahasiswa di lingkungan kami kuliah mengenalnya. Dia kembang kampus kami. Selain itu dia gadis yang cerdas, dari semester pertama selalu mendapat beasiswa dari pihak universitas.Â
Banyak teman-teman cowok ingin mendekatinya, ingin mengenalnya lebih jauh; syukur-syukur Dinni mau menjadi kekasih mereka. Tapi Dinni hanya menjawab dengan senyum, penolakan secara halus.Â
Mereka juga ragu, karena mereka sering melihat kebersamaanku dengan Dinni. Dinni sejak awal masuk kuliah memang sering berangkat dan pulang kuliah bersamaku. Selain ia kawan satu SMA, ia satu fakultas denganku.Â
Sebenarnya sejak SMA aku sudah menyukainya, tapi masih ada perasaan takut kalau-kalau ia menolaknya. Perasaan itu makin membuncah, saat kami kuliah satu kampus. Tapi tetap saja ada perasaan takut yang menghantui diriku.Â
Sebenarnya itu tak perlu. Apalagi selama ini ia selalu mempercayaiku. Dinni selalu memintaku untuk menemaninya, entah membeli buku, pergi ke mal, atau nonton film. Orangtuanya juga lebih percaya kalau aku yang menemaninya.Â
Dinni juga tak segan-segan bercerita masalah pribadinya. Dari soal keluarganya, teman-temannya, dan cowok-cowok yang sering menggodanya. Juga soal Warkasa.Â