Aku duduk terpaku diteras rumah menikmati rintikan air hujan yang terus menerus menetes dan besatu dengan tanah sehingga wangi petrichor mulai menyeruak kedalam indra penciumanku. Nyaman, hal inilah yang aku rasakan saat ini. Akupun meminum teh hangat yang sedari tadi sudah tersedia diatas meja seolah-olah menunggu sang empu untuk segera meminumnya, sembari menyeruput teh hangat dan menikmati wangi petrichor dan suara tetesan air hujan yang saling beradu, akupun membuka handphone untuk mendengarkan playlist lagu kesukaanku.
Aku melirik kearah tanggal dan jam yang tertera pada homescreen handphone ku, jam 16.30 tanggal 30 September 2021. Ternyata hari ini tepat tanggal 30 September, peristiwa G30SPKI yang merupakan peristiwa pilu yang dialami bangsa ini tepat 56 tahun yang lalu. Pikiranku pun melayang-layang seolah-olah memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan. Apakah hari ini aku dapat meminum teh dengan tenang didepan rumah sembari menikmati hujan jika tanpa perjuangan mereka kala itu?.
--
"Pahlawan Revolusi", dua kata beribu makna yang frasanya akan selalu abadi dalam sejarah ingatan Bangsa Indonesia. Tetesan darah, keringat, dan air mata menjadi saksi bisu dedikasi dan perjuangan mereka terhadap bangsa ini. Lantas jika bukan karena perjuangan mereka apakah kita hari ini dapat menghirup udara segar dan mendapat kehidupan yang tentram?. Lantas pantaskah kita sebagai penerus bangsa rela dengan mudahnya melupakan perjuangan mereka terhadap bangsa ini?.
--
Pada bagian selatan negeri, di wilayah yang disebelah utara dan timurnya berbatasan langsung dengan Selat Madura lalu patung sura dan baya yang menjadi ciri khas kota ini, hari 20 bulan 1 tahun 1924 atas berkat dari Yang Maha Kuasa lahir seorang anak adam ke bagian penjuru bumi di kota yang cantik nan indah, Surabaya.
"Tirtodarmo Haryono."
"Aku beri nama kamu Mas Tirtodarmo Haryono." ujar sang ayah Mas Harsono Tirtodarmo.
Ia lahir ditengah-tengah hijrahnya Mas Harsono Tirtodarmo ke Sidoarjo, namun karena takdir semesta, istrinya yaitu Ibu Patimah yang sedang mengandung lalu melahirkan di New Holland Straat, Surabaya. Mas Tirtodarmo Haryono lahir di keluarga yang sangat berkecukupan, ayahnya merupakan seorang B.B. (Pamong Praja) yang saat itu mendapat kehidupan yang lebih istimewa daripada pegawai Belanda yang lainnya. Sebab kala itu nasionalisme timbul di kalangan orang yang terpelajar, maka sudah tak heran dan tidak sedikit dari putra putri seorang B.B. yang nantinya akan menjadi penggerak dan pemimpin nasionalisme.
"Mas Tirtodarmo Haryono, nama yang gagah dan tampan seperti parasnya. Aku ingin anak ini di masa depan menjadi anak yang berguna bagi orang banyak." ujar Ibu Patimah.
--
Rintik hujan mulai menetes di pekarangan rumah yang rimbun akan tamanan dan pohon, bau petrichor mulai menyeruak kedalam indra penciuman. Satu tetes dua tetes air sudah mulai diturunkan oleh semesta. Hal ini tidak mengurungkan niat Tirto yang sedang bermain kapal otok-otok di pekarangan rumahnya. Sampai tiba-tiba terdengar bunyi