Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maaf, Sampeyan Dilarang Mimpi

24 Agustus 2019   23:22 Diperbarui: 24 Agustus 2019   23:33 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden memeluk hangat Surakyat. Kemudian dijamu makan, yang makanan itu belum pernah dilihat maupun dirasakan Surakyat. Dan, tentu, hadiah-hadiah dari Presiden. Surakyat merasa takjub dengan apa yang dialaminya. Ia yang hanya buruh tani, miskin, tinggal di desa, diperlakukan secara terhormat oleh seorang Presiden. Ah, dunia diizinkan untuk iri. 

***

Mimpi itu berkali-kali diceritakan oleh Surakyat. Ia merasakan ini semacam wangsit - tanda-tanda -  derajatnya akan terangkat naik. Nasibnya akan berubah. Bagaimana caranya, biar tangan Tuhan yang mengaturnya. 

Orang-orang desa pun turut senang. Mereka merasakan keberkahan bukan hanya untuk Surakyat, tapi terimbas ke seluruh desa. Makanya mereka sering ke rumah Surakyat, untuk mendengarkan mimpi-mimpi yang dialami Surakyat. Berkali-kali, dan berkali-kali pula mereka tak bosan. Bagi penduduk desa ada dua hal yang dapat membuat mereka melupakan kepedihan hidup: satu lagu dangdut, keduanya cerita-cerita irrasional seperti ini. Heh, jangan tertawakan. Tidak semua orang bisa bermimpi bertemu Presiden. 

Tidak halnya dengan Lurah Slamet. 

Pak Lurah Slamet menilai ini cerita yang mengada-ada. Surakyat harus diberi cermin, agar ia tahu siapa dirinya. Buruh tani, aduh, buruh tani. Masa iya sih bertemu Presiden, walau itu hanya dalam mimpi. Bahkan kalau Surakyat bermimpi bertemu dengan dirinya sebagai lurah, Lurah Slamet nggak sudi. Huh, nggak level! 

Lurah Slamet menduga jangan-jangan, ya, jangan-jangan Surakyat sudah terpapar paham radikal. Presiden, ini nama Presiden. Jangan main-main! Lurah Slamet menciumnya ada bau-bau perlawanan. Makar? 

Ini tak dapat dibiarkan! 

Lurah Slamet tak ingin kecolongan, ia tak ingin ditegur oleh Bapak Camat, atasannya. Selain itu, kapan lagi, ia menunjukkan dedikasinya. Hm, sudah lama ia mengincar posisi wakil camat. Ini peristiwa besar. Ini kesempatannya

Tak perlu menunggu waktu yang lama Surakyat sudah melapor ke Pak Camat. Tentu cerita itu sudah ditambah-tambahi. Pak Camat ternyata satu pemikiran dengan Lurah Slamet. "Panggil Surakyat!" perintah Pak Camat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun