JANGAN PENJAHAT KELAMIN, PLIS!!!
Suatu malam di awal Oktober.
Kisah ini hampir saja terlupakan jika tayangan berita televisi berupa pencabulan pagi itu tidak mampir ke telinga saya. Kejadian saat saya menjalani stase kandungan pun kembali terukir jelas di kepala dan nyaris membuat wajah ini merah amarah.
Lelaki muda berperawakan lebih dari 170 cm itu masuk tergopoh-gopoh ke ruangan bersalin di lini IGD. Dia tidak sendiri. Dia menggendong perempuan cilik yang meringis kesakitan dan langsung membaringkannya di tempat tidur pasien. Bidan penjaga langsung datang menyambut diiringi oleh tiga perawat. Ada perdarahan hebat sedang terjadi di bawah sana.
"To…tolong dia, Bu!" Terpatah-patah ucapan lelaki muda itu. Kata bidan yang pertama kali melihatnya, bisa ditaksir umurnya masih muda sekitar dua puluh tahunan atau kurang.
"Anda siapanya? Kenapa dia bisa mengalami perdarahan seperti itu?"
"S…sa…saya keluaraganya. Dia…jatuh dari pohon."
"Kapan berdarahnya?"
"T…ta…tadi siang."
"Seberapa banyak darah yang sudah keluar?"
"B…ba…banyak." Dan lelaki itu semakin pucat pasi menjawab jeda setiap pertanyaan. Mencurigakan!
***
Saya baru saja memasuki ruang jaga kamar bersalin di lini depan ini. Bagaimana tidak, kamar bersalin IGD rumah sakit rujukan ini terkadang bikin gila otak dan otot. Sekali jaga saja, bisa puluhan perempuan datang untuk melahirkan, yang sebagian besar kehamilannya bermasalah. Entah posisi bayinya sungsang, plasentanya menutupi jalan lahir, bayinya nggak lahir-lahir, atau malah ketuban yang sudah lama pecah tapi bayi masih adem ayem saja di dalam sana. Banyak. Dan banyak pula yang berakhir di kamar operasi darurat, Caesar Sesarian alias dikenal dengan Sesar.
Saya berharap semoga malam ini pasien tidak begitu ramai seperti kemarin sehingga nyaris semalaman tidak tidur karena harus mengawasi pasien dengan drip oksitosin, yaitu satu cara pemacu persalinan. Belum lagi paginya harus disambung dengan visit besar dokter pakar kandungan yang kami sebut sebagai dokter konsulen.
Sepertinya baru pagi tadi visit besar bersama Sang Dokter dan kasus perempuan kecil ini membuatku harus bertemu lagi dengannya. Bukan enggan, tidak sama sekali. Bahkan, kalau boleh meminta, andai boleh membuntuti Sang Dokter karena ilmu yang beliau berikan sangat berguna. Namun ya itu tadi. Aura yang terpancar kuat sudah terlebih dulu membuat kami klepek-klepek.
Perempuan cilik tadi masih saja meringis kesakitan walau tidak seperti awal waktu datang. Perdarahan juga sudah tidak mengalir deras seperti di awal. Bedanya, lelaki yang mengantarkannya pertama kali sudah tidak ada. Kali ini seorang wanita paruh baya yang menemani perempuan cilik itu. Sepertinya dia ibunya.
Operan jaga pasien pun dimulai. Saya yang baru saja berpindah ke kamar bersalin depan menerima beberapa pasien baru dan teman yang tadi berjaga di kamar bersalin IGD akan pindah tugas di ruang bersalin belakang. Kami menyebutnya VK belakang, kamar inap persalinan yang lebih ‘lezat’ karena di sanalah tindakan persalinan langsung dilakukan. Sementara di ruangan bersalin IGD ini hanya tindakan awal sebelum persalinan saja yang kami lakukan. Toh akhirnya semua pasien di sini akan dikirim ke ruang bersalin belakang atau menginap langsung di ruang lain bila kasus penyebab kedatangan pasien tersebut berhubungan dengan non-kehamilan.
"Kenapa gadis cilik itu?" tanya saya pelan saat berada di ruang koas, satu ruangan sempit berukuran 2x2 meter yang hanya bersekat triplek sehingga suara harus dilembutan bila tidak ingin menganggu pasien yang ada.
"Perdarahan per vaginam. Kata keluarganya, jatuh dari pohon waktu ngambil daun." Mita, teman operan jaga saya langsung menjelaskan.
