Bocah itu menggumamkan lagu dengan nada yang tak jelas, menggambar wajah-wajah tersenyum di embun jendela ruang tamu dengan jarinya.
"WINDU, NAIK KE MOBIL!"
Fani berteriak kali ini, suaranya serak dan pecah. Tidak ada jawaban, dia melemparkan dompetnya ke tanah di sebelah pintu samping pengemudi dan berlari ke arahnya. Windu melesat saat dia menggenggam siku kirinya, tawanya yang mengejek mengubah kekesalan ibunya menjadi amuk besar.
"MASUK KE DALAM MOBIL!" dia berteriak lagi, membukakan pintu untuknya. "MASUK KE DALAM MOBIL!"
Windu melompat ke kursi. Fani mengikatkan sabuk pengaman dan membanting pintu hingga tertutup.
Hasto mendengarkan keributan itu, hanya memutar matanya dan menggosok wajahnya dengan telapak tangan. Dia tidak merasa kasihan pada istrinya, yang pada malam sebelumnya, dalam pertengkaran mereka mengatakan bahwa kulitnya yang bengkak dan lembap "tampak seperti kayu yang membusuk di bawa arus sungai."
Tapi pertanyaan apakah anaknya sendiri, yang sangat mirip dengannya, adalah kesalahan genetika membuat dadanya sesak. Dan para tetangga bisa mendengar semuanya, dia tahu mereka mendengarkannya. Tahu dari cara gorden jendela mereka yang sedikit tersibak, mata mereka yang menghindar ketika bertemu di minimarket.
Fani pasti juga tahu itu, pikirnya. Ini adalah pertunjukan yang dia lakukan, kesempatan bagi semua orang untuk menyaksikan dominasi istrinya atas makhluk laki-laki. Bahkan anak mereka, di beberapa bagian pikirannya yang belum terbentuk, tahu bahwa dia termasuk yang sedang memainkan peran. Bahwa mereka sedang menjadi bintang dari reality show mereka sendiri.
Tapi, kembali ke masalah yang sedang dihadapinya.
Hasto mandi air panas dan memikirkan apa yang harus dilakukan.
Sonya.