Mohon tunggu...
Lailatuscahyaningr
Lailatuscahyaningr Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Malang

Shining in your own way ✨

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mengalihwahanakan Cerpen Angin dari Gunung Karya A.A Navis ke dalam Naskah Drama

7 Februari 2019   12:01 Diperbarui: 7 Februari 2019   12:14 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Hari itu, Har dan Uni Nun sedang duduk di bawah pohon. Di hadapannya terpapar sebuah gunung menjulang tinggi. Dirasakannya tiupan angin oleh gunung itu. Berembus semilir, sejuk. Mengingatkan akan sebuah ceritanya di masa lampau.

(Hening)

Uni Nun : Har, kini kau pasti bahagia. (Menatap hampa pada langit)

Har : Maksudmu, Nun? (tertegun)

Uni Nun : Ya, sekarang kau sudah punya istri dan anak. Tentunya kau pasti bahagia.

Har : (terdiam)

Uni Nun : Aku sendiri masih bertanya. (sejenak menatap Har kemudian menatap langit). Kebahagiaan yang dimiliki setiap orang itu berbeda. Orang-orang di luar sana hanya tahu tawa-tiwinya saja. Namun di dalam hatinya adakah yang tahu cerita-cerita yang tenggelam dalam luka?

Har : (masih terdiam)

Uni Nun : Tak terasa sudah lima tahun. Ya, lima tahun menikah dan memiliki anak. (dengan tertawa masam). Dan kau cinta pada istrimu, tentu (menatap wajah Har).

Har : Ya, dan kini anakku sudah dua. (membuang tatapan Uni Nun)

Uni Nun : Dan kau sangat menyayangi mereka begitupun sebaliknya. Dan kau tentu bahagia. (mengalihkan tatapannya)

Har : (menghela napas) (seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tidak jadi)

Uni Nun : Apa kau ingat Har?

Har : Tentang apa?

Uni Nun : Tentang kita dalam cerita sembilan tahun silam.

Har : Ya, dan itu sudah sangat lampau (tertawa kecil)

Uni Nun : Memang sudah lama lampaunya, pahit dan aku tak ingin mengingatnya. (memandang jauh ke arah gunung)

Har : Ya, memang masa lampau terkadang seperti itu.

Uni Nun : Ketika itu seperti macam sekarang. Kita duduk seperti ini juga, tapi tempatnya bukan di sini. Aku masih sangat ingat. Kau menggenggam jari tanganku erat sekali. Dan aku membiarkannya tergenggam. Lalu dalam genggamanmu aku tahu kau ingin berbicara dan aku menunggunya.

Har : Masa itu adalah masa kanak-kanak kita, Nun. Jauh bila dibandingkan dengan masa sekarang.

Uni Nun : Ya. (dengan suara tak acuh)

Har : (lagi-lagi terdiam)

Uni Nun : Lihatlah, Har. Jari-jari yang dulu kau genggam kini tiada. Buntung, karena perang. Dan aku tak bisa merasa bahagia seperti dulu.

Har : Tak usah kau sesali yang telah terjadi, Nun. Takkan ada gunanya.

Uni Nun : Mulanya aku suka menangis. Menangisi semua yang hilang itu. Termasuk juga rasa. (terdiam sejenak) Benar katamu. Tak ada gunanya menangisi masa lampau, toh tidak akan ada ceritanya masa itu terulang lagi.

Har : (terdiam sendu)

Uni Nun : Tak ada gunanya.

Har :  (terdiam menunggu lanjutan ucapan Nun)

Uni Nun : (mengacungkan tangannya yang buntung ke depan, disilangkan, kemudian menggesek-gesekkannya)

Har : (menatap wajah Nun) (membuang muka dengan mata berkaca-kaca)

Uni Nun : Enak ya Har jadi kamu. Kau punya anak, dan kau punya istri. Dari itu kau punya pegangan hidup, tujuan hiduplah minimal. Dan yang terpenting kau punya tangan. Hingga kau dapat mencapai apa yang kau maui. Sebagai seorang suami, seorang ayah, seorang lelaki dan sebagai manusia, seperti yang sering kita omongkan dulu. Indah ya, Har. Hidup sepertu itu. (tersenyum masam kemudian terdiam)

Har : (hening)

Uni Nun : Tapi kini aku sudah tak bisa berbuat apa yang aku inginkan. Masa mudaku habis sudah ditelan oleh kebuntungan ini. (menurunkan tangannya) (memandang lebih jauh melampau balik gunung itu).

Har : (terdiam)

Uni Nun : Dulu aku cantik juga, bukan? (menghela napas dan tersenyum) (kemudian menoleh kepada Har)

Har : (menghadap wajah Nun)

Uni Nun : Bahkan tercantik di front Barat itu. Aku tahu semua orang mau menarik perhatianku. Semuanya mau mati-matian berjuang membunuh musuh demi mendekatiku. Dan ketika mereka mau pergi, dicarinyalah aku dulu.

Har : Ya, memang saat itu kau adalah bunga desa di sini. (membuang muka menghadap langit)

Uni Nun : Ya, begitulah. Kalau ada orang sakit pasti aku yang merawatnya. Aku pula yang menghiburnya di antara malam-malam yang damai itu. Dan pada waktu itu aku merasa ingin tanganku lebih banyak lagi dari ini. (menunduk)

Har : Kami atas nama pemerintah dan seluruh pemimpin perjuangan revolusi kemerdekaan mengucapkan terima kasih kepada saudari. Kami merasa sangat bangga dengan adanya patriot wanita seperti saudari, yang selamanya menyediakan waktu untuk memberi semangat kepada prajurit. Kami juga yakin, walau saudari tak di sini tentu front ini sudah lama diduduki musuh.

