Berjalan ke kamar Tinneke, Himawan ingat betapa menyedihkan melihatnya mulai kehilangan ingatan tentang dirinya dan ikatan masa lalu mereka. Dia meratapi kehidupan yang mungkin mereka jalani seandainya dia menemukan keberanian untuk melawan bapaknya.
Ketika dia tiba di kamar Tinneke, dia mengetuk pelan pintu yang terbuka dan masuk perlahan.
Di tepi tempat tidur rendah, Tinneke duduk tegak dengan mata tertutup, tertidur. Mengenakan jaket bermotif polkadot, celana beledu merah marun, dengan kalung emas dan anting-anting yang serasi, Alzheimer tidak membuat Raden Ayu Tinneke Mekarwangi kehilangan selera fesyennya.
"Tinneke?" dia berbisik.
Tiba-tiba, mata biru cerah terbuka dan dia tersenyum hangat padanya.
"Oh, allo!" seru Tinneke sambil bertepuk tangan dengan gembira. "Ada tamu! Kemari dan duduk di sampingku, "katanya, menepuk sisi ranjang. "Di sini. Apakah Anda ingin mencopot jaket Anda? Apakah Anda tadi berjalan kaki ke sini? Pipimu merah merona! Siapa nama Anda lagi?"
Karena tidak menemukan gantungan baju atau lemari yang tidak terkunci untuk menggantung topi dan jaketnya, Himawan meletakkannya di atas kursi tunggal dengan sandaran tinggi di depan meja rias.
"Tidak mengapa aku meletakkannya di sini?" dia bertanya. "Aku melihat gaun itu masih menjadi kesayanganmu," mengomentari kebaya brokat usang di alas kursi. Brokat pemberiannya berapa dasawarsa lalu.
"Tidak apa-apa, tapi di mana kamu akan duduk?" dia bertanya.
"Bukannya tadi kamu memintaku untuk duduk di sampingmu?"
"Ya, di sini. Dan siapa nama Anda?"