Entahlah, saya ternyata memilih berhenti. Mendekatinya, mematikan mesin mobil, lalu membuka kaca mobil. Entah kenapa, bisa-bisanya saya memilih berhenti di jam segini, di tempat yang memang ada orangnya, tapi kan saya nggak tahu dia siapa dan punya niat apa ke saya.
"Terima kasih Mas, mau berhenti. Maaf mengganggu, saya cuma mau ikut ke depan. Saya mau ke pasar, sekali lagi mohon maaf."Â Bahasa yang terlalu sopan di sepinya dini hari.
"Oh, baiklah. Silahkan masuk ke mobil."Â Terlalu enteng omongan saya, langsung iya saja tanpa berpikir panjang.
"Terima kasih ya Mas."Â Ujarnya kemudian.
Gerangan seorang perempuan masuk ke dalam mobil, lalu mesin mobil kembali saya nyalakan. Perjalanan pulang menuju bandung saya lanjutkan, sekalian mengantarnya yang tadi bilang mau ikut ke depan, hendak ke pasar.
Normal adanya, dia diam, saya juga diam dong. Dia tersenyum, saya masih diam sih, takut disangka kegeeran. Di situasi seperti ini, diam adalah opsi yang terbaik.
"Mas, nggak apa-apa kan sambil ngobrol? Nggak lama kok, sebelum kita sampai di pasar." Pintanya gerangan.
"Oh, boleh-boleh. Oh ya, mumpung ingat nih. Kok jam segini ke pasar? Sendirian pula?"
"Seminggu lagi bakal ada resepsi pernikahan. Sedari sekarang disiapkan apa saja yang nanti akan dibutuhkan."Â Jawabnya gerangan.
"Tapi kan nggak harus sendirian, mungkin ada saudara atau keluarga yang bisa ikut bantu belanja ke pasar?"
"Nggak apa-apa Mas, sudah tiga hari terakhir ini memang saya sendirian."