Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Pembangkang

30 Desember 2021   20:35 Diperbarui: 4 Januari 2022   20:42 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock via mindfulmethodsforlife.com

Dia membayangkan darahnya yang hangat, tulang yang putih di bawah kulitnya.

Hanya untuk bersenang-senang -- atau mungkin penasaran -- dia mencari "cara melenyapkan jejak kejahatan." Lalu "gergaji listrik murah" dan "cara mengaduk semen."

Dia bertanya-tanya seperti apa dunia ini jika tidak ada konsekuensi untuk melenyapkan tetangga yang menyebalkan. Jika kita menjadi penguasa dan setiap orang lain yang kita temui sepenuhnya tunduk pada kehendak kita. 

Tentu saja, dunia tidak seperti itu, dia mengingatkan dirinya sendiri, dan sebagai tanggapan atas fitnah Sonya, dia akhirnya memilih memberi komentar dengan kata-kata yang keras.

"Tetanggamu adalah orang baik," dia mengetik, "dan kamu hanyalah pelacur murahan bermulut kotor."

Dia mengklik 'Kirim' dan merasa jauh lebih baik. Keadilan telah dijalankan, dan dia menganggap dirinya sangat murah hati karena meninggalkan dorongan hatinya yang lebih menimbulkan gairah. Hasto berhasil kembali bekerja dan melupakan semuanya.

Ketika dia kembali di rumah malam itu, rumahnya kosong. Setidaknya sampai setengah jam lagi. Fani mengantar Windu terapi.

Honey bergetar gelisah ketika Hasto membungkuk untuk memasang tali ke cincin logam, berhati-hati agar tidak tersangkut ke gumpalan bulu. Mereka berangkat menuju kuburan di ujung jalan. Kuburan adalah tempat yang sangat baik untuk membawa anjing jalan-jalan, dengan bukit-bukit rumputnya dan bahan bacaan yang melimpah.

Rute mereka didasarkan pada serangkaian batu nisan favorit. Epitaph yang terukir di batu nisan mengabadikan penghuninya dengan cara yang menggugah rasa haus terdalam Hasto.

Di sebelah kiri, di bawah Kusno Abitomo, 1901-1970: "Dia tidak akan pernah kami lupakan." Di depan tikungan, terukir di granit merah Johannes Buke, 1848-1997: "Di sini berbaring dia yang namanya tercantum dalam buku sejarah."

Tak lama kemudian, hujan tercurah dari langit, menghantam paving block di bawah kaki dan menggebuk tutup logam tong sampah di dekatnya. Mereka berdiri di bawah pohon untuk beberapa saat. Honey mengais-ngais dan menggaruk dengan rasa ingin tahu ke mana air mengalir bagai lembaran tipis berkilau ke arah sungai. Dia tidak tahu itu air. Baginya tampak seperti tanah yang meleleh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun