Gila!!! Ini sudah kasus hukum. Kenapa tidak dilaporkan ke pihak yang berwenang supaya tim dokter dapat melakukan visum terhadap hasil kekerasan main kuda-kudaan.
"Mikir nggak sih tuh cowok hidung blonteng-blonteng (karena lebih parah dari hidung belang)?! Yang dia lakuin ini dapat meninggalin luka trauma dan psikis yang tak terlupakan untuk Melati. Mungkin sekarang Melati belum tahu apa arti semua perbuatan ini. Tapi, saat dia dewasa nanti, apa bukan bayang ketakutan yang hadir bila dia ingat luka lamanya. Bahkan, parahnya bisa menyebabkan vaginismus atau nyeri ketika berhubungan dengan suaminya nanti. Mikir nggak sih sampe sejauh itu?! Jangan cuma mikirin barang 5 senti doang! Benda yang ada di bawah!" Saya kesal. Tika yang jaga bareng saya menjadi pendengar setia saat kami berada di luar ruang bersalin. Saking kesalnya memang harus bicara agak jauh dari ruangan jaga.
"Tenang…tenang… Kita nggak dapat surat visumnya. Artinya, pihak keluarga mungkin menyelesein ini dengan jalan kekeluargaan. Tugas kita sekarang ya ngobatin dia dulu."
"Huh…lagi kenapa sih dunia ini?! Kemaren kakek-kakek bejat yang datang. Sekarang laki-laki muda yang juga nggak beda." Saya jadi teringat beberapa hari yang lalu menemui pasien di bangsal yang mengalami kejadian serupa. Bedanya, kakek yang jadi tetangga rumahnya yang jadi pelaku. Dan alasannya berkembang sedikit bukan main kuda-kudaan. Ngemut permen. Parah!!!
"Konsulen udah datang." Saya pun kembali ke ruangan tadi. Mempersilakan Sang Dokter memeriksa perdarahan per vaginam pada gadis cilik tadi. Menyiapkan segala alat yang dibutuhkan, termasuk membukakan bungkus sarung tangan steril untuk Sang Dokter.
"Pasien umur 6 tahun, Dok, dengan perdarahan per vaginam et causa jatuh dari pohon saat mengambil daun." Saya menjelaskan alasan yang sama persis yang keluarga Melati utarakan, dengan penekanan di beberapa bagian yang terdengar mencurigakan.
"Makasih, Dek." Sang Dokter mulai membuka bibir vagina gadis cilik tadi dengan perlahan dan terlihat Melati hanya meringis kesakitan. Juga saat diperiksa selaput hymen dan asal perdarahannya. Bahkan saking kecilnya kami tidak menggunakan kapas seperti biasa. Kami menggunakan cotton bud yang biasanya dipakai untuk membersihkan telinga. Benda kecil itu ternyata ada gunanya jika harus menghadapi kasus seperti ini karena yang kami lakukan untuk menghentikan perdarahannya tidak boleh menyebabkan hymen-nya semakin rusak.
Perlahan tapi pasti akhirnya lampu sorot yang kami pakai berhasil menemukan letak sobekannya. Tepat di arah jam enam dan jam sembilan terlihat dua sobekan kasar yang masih sedikit demi sedikit mengeluarkan darah.
"Ibu…kami harus menjahit perdarahan yang ada. Hanya kecil, satu atau dua jahitan." Sang Dokter meminta izin kepada ibu Melati. Melati sendiri mendengarnya hanya memejamkan mata. Dia hanya merintih kesakitan tanpa air mata. Sebuah perjuangan berat untuk tidak menangis bagi anak seusianya.
Lidokain pun disiapkan untuk membius Melati supaya tidak terasa sakit di daerah perlukaannya. Walau tidak menangis, Melati terlihat gelisah karena tangannya berulang kali mencengkram lengan ibunya. Kami pun mencoba menenangkan.
Melihat jarum suntik yang akan disuntikkan, Melati menelungkupkan kakinya. Wajar saja dia takut karena dia baru saja merasakan pengalaman buruk di daerah tersebut.