Warkasa? Kurang ajar benar cowok satu ini. Cowok gondrong, anak teater ini, belakangan sering mengirim puisi ke Dinni.Â
"Sebel!" ungkap Dinni.Â
Aku cemburu. Cara Dinni mengungkapkan kata 'sebel'' itu, tak kelihatan pada wajahnya. Ia terlihat gembira.Â
Ini tak dapat dibiarkan. Sekecil apa pun kemungkinannya ada cowok yang dekat dengan Dinni harus dicegah. Maka aku pun ikut-ikutan menulis puisi untuk Dinni, "... Kalau sampai waktuku, kumau tak seorang pun merayu..!"Â
Dinni ngakak. "Ini kan puisinya Chairil Anwar? Udah, deh, kamu nggak usah nulis puisi. Nih lihat, puisi-puisi Warkasa. Puitis!"Â
Hm, Warkasa! Hatiku panas.Â
Akhirnya aku minta saran dengan Budi Susilo, playboy kawakan di kampus.Â
"Cewek itu," kata Budi, "Biar kata dia cinta setengah mati dengan kita, tetap dia pengen cowok dulu yang mengungkapkannya," Â lanjut Budi lagi.Â
Benar juga. Nggak salah kalau cewek-cewek di kampus banyak yang takluk dengan dia.Â
Aku harus bergerak cepat. Jangan sampai cowok lain mendahuluinya.Â
***