Bulan tanpa cahaya. Bukankah bulan tak memiliki cahaya, hanya mengandalkan matahari? betul.
Ini bukan tentang bulan tapi kisah bulan yang selalu bersama cahaya. Saling membutuhkan namun lama-kelamaan menjadi pudar.
Hai, Perkenalkan aku Bulan, aku mempunyai Cahaya yang selalu berada di sisiku. Dia yang membuatku bersinar.
Cahaya adalah teman hidup yang sangat aku banggakan, yang selalu ingin aku pamerkan keseluruh alam semesta, jika Cahaya adalah milikku.
Tidak ada yang mengetahui bagaimana pancaran sinar Cahaya menghidupkan suasana hatiku. Kilauan itu tak tajam, seperti remang - remang.
Bisa dikatakan aku sangat beruntung bersama Cahaya. Kita berdua saling membutuhkan, ada suka dan duka namun tak membuat kita ingin berpisah.
Cahaya berkata, "Semua memiliki kekurangan, aku tetap berada di sekitar mu, tak perlu takut."
Aku mendongak menatapnya, kalimat yang seharusnya membuat aku lega, malah menjadi lara.
Aku tidak pernah berkhianat sedikit pun mencari Cahaya lain, bahkan jika banyak mengidamkan Cahaya paling terangpun aku tetap mendamkan Cahayaku.
"Terimakasih untuk terus di sampingku, aku harap tidak ingkar janji." Ucapku sambil tersenyum.
Oh, apakah berpikir jika mereka tak pernah bertengkar karena sesuatu?
Pernah. Bahkan hal sepelepun menjadi petaka besar bagi keduanya.
Bulan merasa jika Cahaya berbeda dari sebelumnya, tak berseri seperti biasa.
Dengan penuh ketakutan dan ragu, Bulan memberanikan diri untuk membicarakan ini, dia mengeluarkan pertanyaan yang menghantam benaknya, "Ada apa dengan kau, kenapa sinar itu seperti redup?"
Karena dilontarkan pertanyaan mendadak seperti itu, Cahaya tampak terkeju. Dia menjawab, "Sinarku masih seperti biasa, mengapa kau berpikir seperti itu?"
"Ah tidak, mungkin dugaanku salah." Imbuhku kembali. Sebenarnya batinku bertolak belakang dengan lisan.
Cahaya sedikit memicing, dia mendekatiku, aku reflek mundur lalu bibir atasnya naik sebelah kiri.
Sangat sial, apa yang ada dalam pikirannya, mengapa dia seperti itu?
Cahaya, aku takut dan rasanya ingin menangis. Tetapi aku Bulan tak ingin terlihat lemah oleh Cahaya.
Ini sangat menyeramkan, aku ingin melarikan diri saat melihat Kilauan dari dirinya sangat dominan. Cahaya emosi, "Tolong jawab dengan jujur!"
Saliva yang sedari tadi tertahan ingin keluar tak sengaja tertelan, aku tertegun mengigit bibir bawahku. "Maaf, jika pertanyaanku memancing amarah aku, tapi mau seperti berbeda, mungkin karena beban mu banyak?"
"Tidak kamu tak salah apapun, aku yang seharusnya minta maaf bersikap seperti ini." Ujarnya.
"Cahaya apakah kau masih ingin bersamaku seperti yang pernah kau ucap?" Suaraku terlalu kecil namun bisa didengar olehnya.
"Aku menyayangimu dan masih, jangan pernah berpikir aku seperti masa lalu mu. Kita berbeda, bukan bermaksud tak bersimpati dengan kisah lalu"Ucap Cahaya.
Maaf jika sikapmu menyakiti dirimu."Sambungnya dengan jujur.
Aku memastikan hal itu dan tak ada celah kebohongan yang ada dalam dirinya. Tapi dengan bodonya aku mengungkit masalah kita yang dulu dan mulut sialan ini berkata hal tidak wajar.
"Ini juga salahku, Kau benar setiap makhluk itu berbeda, Aku telah mencatat suatu hal yang tak Kau suka termasuk ini. Meskipun ini menyedihkan tetapi tak masalah." Ujarku
Aku menarik nafas perlahan, manik kita beradu. Dia menatapku dengan mimik sulit diartikan. Aku bertanya, "Apakah kau sungguh menyangiku?"
"Ada suatu hal yang ga bisa aku ceritakan kepada siapapun, termasuk kau. Bukan karena tak mempercayai mu lagi, namun jika aku cerita menjadi beban bagiku."
Hatiku hancur, pikiranku seperti melayang entah berantah. Penopang yang selalu kokoh seperti lapuk.
Tidak, aku harus kuat. "Kau berbohong, jika mempercayaiku tak seharusnya seperti ini."
Dadaku terasa sakit seperti dihantam berjuta jarum. Aku merutuki diri sendiri ketika mengucapkan hal tidak wajar.
Aku sadar jika ini salah, tanganku spontan memukul bibir sendiri. Ini tak sesakit yang dirasakan Cahaya.
Cahaya hanya melihat tindakanku tanpa ekspresi. Aku tak bermaksud mencari perhatiannya, tapi ini terjadi di luar kendaliku.
"Cukup Bulan! jika kau merasa tidak ada kecocokan sudahi saja hubungan ini, aku tak mau memaksakan jika tak bisa. Aku tak menggampangkan hal ini, tetapi jika menang ini akhirnya, yasudah." Suara datar milik Cahaya sangat mengerikan.
Titik emosi seseorang itu paling menyeramkan saat dia menahan amarah dengan suara datar tanpa ekspresi diwajah.
Air yang telah berkumpul dalam sarangnya kini terjun karena sudah terlalu penuh. Dia terus berjalan tanpa ada yang mengentikannya.
Bulan tergeletak karena topangan susah merasakan yang tak tertahan. Dia juga tertawa hambar dan juga tersenyum miris. "Hahaha Kau sangat lucu sekali Cahaya. Tak menggampangkan tapi seenaknya berkata seperti itu."
"Oh atau memang dari dulu sudah berniat membuangku? hahahaha." Suara gelak yang memilukan dengan air mata yang selalu turun itu sangat memilukan.
"Aku bingung harus menuruti atau menahanmu untuk tinggal bersamaku."
"Jika dari dulu merasa tak cocok aku sudah mencari yang lain, tapi aku hanya ingin dekatmu."
"Aku capek menutupi celah agar ada yang datang, karena jika terjadi lagi aku kembali merasakan hal itu."
"Kenapa Cahaya, Jawab aku!"
Tubuhku bergetar hebat, pundak naik turun dan nafas tak beraturan lalu suara semakin pelan. Aku tak tahan dengan semua ini.
Melihat Cahaya hanya diam tak berkutik, aku menganggap kesalahanku sangat fatal dan memang ini salahku.
Aku berdiri hendak menariknya dalam dekapan, tapi tak berani karena dia tak menginginkan aku lagi.
"Setiap aku bertengkar selalu aku merasa bersalah bahkan."
"Aku tau kamu juga menyalahkan dirimu, tak seperti biasa. Maaf jika aku hanya pengaruh buruk untukmu."
"Tapi entah mengapa aku menduga sikapmu berubah semenjak beban dalam benakmu memuncak. Kau seakan bisa simpan sendiri tetapi tanpa sadar kau menyakiti diri sendiri dan juga pasanganmu."
"Aku selalu diam di saat menyepelekan suatu hal karena aku tahu kau tak bermaksud seperti itu."
"Aku selalu sabar saat kau pernah berkata tak ingin merayakan hari spesial karena tak ada gunanya dihitung. Aku tetap sabar meskipun kecewa namun diam diam merayakan sendiri."
"Saat kau menutupi masalah dengan sabar juga aku menunggu ceritamu, meskipun ada rasanya ingin memaksa."
"Tapi mengapa Cahaya, kenapa semua kesalahan dilimpahkan kepadaku?"
"Ah seharusnya sedari awal kita tak usah kenal, bukan menyesal hanya saja bukankah terbaik adalah aku tak mencari alasan binarmu selalu bersinar dekatku dan kau juga seharusnya pergi agar sinar itu menghilang sendiri."
Cahaya masih tak memberi tanggapan apapun. Aku tidak tahu apa yang dibicarakan pikirkan dan hatinya, namun aku bisa menebak dia juga rapuh.
Aku yakin pernyataan mengakhiri hubungan bukan dari lubuk hatinya. Aku semuringah saat kakinya melangkah ke arahku, dia berjongkok lalu mengelus pipiku dan mengusap air mataku.
Kita saling hening. Tangannya yang lembut seharusnya aku merasa tenang, namun kali ini berbeda, bahkan aku tidak bisa menutup mata untuk merasakan kedamaian karena hatiku terus memberontak.
Cahaya kembali berdiri dia pergi tanpa berpamitan meninggalkanku yang sedang menatap punggungnya.
Sekarang Bulan tak memiliki Cahayanya.
Apakah Bulan akan bisa tanpa Cahaya setelah perjalanan yang mereka lewati bersama?
Apakah Cahaya akan kembali kepadanya karena janji yang pernah mereka buat?
Atau, apakah ini yang terbaik bagi kedua belah pihak.
Cahaya pergi sambil menangis tanpa suara, dia juga merasakan sesak dan merutuki diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H