Himawan memejamkan mata untuk menahan agar air yang menggenang di pelupuk tak menetes jatuh ke pipi.
Lima tahun telah berlalu sejak dia terakhir kali mengunjungi Tinneke di panti wredha. Sifat pengecut dan sesal pada diri sendiri telah mencegahnya mengunjunginya lebih sering. Dia tidak tahan melihat Tinneke menjauh darinya.
Menghembuskan napas panjang, dia menekan pegangan pintu dan masuk ke aula, mendekati perawat di meja resepsionis.
"Selamat sore. Saya datang untuk melihat Tinneke. Tinneke Mekarwangi," katanya. "Sahabat saya dari kecil."
"Oh, nona kesayangan kami semua, Tinneke. Kamar 101, di ujung lorong di sebelah kiri Anda. Dan nama Anda?"
"Himawan. Himawan El Hakim."
"Pak Himawan, mungkin dia tidak langsung mengenali Anda, tapi dia pasti sangat senang dengan kunjungan Anda. Hanya keponakannya yang mengunjunginya akhir-akhir ini. Dulu banyak yang mengunjunginya. Tapi satu per satu, mereka berhenti datang. Kapan terakhir kali Anda melihatnya?" dia bertanya.
Sebuah pertanyaan sederhana, hanya membutuhkan jawaban sederhana. Namun pada saat itu, Himawan hanya bisa mengingat di tempat kursus piano, matahari yang menjelajah langit musim kemarau, kulitnya yang seperti buah persik, kepang rambutnya yang kemerahan jatuh di atas bahu, dan penampilannya yang urakan---hari pertama dia bertemu dengannya.
"Lima atau enam tahun lalu. Saya mengunjungi sekali, setelah dia pindah ke sini, "jawabnya.
Tak lama setelah ulang tahunnya yang ke-72, Himawan menerima pemberitahuan perubahan alamat dari keponakan Tinneke. Tinneke telah dipindahkan dari apartemennya yang luas di atas toko bunga---tempat dia menjalani sebagian besar hidupnya---ke sebuah kamar di panti wredha perawatan jangka panjang untuk orang-orang dengan Alzheimer. Dia berduka untuk Tinneke yang kehilangan kebebasannya.
Berjalan ke kamar Tinneke, Himawan ingat betapa menyedihkan melihatnya mulai kehilangan ingatan tentang dirinya dan ikatan masa lalu mereka. Dia meratapi kehidupan yang mungkin mereka jalani seandainya dia menemukan keberanian untuk melawan bapaknya.
Ketika dia tiba di kamar Tinneke, dia mengetuk pelan pintu yang terbuka dan masuk perlahan.
Di tepi tempat tidur rendah, Tinneke duduk tegak dengan mata tertutup, tertidur. Mengenakan jaket bermotif polkadot, celana beledu merah marun, dengan kalung emas dan anting-anting yang serasi, Alzheimer tidak membuat Raden Ayu Tinneke Mekarwangi kehilangan selera fesyennya.
"Tinneke?" dia berbisik.
Tiba-tiba, mata biru cerah terbuka dan dia tersenyum hangat padanya.
"Oh, allo!" seru Tinneke sambil bertepuk tangan dengan gembira. "Ada tamu! Kemari dan duduk di sampingku, "katanya, menepuk sisi ranjang. "Di sini. Apakah Anda ingin mencopot jaket Anda? Apakah Anda tadi berjalan kaki ke sini? Pipimu merah merona! Siapa nama Anda lagi?"
Karena tidak menemukan gantungan baju atau lemari yang tidak terkunci untuk menggantung topi dan jaketnya, Himawan meletakkannya di atas kursi tunggal dengan sandaran tinggi di depan meja rias.
"Tidak mengapa aku meletakkannya di sini?" dia bertanya. "Aku melihat gaun itu masih menjadi kesayanganmu," mengomentari kebaya brokat usang di alas kursi. Brokat pemberiannya berapa dasawarsa lalu.
"Tidak apa-apa, tapi di mana kamu akan duduk?" dia bertanya.
"Bukannya tadi kamu memintaku untuk duduk di sampingmu?"
"Ya, di sini. Dan siapa nama Anda?"
Himawan merapikan kerah kemejanya dan dengan hati-hati duduk di samping Tinneke di tempat tidur.
"Himawan. Himawan El Hakim," katanya. "Dan kamu?" dia bertanya, mencari cahaya pengakuan di matanya.
"Saya Tinneke. Tinneke Mekarsari!" jawabnya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Anda mengingatkan saya pada seseorang yang sangat saya kenal. Selain itu, saya tidak membiarkan sembarang orang duduk di tempat tidur saya, terutama tanpa ada yang mendampingi," dia tertawa sambil mengepalkan tinju ke arahnya.
Mereka tertawa bersama.
Gelang perak bakar---yang dulu dia berikan padanya---bergemerincing di pergelangan tangannya yang ramping. Setelah mendapat pekerjaan sebagai peneliti di awal usia dua puluhan, dia telah menabung dengan bijaksana selama satu tahun penuh sehingga mampu membelikan kado ulang tahun untuk Tinneke. Pengakuan atas penelitiannya dan perjalanannya ke konferensi internasional, bagaimanapun, membawanya jauh dari Tinneke selama berbulan-bulan pada waktu itu. Selama perjalanannya, dia menulis surat-surat panjangnya dan menyertakan cenderamata mungil pada setiap surat; jepit rambut dari Paris, sendok teh dari Sidney, bros dari New York, kulit kerang dari Honolulu.
Saat Himawan dan Tinneke merencanakan pernikahan mereka di akhir usia dua puluhan, orang tua mereka menentang dengan keras.
"Dia terlalu mandiri," olok bapak Himawan. "Tidak berpendidikan dan ayahnya tidak jelas siapa."
"Keluarganya bukan kelasnya kita," ibu Tinneke memperingatkan. "Ingat kata-kata Ibu, kamu akan selalu dianggap rendah oleh mereka."
Himawan dan Tinneke tak kuasa menentang orang tua mereka dan patah hati karenanya, tetapi keduanya tahu bahwa memprotes akan sia-sia. Mereka memutuskan untuk berpisah. Himawan tenggelam dengan penelitiannya, dan Tinneke bekerja berjam-jam, menjalankan toko bunga milik ibunya. Namun, pertemuan tak sengaja di konser musik, di trotoar, di museum, mengingatkan mereka akan cinta yang pernah mereka bagi bersama dan hati yang patah karena berpisah.
Di luar jendela kamar, hujan gerimis dengan lembut merinai sementara matahari terbenam dengan cepat di cakrawala merah muda yang sejuk.
Tinneke melipat tangannya di pangkuan dan berbaring di sampingnya. Himawan menggulung lengannya dengan lembut di sekitar tubuh mungilnya, Tinneke melunak dalam pelukannya, kehangatan yang menjalar menyelimuti keduanya. Tinneke menyelipkan tangannya di atas lengannya dan menyusup ke bawah kemeja flanel. Matanya terpejam dan kali ini dia membiarkan air matanya terjun bebas.
Tinneke memandangnya penasaran. "Kenapa Anda datang?"
"Aku sangat merindukanmu. Lebih dari yang kamu tahu," katanya, meraih tangan mungil dan meremasnya dengan lembut. "Apakah kamu mengenaliku?"
"Anda teman saya, tapi saya tidak bisa mengingat nama Anda. Bisakah kita tetap berteman?" dia bertanya. "Selamanya, seperti saat ini?"
"Ya, Tinneke," jawabnya sambil membelai tangannya. "Selamanya. Seperti sekarang ini."
Tinneke mencium pipi Himawan yang berlinang air mata dan berbisik perlahan, "Cintaku, Himawan-ku. Kamu di sini bersamaku, selamanya."
Bandung, 19 Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H