Kematian adalah hal biasa, yang hidup terus berjalan - begitulah Imam Ustaz Rustam berkata dalam khotbahnya. Tapi hanya itu yang dia katakan tentang kematian Ojak. Malah aku merasa Imam Ustaz Rustam lebih ceria dari biasanya.
Bisik-bisik berdengung di dalam masjid ketika Namrud Itam, ketua Dewan yang digelar 'Busung Kenyang' karena perutnya yang menonjol, mendekati mimbar. Tentu saja gelar itu tak pernah disebutkan ketika yang bersangkutan hadir.
Dia berjalan di tengah-tengah jemaah, karena ketika kamu orang penting dan kamu ingin menyampaikan sesuatu, kamu tidak punya waktu untuk bilang 'permisi'. Apalagi delapan puluh delapan sak semen - dalam catatan seratus - untuk membangun masjid berasal dari dana aspirasi sumbanganmu.
Dia mulai berpidato bahwa pemerintah telah mengecewakan warga terutama kampung kami, seolah-olah kami belum tahu itu. Kemudian, seperti seseorang yang baru saja mendapat wangsit, dia menyatakan bahwa sudah saatnya bagi orang-orang kampung untuk menyumbang lebih banyak lagi ke daerah asal. Orang-orang 'kampung' seperti dirinya.Â
Aku menunggunya untuk mengatakan sesuatu, seperti membangun sumur bor atau memperbaiki atap sekolah, karena itu adalah pembangunan nyata yang perlu segera dilakukan. Aku bahkan berpikir dia akan menambah lantai dua masjid melihat lebarnya senyum Imam Ustaz Rustam.
Tapi yang Namrud Itam katakan adalah, sesudah Lebaran dia akan mengajak lima anak laki-laki dan lima anak perempuan kembali bersamanya ke ibu kota provinsi untuk melanjutkan pendidikan dengan beasiswa penuh. Setelah lulus, mereka akan bekerja pada perusahaannya.
Ini hal baru. Kami terbiasa dengan kantong plastik berisi sembako dan amplop, tetapi belum pernah ada yang datang untuk membawa kami pergi, apalagi berupa beasiswa untuk sepuluh anak sekaligus.
Pada titik ini, jalan mulus menuju Lebaran menemukan rintangan baru: prasangka dan rasa curiga. Sepulang dari masjid, desas-desus miring berhembus lewat bisik-bisik, menyebar sampai ke kota kabupaten.
Apa yang ingin Busung Kenyang lakukan dengan putra dan putri kita? Apakah bukan karena istri ketiganya telah tiga kali hamil sampai badannya kurus kering lelah akibat terus-terusan keguguran dan menolak untuk hamil lagi? Apakah dia membawa anak-anak kita untuk mengisi rumahnya di kota yang sunyi tanpa suara anak kecil?Â
Pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengganggu ini bergulir dari lidah penduduk. Namun bagi Israfil, ini adalah suratan takdir, kesempatan untuk merasakan kehidupan di luar kota kecil kami, tak masalah bahwa pendidikan adalah harga yang harus ia bayar untuk pelariannya.
Ada beberapa anak idiot lain seperti dia, berbondong-bondong ke rumah Namrud Itam yang berpagar tinggi dengan dalih membantu merawat rumah yang hanya ditiduri beberapa hari dalam setahun itu.