Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Terdampar di Perut Bumi - Buku Satu: I. Terdampar (Part 18)

21 November 2022   16:00 Diperbarui: 21 November 2022   15:59 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pri. Ikhwanul Halim

Gelombang ombak menghantam Tiwi. Pantai masih sekitar dua belas meter jauhnya, tapi setidaknya daratan sudah terlihat. Dia membuang setengah isi paru-parunya saat aku mengayunkan satu tangan untuk mencoba berenang ke pantai. Perutnya melilit kektika sesuatu yang kasar seperti amplas menyapu pergelangan kakinya ... lagi. Secara naluriah Tiwi menoleh ke belakang dan menelan ludah, berharap itu adalah sesuatu yang tidak berbahaya. Penyu, mungkin?

"Aku merasakan sesuatu."

Zaki menjejak air beberapa meter di belakangnya. "Maksud lu ikan?"

"Aku... aku tidak tahu. Airnya terlalu gelap."

"Paling batu, Wi. Lutut gue baru aja kegores, tapi tenang, gue baik-baik aja, kok."

Miko mengepalkan tangannya saat dia tegak menjulang setinggi satu meter dari permukaan air, mungkin berdiri di salah satu formasi batuan di dasar pantai yang semuanya tertutup rumput laut berlendir. Sebaiknya mereka mulai berhati-hati terhadap karang yang bergerigi karena semakin dekat ke pantai.

"Ayo, Mik!" teriak Tiwi. "Kakiku udah kangen nginjek tanah kering."

Tatapan Mikomenerawang. "Hei, ada yang nggak beres."

"Kamu tenggelam," seru Tiwi.

Alis Miko berkedut saat air berputar di sekitar lututnya, pinggangnya, dadanya, dan kemudian lehernya. Dia mengepakkan tangannya seolah-olah berjuang untuk menjaga keseimbangannya.

"Apa pun yang gue injek menggelinding seperti balok kayu yang terendam, padahal gue bukan balok!"

Lautan berubah menjadi warna pirus dan Tiwi tercekat. Miko berdiri di atas ikan setinggi tujuh meter ! Ikan paus?

Pada saat yang sama, dia mendengar Zaki terengah-engah di sebelahnya. "Itu bukan batu. Turun!"

Mengapa Miko tidak berenang ke pantai? Gelembung busa mengelilinginya dan matanya melebar. Tiwi mengayunkan lengannya untuk mendapatkan perhatiannya. "Mik, itu hidup! Keluar dari situ!"

Sebuah ekor raksasa menebas melewati kaki Miko dengan suara mendesing, dan kemudian benda itu hilang. Miko terlempar ke samping dan menghilang di bawah ombak.

"Mikooo!" Tiwi berteriak. Jantungku berdebar kencang.

Air berubah warna menjadi hijau zamrud. Sangat gelap. Tiwi bahkan tidak bisa melihat tangan dan kakinya sendiri. "Aku akan mencarinya!"

Tepat sebelum ia menyelam, seperti biasa kepala pirang muncul ke permukaan.

"Wuih!"

Tiwi menghela napas dan memeluk Miko erat-erat. "Apakah kamu baik-baik saja?"

"Jangan khawatir. Gue baik-baik aja, kok," jawab Miko sambil menarik napas dalam-dalam.

"Apa itu?"

Rahang Zaki mengeras. "Seekor hiu... dan dilihat dari ukurannya, aku yakin itu adalah hiu putih raksasa!"

Tiwi menutup mulutku dengan tangan untuk menahan teriakan. Hanya satu kata yang terlintas di kepalanya: pantai. Yang dia inginkan hanyalah merasakan tanah kering di bawah kakinya lagi.

"Aku harus segera keluar dari sini." Dia melesat dengan tendangan vertikal dan pukulan hand-over-hand yang cepat.

"Tiwi, pelan-pelan!" teriak Miko.

"Tapi itu... itu hiu aneh! " teriak gadis itu. Jantungku berdebar kencang.

Zaki menyusul di sampingnya. "Berenangnya tenang aja, Neng. Lu mau si Jaws ngira lu ikan makan malam dia yang manggil , 'Ini gue, dinner lu, Jaws. Come and take me."

Perut Tiwi langsung mules kontak dengan pikiran yang menakutkan itu.

"Kita jangan ngundang si Jaws untuk makan malam," kata Zaki.

Tiwi memperlambat gerakan lengan dan kakinya, mengendalikan setiap gerakan saat menuju pantai.

"Guys, gue rasa, sih, undangan makan malam udah diterima Jaws," terdengar suara Miko dari belakangnya.

"Apa maksudmu?" tanya Tiwi. "Siapa yang mengundang hiu?"

"Ya .... Zaki, nggak sengaja juga. Hiu bisa aja nyium bau darah dari luka di dengkulnya."

Sebelum Zaki menjawab, percikan di kejauhan menarik perhatian Tiwi. Riak-riak kecil bergerak melintasi permukaan. Denyut nadinya semakin memburu.

Aku harus keluar dengan cepat sebelum...

Air berubah menjadi warna biru muda kehijauan. Sosok gelap langsung menuju ke arah mereka. Lambat dan hati-hati.

Sebuah sirip abu-abu segitiga membelah permukaan sekitar sepuluh meter jaraknya dari mereka.

BERSAMBUNG

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun