Aku mendengar Sandy mendengus. "Padam? Kamu hanya jatuh pada godaan perempuan jalang itu." serunya.
Aku marah mendengar Sandy berbicara begitu tentang Jeny. "Hei dia bukan jalang."
"Woah,kamu sudah membelanya. Baiklah kita sudahi hubungan kita. Selamat bersenang-senang dengan wanita murahan mu itu." serunya sambil berdiri lalu memasukkan hp dan amplop cokelat yang tadi dia keluarkan ke dalam tas.
 Sandy langsung berjalan cepat keluar dari restauran tanpa sekali pun menengok kebelakang. Bodohnya aku mengharapkan dia menengok untuk terakhir kalinya pada ku.
Aku sudah tidak peduli dengan tatapan mata pengunjung lain dan para pelayan yang ada di sini. Aku menundudukkan kepala ku. "Aku sudah melakukan yang benar." bisikku dalam hati. Aku meyakinkan diri ku. Tapi kenapa perasaan tak enak ini tak kunjung hilang? Tanyak ku dalam hati.
BRAAK... CIIIIT...
Aku mengangkat kepala mendengar suara keras dari luar restauran. Aku segera berdiri dan berlari ke arah pintu keluar, perasaan ku semakin tidak enak. Aku melihat sudah beberapa orang yang berkerumun tak jauh dari restauran. Aku berlari kesana, dada ku berdebar sangat cepat, tangan ku menjadi dingin. Aku bergerak maju melewati orang-orang yang panik menelfon ambulance. Saat aku melihat sosok yang tergeletak di jalan, hatiku mencelos. Sosok itu adalah Sandy, darah berlumuran dari kepalanya dan mulai menggenang di jalan. Pakaiannya kotor dan beberapa robek, mungkin karena gesekan di aspal. Aku terduduk di dekatnya dan memanggilnya.
"Sand.. Sand.. Sand jangan bercanda." Ujar ku. Tak terasa air mata mulai mengalir deras di pipi ku.
"Sand.. Sand bangun.." ujar ku lagi.
 "Bangun Sand." Lirih ku sambil tersedu.
Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Yang ku ingat hanya aku mengganggam tangan Sandy yang tidak pernah aku lepas sampai di rumah sakit.