Uni Nun : Lihatlah, Har. Jari-jari yang dulu kau genggam kini tiada. Buntung, karena perang. Dan aku tak bisa merasa bahagia seperti dulu.
Har : Tak usah kau sesali yang telah terjadi, Nun. Takkan ada gunanya.
Uni Nun : Mulanya aku suka menangis. Menangisi semua yang hilang itu. Termasuk juga rasa. (terdiam sejenak) Benar katamu. Tak ada gunanya menangisi masa lampau, toh tidak akan ada ceritanya masa itu terulang lagi.
Har : (terdiam sendu)
Uni Nun : Tak ada gunanya.
Har : Â (terdiam menunggu lanjutan ucapan Nun)
Uni Nun : (mengacungkan tangannya yang buntung ke depan, disilangkan, kemudian menggesek-gesekkannya)
Har : (menatap wajah Nun) (membuang muka dengan mata berkaca-kaca)
Uni Nun : Enak ya Har jadi kamu. Kau punya anak, dan kau punya istri. Dari itu kau punya pegangan hidup, tujuan hiduplah minimal. Dan yang terpenting kau punya tangan. Hingga kau dapat mencapai apa yang kau maui. Sebagai seorang suami, seorang ayah, seorang lelaki dan sebagai manusia, seperti yang sering kita omongkan dulu. Indah ya, Har. Hidup sepertu itu. (tersenyum masam kemudian terdiam)
Har : (hening)
Uni Nun : Tapi kini aku sudah tak bisa berbuat apa yang aku inginkan. Masa mudaku habis sudah ditelan oleh kebuntungan ini. (menurunkan tangannya) (memandang lebih jauh melampau balik gunung itu).