"Aneh banget! Jatuh ngambil daun?" Alasan yang sangat aneh. Aura detektif langsung terpancar dari radar saya.
"Tadi yang nganter cowok muda gitu. Aneh banget, dia ketakutan gitu."
"Atau jangan-jangan…Kamu sudah liat hymen-nya belum? Masih utuh atau sudah intak?"
"Belum detail. Dari tadi dia masih kesakitan. Jadi baru dikasih pereda sakitnya saja. Lha, waktu mau dihentiin darahnya aja, dia meringis mulu."
"Terus?"
"Tapi kuat juga tuh anak. Nggak nangis. Gila!"
"Udah konsul?"
"Belum. Belum lama datangnya kok, setengah jam lalu. Giliranmu, ya?" Saya mengacungkan jempol. Siap!operan jaga dilanjutkan!
"Siapa konsulennya?"
"Sang Dokter."
"Hehehe…Bagussss!"
Saya pun mendekati gadis cilik tadi. Usianya masih muda, baru 6 tahun. Dia masih duduk di SD kelas 1. Kebetulan ibunya yang menemani sedang keluar sebentar jadi ada waktu untuk menanyai lebih dekat dengan anak tersebut. Sebut saja namanya Melati, bukan nama sesungguhnya pastinya.
"Masih perih, Dek?" tanya saya awalnya.
Melati hanya mengangguk pelan.
"Tahan ya, tadi sudah dikasih obat biar nggak sakit banget. Habis main sama temen, ya?"
"Iya. Sama om."
"Seru banget ya mainnya?" Melati mengangguk pelan.
"Diajak mainan apa ama om?"
"Main kuda-kudaan," jawabnya polos. Huaaa… Jadi ini penipuan terbesar abad ini. Waspadalah sodara-sodara terhadap saudara perempuan atau anak gadis anda yang masih polos bila tiba-tiba menjawab pertanyaan main kuda-kudaan. Permainan mengelabui yang selalu dipakai oleh lelaki untuk menjerat anak-anak yang masih polos!
"Kuda-kudaan? Melati jadi apanya?"
"Penumpangnya. Om yang jadi kuda…"
"Terus?" tanya saya pelan, tidak bermaksud memaksa Melati tapi hanya ingin meringankan bebannya saja bila dia mau bercerita.
"Terus gantian. Om jadi penumpang, saya kudanya"
"Sakit?" Melati mengangguk pelan tak berdaya.
Tak lama kemudian ibunya sudah kembali lagi dan Melati diam. Bahkan, pertanyaan sederhana tidak lagi ada yang dijawabnya. Sepertinya dia tidak menceritakan ini kepada ibunya. Walau tanpa diceritakan pun mungkin si ibu sudah tahu penyebabnya. Bahkan, kuingat dari cerita teman sebelumnya kalau lelaki yang membawa Melati tidak ada di sini lagi karena diusir oleh keluarga besar Melati. Entahlah, yang pasti ibu melati hanya bilang bahwa anaknya jatuh dari pohon, saat mengambil daun.
Gila!!! Ini sudah kasus hukum. Kenapa tidak dilaporkan ke pihak yang berwenang supaya tim dokter dapat melakukan visum terhadap hasil kekerasan main kuda-kudaan.
"Mikir nggak sih tuh cowok hidung blonteng-blonteng (karena lebih parah dari hidung belang)?! Yang dia lakuin ini dapat meninggalin luka trauma dan psikis yang tak terlupakan untuk Melati. Mungkin sekarang Melati belum tahu apa arti semua perbuatan ini. Tapi, saat dia dewasa nanti, apa bukan bayang ketakutan yang hadir bila dia ingat luka lamanya. Bahkan, parahnya bisa menyebabkan vaginismus atau nyeri ketika berhubungan dengan suaminya nanti. Mikir nggak sih sampe sejauh itu?! Jangan cuma mikirin barang 5 senti doang! Benda yang ada di bawah!" Saya kesal. Tika yang jaga bareng saya menjadi pendengar setia saat kami berada di luar ruang bersalin. Saking kesalnya memang harus bicara agak jauh dari ruangan jaga.
"Tenang…tenang… Kita nggak dapat surat visumnya. Artinya, pihak keluarga mungkin menyelesein ini dengan jalan kekeluargaan. Tugas kita sekarang ya ngobatin dia dulu."
"Huh…lagi kenapa sih dunia ini?! Kemaren kakek-kakek bejat yang datang. Sekarang laki-laki muda yang juga nggak beda." Saya jadi teringat beberapa hari yang lalu menemui pasien di bangsal yang mengalami kejadian serupa. Bedanya, kakek yang jadi tetangga rumahnya yang jadi pelaku. Dan alasannya berkembang sedikit bukan main kuda-kudaan. Ngemut permen. Parah!!!
"Konsulen udah datang." Saya pun kembali ke ruangan tadi. Mempersilakan Sang Dokter memeriksa perdarahan per vaginam pada gadis cilik tadi. Menyiapkan segala alat yang dibutuhkan, termasuk membukakan bungkus sarung tangan steril untuk Sang Dokter.
"Pasien umur 6 tahun, Dok, dengan perdarahan per vaginam et causa jatuh dari pohon saat mengambil daun." Saya menjelaskan alasan yang sama persis yang keluarga Melati utarakan, dengan penekanan di beberapa bagian yang terdengar mencurigakan.
"Makasih, Dek." Sang Dokter mulai membuka bibir vagina gadis cilik tadi dengan perlahan dan terlihat Melati hanya meringis kesakitan. Juga saat diperiksa selaput hymen dan asal perdarahannya. Bahkan saking kecilnya kami tidak menggunakan kapas seperti biasa. Kami menggunakan cotton bud yang biasanya dipakai untuk membersihkan telinga. Benda kecil itu ternyata ada gunanya jika harus menghadapi kasus seperti ini karena yang kami lakukan untuk menghentikan perdarahannya tidak boleh menyebabkan hymen-nya semakin rusak.
Perlahan tapi pasti akhirnya lampu sorot yang kami pakai berhasil menemukan letak sobekannya. Tepat di arah jam enam dan jam sembilan terlihat dua sobekan kasar yang masih sedikit demi sedikit mengeluarkan darah.
"Ibu…kami harus menjahit perdarahan yang ada. Hanya kecil, satu atau dua jahitan." Sang Dokter meminta izin kepada ibu Melati. Melati sendiri mendengarnya hanya memejamkan mata. Dia hanya merintih kesakitan tanpa air mata. Sebuah perjuangan berat untuk tidak menangis bagi anak seusianya.
Lidokain pun disiapkan untuk membius Melati supaya tidak terasa sakit di daerah perlukaannya. Walau tidak menangis, Melati terlihat gelisah karena tangannya berulang kali mencengkram lengan ibunya. Kami pun mencoba menenangkan.
Melihat jarum suntik yang akan disuntikkan, Melati menelungkupkan kakinya. Wajar saja dia takut karena dia baru saja merasakan pengalaman buruk di daerah tersebut.
"Ya sudah tidak perlu dijahit." Sang Dokter pun menangguhkan penjahitan. Beliau hanya memasukkan obat antiseptik dan kasa kecil di dalamnya untuk menghentikan perdarahan.
"Kirim ke bangsal dan evaluasi perdarahannya. Besok laporkan semuanya."
"Baik, Dok." Itu suara residen kandungan kami.
Lalu, Sang Dokter menuliskan beberapa resep untuk mengurangi rasa sakit pada Melati. Kasus Melati pun usai karena keesokan paginya saya dengar keluarganya sudah membawanya pulang lantaran tidak ada lagi perdarahan. Padahal pemeriksaan yang kami lakukan belum usai sepenuhnya. Keluarga hanya tidak ingin memperpanjang masalah dan ingin Melati cepat pulang. Kami tidak dapat memaksa. Bagaimanapun terkadang ilmu pengetahuan masih kalah dengan adat istiadat atau apalah paham yang dipercaya oleh sebagian masyarakat.
Saya masih menghela napas berat. Berharap tidak akan ada kejadian serupa yang menimpa Melati-Melati lain di luar sana. Juga mendoakan semoga Melati baik-baik saja dan dapat mengobati traumanya dengan alamiah. Dia masih beruntung mendapatkan pertolongan pertama saat darah masih mengalir deras, bagaimana dengan yang lain yang mungkin hanya bisa pasrah saat orang-orang terdekat bahkan mungkin keluarganya sendiri melakukan kekerasan seksual dan memaksanya tutup mulut. Jadi, buat yang pengin jadi penjahat, silakan, tapi jangan jadi penjahat kelamin apalagi pedofilia! Nggak ada untungnya! Saya sumpahin impoten loh!
Avis,dr
Mengenang Melati ketika melihat gadis muda di sini menikah karena adat, bahkan dengan lelaki yang jauh beda usianya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H