Uni Nun :  Ah kamu, Har. Aku dulu dan saat ini masih sama.

Har : Masih sama maksudnya?

Uni Nun : Ya, sama-sama hanya menjadi sebatas teman kecilmu. (tersenyum masam)

Har : Sudahlah, Nun. Itu hanyalah masa lalu. Kau harus berubah. Agar tak tenggelam dalam

luka-luka di masa itu.

Uni Nun : Har, dulu aku pernah berpikir. Bahwa hidup seperti itu tidak akan berlangsung. Suatu masa itu akan berakhir juga. Termasuk juga rasamu?

Har : (memandang Nun dengan penuh penyesalan)

(hening beberapa saat)

Matahari ketika itu sedang cerah-cerahnya. Bayangan pohon manggis bertelau-telau pada rumput hijau. Dan di kiri Har, Uni Nun duduk dengan mengunjurkan kakinya.

Uni Nun : (mengunjurkan kaki)

Har : (memandang kaki Nun sesaat)

Uni Nun : Tak kau jawab juga pertanyaanku, Har. (lagi-lagi tersenyum masam)

Har : (hanya terdiam merasa pilu)

Uni Nun : Apa yang sedang kaupikirkan?

Har : Tidak ada. (gelagupan)

Uni Nun : Kau pikirkan lagi?  (diam sejenak menatap Har) "Apa perlunya? Semua sudah sewajarnya bukan?  (menghadap kea rah gunung)

Har : Apa?

Uni Nun : Kau memikirkan aku kan?

Har : Tidak setepat itu benar. Aku memikirkan apa yang hendak kulakukan.

Uni Nun : Untuk apa? (dengan nada tinggi)

Har : Untukmu. (dengan nada yang lebih tinggi)

Uni Nun : Sia-sia saja, tiada guna. (nada rendah kemudian tersenyum)

Har : Mengapa kau tersenyum? Adakah kataku yang menyakitimu? Lagi?

Uni Nun : Mungkinkah orang seperti aku ini dapat berbuat sesuatu?

Har : Pasti. Kau adalah patriot wanita dan tentu kau pasti dapat berbuat sesuatu.

Uni Nun : Itu dulu, Har. Sekarang? (menatap Har) Tidakkah kau lihat kedua tanganku kini?

Hilang ditelan perang. Kau yakin kau dapat memastikan aku dapat berbuat sesuatu?"

Har : (terdiam)

Uni Nun : (tersenyum masam) Kau sendiri tak yakin dengan ucapanmu. Bagaimana mungkin aku meyakinkannya?

Har : Tapi setidaknya, kau lebih bisa berbuat banyak nantinya.

Uni Nun : Ya, tentu saja. (dengan nada yang sedikit angkuh) Seperti juga dulu kan? Seolah-olah jika tak ada aku semuanya seperti tidak sempurna. Semua orang jatuh cinta padaku, semua orang haus akan segala yang ada padaku. Tapi setelah itu, apa lagi? (dengan nada kesal)

Har : (tertunduk)

Uni Nun : Kau kasihan padaku, bukan?

Har : Kenapa tidak?

Uni Nun : Ya. Tentu saja kau kasihan padaku. Karena kau merasa berdiri di tempat yang sangat tinggi. Sedang aku? Aku hanya berada di bawahmu. Lalu dari tempatmu yang tinggi itu, kau memandangku.(nada sinis) Oh, alangkah kecilnya kau Nun. (mencela dirinya seakan-akan Nun adalah Har)

Har : Cukup, Nun. (mencoba mencairkan suasana)

Uni Nun : Seperti tadi saja. Kalau bukan aku yang menyapamu. Kau takkan tahu siapa aku. Sedang mata pertamamu saat melihatku tadi, kau seolah melihatku seorang pengemis yang dijijiki. Alangkah cepatnya semua berubah. Dan lebih cepat lagi seseorang melupakan seseorang lainnya. Meski pernah orang itu dicintainya." (lagi-lagi dengan nada sinis dan menatap Har)

Har : (memasang wajah penyesalan tidak tahu harus berkata apa)

Uni Nun : "Tapi aku tahu benar kau adalah orang baik."

(hening)

Kemudian datanglah seorang gadis kecil berlari menghampiri mereka.

Gadis Kecil : Ni Nun, Uni Nuuunn, (berteriak dengan berlari-lari)

Har dan Uni Nun : (menoleh dan mencari asalnya suara itu)

Gadis Kecil : Ke mana saja kau ini Uni Nun. Sukanya melalar saja. Tidak tahu kalau sedang dicari. (berbicara tanpa memerdulikan suasana)

Har : (terkejut)

Gadis Kecil : Nenek memanggil, cepatlah!

Uni Nun : Tolong tegakkan aku. Aku mau ke nenek. (berkata pelan)

Har : (membantu Nun dan menatapnya)

Uni Nun : Nenek sudah tua, sudah lupa segalanya. Selain aku. Dan kalau aku tak di dekatnya Nenek merasa kehilangan nyawa. (berjalan meninggalkan Har)

Har : (menatap langkah Nun dengan hampa)

Uni Nun : (terus berjalan)

Har : Besok aku datang lagi kesini, Nun. (berteriak)

Uni Nun : (tetap berjalan dan tidak membalas ucapan Har)

Har hanya menatap diam Uni Nun yang perlahan hilang di antara belukar itu. Angin dari gunung yang meniup belukar-belukar itu, kemudian meniupku, meniup Nun, dan membawa pergi cinta yang tak sampai itu.

-atus, '18

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun