Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Raya di Kampung Kami

3 Juni 2019   14:35 Diperbarui: 5 Juni 2019   16:03 1915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: ibtimes.co.in

Lebaran hadir di kampung kami seperti layaknya tamu agung yang datang dari pusat negeri, turun dari helikopter dengan membawa puting beliung yang menumbangkan pohon pisang dan mendarat di depan pintu rumah penduduk.

Begitulah caranya.

Kami bergegas ketika fajar merekah, mengambil air dari sumur yang jauh melewati masjid kampung di samping gedung sekolah, dan entah dari mana, angin kencang datang menerbangkan debu kering.

Kami hampir tak dapat pergi ke sungai tanpa membawa setumpuk debu yang menempel di wajah dan rambut. Bibirku pecah dipanggang puasa kemarau, tampak seperti kain pembersih lantai, jenis yang dipakai untuk membersihkan teras ruang kepala sekolah.

Di sini, musim pancaroba selalu mengerikan, lebih buruk daripada yang pernah dirasakan penduduk wilayah lain.

Nikmah, adik bungsu kami yang masih bayi, sesak napas sepanjang minggu karena debu, dan di malam hari suara paru-parunya menarik udara persis genset buatan Cina yang kelelahan karena terlalu sering dinyalakan akibat listrik sering padam. Tapi bukan suara itu, atau gerahnya udara malam, atau bau ompol Israfil pada kasur kapuk lapuk tanpa seprei yang membuat kami sulit tidur. Mengetahui bahwa Lebaran hampir tiba di sini. Andaikata Lebaran naik L-300 dari Medan, saat ini dia sudah sampai di perbatasan Kabupaten, kurang beberapa jam lagi untuk sampai di sini.

Menjelang pemilu tahun depan, kota kami yang kecil menarik perhatian bagai seorang gadis remaja puber mengenakan gaun bekas selundupan dari Korea yang di beli di Monja. Orang-orang dari kota yang sebelumnya tak tahu ada jalan menuju desa kami tiba-tiba bergegas datang.

 Tuan Sakur hari ini, Bapak Taufik minggu lalu, pokoknya semua orang berenang ke kota kami seakan takut sewaktu-waktu gerbang kota akan terkunci.

Satu-satunya waktu lain saat kota kami ramai adalah saat perayaan hari Kemerdekaan di bulan Agustus sekali reuni akbar sekolah dan peringatan ulang tahun kota. Saat itu setiap perempuan akan berbelanja pasar karena banjir barang diskon.Pasar kami juga dikunjungi para pembeli dari desa dan kota tetangga dibandingkannya dengan harga di tempat mereka, harga barang-barang di tempat kami jauh lebih murah.

Perempuan-perempuan itu datang dengan baju berenda yang masih baru, dan tak pernah sama dengan yang dikenakan tahun sebelumnya. Perhiasan emas asli atau imitasi bergelantungan memenuhi tubuh mereka.

Menurut Yah Sabri ini adalah satu-satunya cara bagi setiap perempuan untuk menunjukkan bahwa kehidupannya lebih baik daripada orang lain, itulah cara mereka mengukur kesuksesan. Padahal, aku tahu isi periuk nasi mereka, sama saja dengan punya kami.

Jadilah mereka perempuan dusun yang dijebloskan ke dalam pakaian yang sebenarnya bukan ukuran tubuh berlemak mereka, kembung dan berkeringat kepanasan, lengan mereka yang bulat berat menggantung di kedua sisi badan.

Satu-satunya yang terlihat berbeda adalah pengantin baru seperti Nur Mila dan Isaura. tetapi bahkan mereka tidak terlalu mengesankan buatku, terutama Isaura yang menikah dengan pemuda dari Kisaran dan cara bicara berubah seakan lidahnya lupa bahasa ibunya. Nadanya yang naik turun macam preman terminal Pinang Baris meski sesekali terselip logat pasar yang kental.

Mereka biasanya akan datang pada hari Kamis dan pada hari Senin akan menghilang, kembali ke manapun hidup menyiksa mereka.

Namun Lebaran selalu berbeda. Selalu lebih baik.

Persiapan Lebaran sudah dimulai bahkan sebelum bulan Ramadan dan baru berakhir setelah Syawal berganti Zulkaedah. Hal itu membuat kehadiran Lebaran sungguh berarti, melalui pergantian musim dan khotbah dan ceramah Imam Ustaz Rustam dalam setiap kesempatan malam dan subuh, seolah-olah khotbahnya yang mengundang datangnya Lebaran.

Namun Lebaran kali ini sungguh berbeda, diharapkan kedatangannya sebagai bantuan besar oleh banyak orang. Sepertinya ada ketakutan yang tak terkatakan yang melanda negeri sepanjang tahun termasuk kampung kami.

Bebagai kemalangan datang bertubi-tubi. Bukankah pada bulan Januari, dua minggu setelah Tahun Baru, ketika plafon sekolah tiba-tiba runtuh, seolah-olah ikut menanggung beban negara akibat ambruknya beberapa jembatan jalan tol yang sedang dibangun?

Lalu bulan Pebruari, ketika Karina, putri motivator kota kami Butang Peliang hamil dan tidak mau mengatakan siapa yang menaruh bayi itu di perutnya.

Beberapa hari yang lalu, Mak Jupri memberi tahu ibu tentang Rani, anak tante Mega yang tiba-tiba menghilang, usianya enam belas tahun dan baru lulus sekolah menengah pertama.

Orang-orang kampung sebelah ikut mencari karena Rani menghilang bersama raibnya Jhoni, playboy kampung mereka. Namun setelah tiga minggu tidak ada kabar apa pun,  maka kami menganggap Rani sudah berkalang tanah entah di mana dan begitu pula anggapan penduduk kampung sebelah tentang Jhoni.

Kemalangan semacam ini selalu menjadi bahan khotbah Imam Ustaz Rustam.

 "Yang hilang!" dia akan berteriak ke mikrofon, matanya berputar bekeliling ke arah jemaah mencari-cari sesuatu. Dia kemudian mengingatkan penduduk desa tentang tragedi yang menimpa kami dan memperingatkan untuk selalu waspada dan berdoa.

"Ucapkan doamu," dia menegur.

Hari kesembilan belas puasa, di sore yang panas, Mak Jupri datang ke ruang tamu rumah membawa berita baru. Kali ini tentang Ojak, pemuda kampung kami yang setengah sinting dan selalu mabuk tuak, badut lokal yang berjalan-jalan menyusuri pasar di siang yang panas tanpa mengenakan apa pun kecuali celana pendek yang dikenakan terlalu rendah di bawah pinggang, menampakkan belahan pantatnya.

Mak Jupri menyampaikan, dengan napas tersengal-sengal, bagaimana penjual daging yang baru kembali dari rumah jagal di kota kabupaten telah menemukan Ojak terbaring di selokan, mati. Kulitnya gosong dipanggang sinar matahari. Liur mengalir dari bibirnya dan lalat berkerumun di selangkangannya yang basah oleh kotorannya sendiri.

Aku mendengarkan dari kamar kami. Kami di sini: aku, Israfil, Malik dan Nikmah. Berempat kami tidur di kasur usang yang terhampar di lantai, lapuk karena setiap malam dikencingi Israfil hingga di usianya yang empat belas tahun.

Meski tercekam dengan kematian Ojak yang tiba-tiba, aku terpesona oleh cara Mak Jupri menyampaikan narasinya. Kata-kata keluar dari mulutnya mengejutkan bagai guntur di hari terang, namun menyenangkan bagai pembawa berita godip selebriti. 

Malam harinya, kami bergegas ke masjid untuk salat tarawih menoleh ke kiri dan ke kanan, juga ke belakang karena ketakutan. Berita kematian Ojak menyebar ke seluruh kampung seperti kecoak di sekolah: ke segala penjuru angin.

Itulah cara kami berkabung untuknya, ditambah senda gurau tak lucu: 'terbuka lowongan untuk menjadi orang gila di pasar'. 'Pekerjaan' yang diwariskan dari kematiannya.

Malam-malam semakin sepi dingin mencekam.

Ojak memang gila, tetapi dia adalah orang gila kami. Penduduk kampung memiliki hak untuk mengejeknya dan mengejarnya dari kios dan los pasar, menjadikan dia contoh untuk menakut-nakuti anak-anak nakal.

Dan sekarang anehnya dia mati. Bahwa bau tuak dan tinja menempel di tubuhnya tentu bukan hal aneh. Yang aneh adalah dia mati tergeletak di selokan kota tetangga.

Kematian adalah hal biasa, yang hidup terus berjalan - begitulah Imam Ustaz Rustam berkata dalam khotbahnya. Tapi hanya itu yang dia katakan tentang kematian Ojak. Malah aku merasa Imam Ustaz Rustam lebih ceria dari biasanya.

Bisik-bisik berdengung di dalam masjid ketika Namrud Itam, ketua Dewan yang digelar 'Busung Kenyang' karena perutnya yang menonjol, mendekati mimbar. Tentu saja gelar itu tak pernah disebutkan ketika yang bersangkutan hadir.

Dia berjalan di tengah-tengah jemaah, karena ketika kamu orang penting dan kamu ingin menyampaikan sesuatu, kamu tidak punya waktu untuk bilang 'permisi'. Apalagi delapan puluh delapan sak semen - dalam catatan seratus - untuk membangun masjid berasal dari dana aspirasi sumbanganmu.

Dia mulai berpidato bahwa pemerintah telah mengecewakan warga terutama kampung kami, seolah-olah kami belum tahu itu. Kemudian, seperti seseorang yang baru saja mendapat wangsit, dia menyatakan bahwa sudah saatnya bagi orang-orang kampung untuk menyumbang lebih banyak lagi ke daerah asal. Orang-orang 'kampung' seperti dirinya. 

Aku menunggunya untuk mengatakan sesuatu, seperti membangun sumur bor atau memperbaiki atap sekolah, karena itu adalah pembangunan nyata yang perlu segera dilakukan. Aku bahkan berpikir dia akan menambah lantai dua masjid melihat lebarnya senyum Imam Ustaz Rustam.

Tapi yang Namrud Itam katakan adalah, sesudah Lebaran dia akan mengajak lima anak laki-laki dan lima anak perempuan kembali bersamanya ke ibu kota provinsi untuk melanjutkan pendidikan dengan beasiswa penuh. Setelah lulus, mereka akan bekerja pada perusahaannya.

Ini hal baru. Kami terbiasa dengan kantong plastik berisi sembako dan amplop, tetapi belum pernah ada yang datang untuk membawa kami pergi, apalagi berupa beasiswa untuk sepuluh anak sekaligus.

Pada titik ini, jalan mulus menuju Lebaran menemukan rintangan baru: prasangka dan rasa curiga. Sepulang dari masjid, desas-desus miring berhembus lewat bisik-bisik, menyebar sampai ke kota kabupaten.

Apa yang ingin Busung Kenyang lakukan dengan putra dan putri kita? Apakah bukan karena istri ketiganya telah tiga kali hamil sampai badannya kurus kering lelah akibat terus-terusan keguguran dan menolak untuk hamil lagi? Apakah dia membawa anak-anak kita untuk mengisi rumahnya di kota yang sunyi tanpa suara anak kecil? 

Pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengganggu ini bergulir dari lidah penduduk. Namun bagi Israfil, ini adalah suratan takdir, kesempatan untuk merasakan kehidupan di luar kota kecil kami, tak masalah bahwa pendidikan adalah harga yang harus ia bayar untuk pelariannya.

Ada beberapa anak idiot lain seperti dia, berbondong-bondong ke rumah Namrud Itam yang berpagar tinggi dengan dalih membantu merawat rumah yang hanya ditiduri beberapa hari dalam setahun itu.

Perlahan-lahan, kecurigaan gugur seperti daun kering. Orang-orang mulai menukar rasa takut dengan ambisi. Semua ingin meninggalkan kampung. Mereka ingin berlari cepat mendaki jalan keluar dari ketertinggalan.

Bahkan Mak Jupri tak pernah berkunjung lagi setelah dia mengetahui bahwa Israfil setiap pagi pergi ke rumah Namrud Itam untuk mencuci mobil Ketua Dewan. Keesokan harinya, kedua putranya datang ke sana dengan membawa setandan pisang dan sekarung singkong, tertawa gugup ketika mereka melaporkan kepada pembantu di rumah itu bahwa ibu mereka memaksa mereka berdua menggotong hasil kebun itu ke sana.

***

Sepuluh hari menjelang Lebaran, Imam Ustaz Rusam mengumumkan bahwa dia secara pribadi ditugaskan untuk merekomendasikan anak-anak yang akan dipilih oleh Namrud Itam. Setelah menyampaikan itu, dia melanjutkan khotbahnya seolah-olah tak tahu kegemparan yang disebabkannya di dada orang banyak.

Selesai salat tarawih, ibu terburu-buru ke ruangan takmir masjid untuk melihat apakah malam itu panitia sudah mulai menerima pembayaran zakat fitrah. Di sana telah mengantre sebelas ibu-ibu lain.

Maka ketegangan tumbuh pesat. Watak asli orang-orang muncul ke permukaan bagai jerawat remaja puber. Beberapa ibu-ibu berkelahi di pasar. Bahkan bapak-bapak mulai membocorkan rahasia-rahasia yang sebelumnya hanya beredar di kalangan terbatas.

Ramadan terakhir, aku sungguh-sungguh lelah lahir dan batin.

Liburan sekolah malah membuatku bosan. Aku sudah tak sabar lagi menunggu siapa yang akan dipilih Namrud Itam untuk mendapat beasiswa dan mengikutinya ke ibukota, supaya kami dapat melanjutkan kehidupan normal kami kembali.

Aku sudah terbiasa dengan gosip dan ketakutan, tapi kecemasan yang tiba-tiba dan perintah ibu untuk tidak lagi berteman dengan anak-anak Mak Jupri telah membunuhku.

***

Saat itu aku sedang di dapur membantu ibu saat dia mengomel bahwa kita tidak bisa mempercayai siapa pun, dan orang-orang yang kamu pikir temanmu dengan senang hati akan menginjakmu jika itu akan membuat mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tiba-tiba saja, Mak Jupri menerobos masuk. Kata-kata muncrat berhamburan dari mulutnya, seolah-olah dia dan ibu tidak pernah bertengkar tiga minggu terakhir ini.

"Kalian pasti belum dengar! Oh, Fatimah, siapa yang mengira kalau seperti itu kejadiannya?"

Begitulah cara kami menerima kabar bahwa Ketua Dewan Namrud Itam telah diseret keluar dari rumahnya oleh polisi yang menangkapnya karena tabrak lari.

Bukan saja karena dia dikenali oleh dua orang saksi di kota tetangga, namun entah bagaimana gelang perak dengan ukiran namanya tertinggal saat dia membuang mayat Ojak ke selokan.

Kami semua - aku, ibu, Israfil - mendengarkan dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, lalu diam lama membiarkan diri kami larut dalam sepi.

Kemudian, setelah rasa terkejut pupus, kami berbicara tentang Ojak yang malang. Kami bicara tentang kejahatan Ketua Dewan Namrud Itam. Kami bicara tentang Imam Ustaz Rustam. Pokoknya kami bicara tentang apa saja.

Tetapi tidak seorang pun akan bicara tentang ketololan diri sendiri: beasiswa dan semua hal buruk yang telah kami lakukan untuk melarikan diri dari kampung ini.

TAMAT

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun