Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Raya di Kampung Kami

3 Juni 2019   14:35 Diperbarui: 5 Juni 2019   16:03 1915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: ibtimes.co.in

 "Yang hilang!" dia akan berteriak ke mikrofon, matanya berputar bekeliling ke arah jemaah mencari-cari sesuatu. Dia kemudian mengingatkan penduduk desa tentang tragedi yang menimpa kami dan memperingatkan untuk selalu waspada dan berdoa.

"Ucapkan doamu," dia menegur.

Hari kesembilan belas puasa, di sore yang panas, Mak Jupri datang ke ruang tamu rumah membawa berita baru. Kali ini tentang Ojak, pemuda kampung kami yang setengah sinting dan selalu mabuk tuak, badut lokal yang berjalan-jalan menyusuri pasar di siang yang panas tanpa mengenakan apa pun kecuali celana pendek yang dikenakan terlalu rendah di bawah pinggang, menampakkan belahan pantatnya.

Mak Jupri menyampaikan, dengan napas tersengal-sengal, bagaimana penjual daging yang baru kembali dari rumah jagal di kota kabupaten telah menemukan Ojak terbaring di selokan, mati. Kulitnya gosong dipanggang sinar matahari. Liur mengalir dari bibirnya dan lalat berkerumun di selangkangannya yang basah oleh kotorannya sendiri.

Aku mendengarkan dari kamar kami. Kami di sini: aku, Israfil, Malik dan Nikmah. Berempat kami tidur di kasur usang yang terhampar di lantai, lapuk karena setiap malam dikencingi Israfil hingga di usianya yang empat belas tahun.

Meski tercekam dengan kematian Ojak yang tiba-tiba, aku terpesona oleh cara Mak Jupri menyampaikan narasinya. Kata-kata keluar dari mulutnya mengejutkan bagai guntur di hari terang, namun menyenangkan bagai pembawa berita godip selebriti. 

Malam harinya, kami bergegas ke masjid untuk salat tarawih menoleh ke kiri dan ke kanan, juga ke belakang karena ketakutan. Berita kematian Ojak menyebar ke seluruh kampung seperti kecoak di sekolah: ke segala penjuru angin.

Itulah cara kami berkabung untuknya, ditambah senda gurau tak lucu: 'terbuka lowongan untuk menjadi orang gila di pasar'. 'Pekerjaan' yang diwariskan dari kematiannya.

Malam-malam semakin sepi dingin mencekam.

Ojak memang gila, tetapi dia adalah orang gila kami. Penduduk kampung memiliki hak untuk mengejeknya dan mengejarnya dari kios dan los pasar, menjadikan dia contoh untuk menakut-nakuti anak-anak nakal.

Dan sekarang anehnya dia mati. Bahwa bau tuak dan tinja menempel di tubuhnya tentu bukan hal aneh. Yang aneh adalah dia mati tergeletak di selokan kota tetangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun