Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 36: Seperti Sekarang Ini

19 Desember 2021   10:49 Diperbarui: 19 Desember 2021   10:51 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Himawan merapikan kerah kemejanya dan dengan hati-hati duduk di samping Tinneke di tempat tidur.

"Himawan. Himawan El Hakim," katanya. "Dan kamu?" dia bertanya, mencari cahaya pengakuan di matanya.

"Saya Tinneke. Tinneke Mekarsari!" jawabnya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Anda mengingatkan saya pada seseorang yang sangat saya kenal. Selain itu, saya tidak membiarkan sembarang orang duduk di tempat tidur saya, terutama tanpa ada yang mendampingi," dia tertawa sambil mengepalkan tinju ke arahnya.

Mereka tertawa bersama.

Gelang perak bakar---yang dulu dia berikan padanya---bergemerincing di pergelangan tangannya yang ramping. Setelah mendapat pekerjaan sebagai peneliti di awal usia dua puluhan, dia telah menabung dengan bijaksana selama satu tahun penuh sehingga mampu membelikan kado ulang tahun untuk Tinneke. Pengakuan atas penelitiannya dan perjalanannya ke konferensi internasional, bagaimanapun, membawanya jauh dari Tinneke selama berbulan-bulan pada waktu itu. Selama perjalanannya, dia menulis surat-surat panjangnya dan menyertakan cenderamata mungil pada setiap surat; jepit rambut dari Paris, sendok teh dari Sidney, bros dari New York, kulit kerang dari Honolulu.

Saat Himawan dan Tinneke merencanakan pernikahan mereka di akhir usia dua puluhan, orang tua mereka menentang dengan keras.

"Dia terlalu mandiri," olok bapak Himawan. "Tidak berpendidikan dan ayahnya tidak jelas siapa."

"Keluarganya bukan kelasnya kita," ibu Tinneke memperingatkan. "Ingat kata-kata Ibu, kamu akan selalu dianggap rendah oleh mereka."

Himawan dan Tinneke tak kuasa menentang orang tua mereka dan patah hati karenanya, tetapi keduanya tahu bahwa memprotes akan sia-sia. Mereka memutuskan untuk berpisah. Himawan tenggelam dengan penelitiannya, dan Tinneke bekerja berjam-jam, menjalankan toko bunga milik ibunya. Namun, pertemuan tak sengaja di konser musik, di trotoar, di museum, mengingatkan mereka akan cinta yang pernah mereka bagi bersama dan hati yang patah karena berpisah.

Di luar jendela kamar, hujan gerimis dengan lembut merinai sementara matahari terbenam dengan cepat di cakrawala merah muda yang sejuk.

Tinneke melipat tangannya di pangkuan dan berbaring di sampingnya. Himawan menggulung lengannya dengan lembut di sekitar tubuh mungilnya, Tinneke melunak dalam pelukannya, kehangatan yang menjalar menyelimuti keduanya. Tinneke menyelipkan tangannya di atas lengannya dan menyusup ke bawah kemeja flanel. Matanya terpejam dan kali ini dia membiarkan air matanya terjun bebas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun