Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Pembangkang

30 Desember 2021   20:35 Diperbarui: 4 Januari 2022   20:42 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock via mindfulmethodsforlife.com

Ketika anjingnya mulai menggonggong, Hasto menarik talinya, menggunakan tangannya yang lain untuk melindungi dahinya dari tetesan dingin yang menetes dari ranting dan daun kemboja.

"Anjing bodoh," katanya, dan bertanya-tanya bagaimana hidupnya bisa menjadi seperti ini.

Tak lama kemudian hujan mereda, setidaknya cukup untuk mereka bisa berjalan pulang. Hasto melihat arlojinya, Fani dan Windu seharusnya sudah kembali pulang.

Dia baru saja mencapai batu nisan favoritnya,"Pernah menjadi seseorang."ketika Honey memilih untuk mengangkat sebelah kaki belakang dan memancurkan air kencingnya, tepat saat seorang wanita paruh baya muncul dari balik makam mausoleum membawa setangkai anyelir layu.

"Hei, anak muda, mengapa kamu tidak membawanya ke tempat lain untuk melakukan itu?" kata wanita itu.

Hasto berhenti lalu berbalik. "Saya?" dia bertanya.

"Iya kamu. Anjingmu. Menjijikkan."

Rambut wanita itu model konservatif dan pinggulnya dua kali lipat dari seharusnya. Suaranya bernada pemanis buatan yang menyiratkan kepolosan sehingga tidak mungkin untuk berdebat tanpa tampak agresif.

Hasto menatap anjingnya. "Dia hanya kencing," katanya.

"Anjingmu menjijikkan."

Pengulangannya, sesuatu tentang cara mulutnya membentuk kata-kata, membuat kemarahan Hasto yang tak bisa dijelaskan bangkit. Dia menggumamkan 'persetan' dan berjalan, merasakan persahabatan dengan anjingnya yang dalam hitungan detik secara retoris bergeser ke sisi pagar yang memisahkannya dari wanita itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun