Mohon tunggu...
Athiyya Azzahra
Athiyya Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang Kerumah yang Sama

13 Januari 2025   20:34 Diperbarui: 13 Januari 2025   20:34 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hawa dingin menusuk tulang. Rintik hujan yang tak kunjung reda sejak sore hari, kini berubah
menjadi gerimis yang menusuk kulit. Di dalam mobil, Arini memijat pelipisnya yang terasa
berdenyut. Matanya sendu menatap jalanan basah kuyup, pikirannya melayang jauh ke masa
lalu. Lima tahun pernikahan terasa begitu lama, bagaikan lima abad. Pernikahannya dengan
Damar, cinta pertamanya sejak sekolah dasar, kini berada di ujung tanduk. Kata-kata kasar
Damar tadi siang masih bergema di telinganya; "Kamu itu egois! Tidak pernah memikirkan aku!
Aku menyesal menikah denganmu!" Arini menghela napas panjang. Ia sadar ada yang tidak
beres dalam hubungan mereka, namun ia tidak dapat menemukan akar masalahnya. Ia hanya
ingin segera pulang, ke rumah yang dulu terasa hangat, namun kini terasa dingin seperti gua es.
Ia kembali menatap foto pernikahan mereka yang terpasang di dasbor mobil. Dalam foto itu,
mereka berdua terlihat begitu bahagia dan tanpa beban. Mengapa kini semuanya terasa begitu
jauh?
Arini menghentikan mobil di depan rumah mereka. Cahaya remang-remang memancar dari
dalam rumah, seakan-akan mencerminkan perasaannya saat ini. Dengan langkah berat, ia
membuka pintu. Damar duduk di sofa, membelakanginya. Di atas meja, berserakan gelas-gelas
bekas kopi dan asbak penuh puntung rokok. Arini berusaha menelan kepahitan yang memenuhi
hatinya.
"Damar?" panggil Arini lirih. Damar berbalik, matanya merah.
"Dari mana saja kamu?" jawab Damar dengan suara berat.
"Ada lembur sedikit di kantor." Arini berusaha tersenyum, tapi yang keluar hanya senyum getir.

"Lembur atau cari perhatian cowok lain?" Damar memicingkan matanya, tanpa menatap Arini.
Arini tersentak kaget. Rasanya darah dalam tubuhnya seketika membeku. "Apa maksudmu
dengan itu?" tanya Arini dengan nada suara yang semakin meninggi.
"Kamu pikir aku bodoh? Aku tahu kamu sering menerima telepon dari laki-laki lain! Kamu
pikir aku tidak tahu kamu sering pergi makan siang bersama teman kerja cowokmu!" Damar
berteriak, menggema di seluruh ruangan.
Arini menggelengkan kepala. "Kamu salah paham, Damar. Mereka hanyalah teman sekantor.
Dan telepon itu dari klien, bukan dari pria lain." Arini berusaha menjelaskan dengan tenang,
namun percuma. Damar sudah terlalu buta oleh kemarahan dan prasangkanya yang buruk.
"Bohong! Aku muak dengan semua ini! Aku menyesal telah menikahimu!" Damar berdiri sambil
menuding wajah Arini dengan jari telunjuknya.
Arini merasa dadanya sesak, bagai diremas erat. Kata-kata Damar menusuk hatinya seperti
ribuan duri tajam. Ia tidak menyangka Damar akan berbicara sekasar itu. Ia bingung mengapa
Damar berubah menjadi sosok yang begitu menakutkan.
"Baiklah, jika itu yang kamu inginkan," jawab Arini dengan suara bergetar. "Sepertinya memang
kita sudah tidak dapat lagi bersama." Arini berbalik dan masuk ke kamar, air matanya mengalir
deras. Ia benar-benar merasa bingung harus berbuat apa.
Arini menyeka air matanya yang mengalir deras. Ia menatap foto-foto lama yang tertata rapi di
atas meja rias. Foto-foto mereka saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, dengan seragam
merah putih yang kebesaran, merekam tawa riang mereka tanpa beban. Lalu, ada pula foto ketika
mereka mulai menginjak masa remaja, saat Damar harus pindah sekolah mengikuti orang tuanya.
Rasa sedih kembali menyelimuti hatinya. Mereka sempat berpisah, namun takdir
mempertemukan mereka kembali saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Pertemuan
yang indah, pertemuan yang membawa mereka ke pelaminan. Arini dan Damar telah menjadi
teman sekelas sejak kelas empat Sekolah Dasar. Mereka menghabiskan waktu bersama, bermain
di lapangan sekolah, belajar bersama, dan berbagi suka duka. Arini sangat mengagumi
kecerdasan dan ketekunan Damar. Begitu pula Damar, ia selalu kagum akan kecantikan dankebaikan hati Arini. Namun, saat Damar harus pindah sekolah karena ayahnya mendapat tugas di

kota lain, Arini merasa sangat kehilangan. Ia merasa dunianya seakan runtuh.

Setelah tiga tahun berpisah, takdir mempertemukan mereka kembali di bangku SMA. Secara tak

terduga, mereka bertemu dalam acara orientasi siswa baru. Arini, yang saat itu sudah duduk di

kelas dua, terkejut melihat kehadiran Damar di sekolahnya. Pertemuan itu menghangatkan

kembali hubungan mereka. Mereka pun kembali dekat. Damar yang dulu dikenal sebagai anak

laki-laki berkulit gelap dengan rambut cepak dan berpenampilan kaku, kini telah menjelma

menjadi remaja tampan yang populer di kalangan gadis-gadis. Namun, hati Damar hanya tertuju

pada Arini, gadis yang selalu dirindukannya. Persahabatan mereka bersemi menjadi asmara.

Mereka menjalin hubungan asmara selama tiga tahun, hingga akhirnya memutuskan untuk

mengikat janji suci setelah keduanya menyelesaikan studi di perguruan tinggi.

Air mata Arini semakin deras membasahi pipinya yang lembut. Di antara tumpukan foto itu, ada

satu yang membuat hatinya semakin pedih. Foto dirinya bersama Santi, sahabat setianya, dan

Damar saat mereka masih remaja. Dalam foto itu, Santi memeluk mereka berdua erat-erat,

ketiganya tampak begitu bahagia. Santi adalah sahabat terdekatnya sejak SMP. Mereka telah

berbagi suka duka sejak kecil. Santi juga tahu betul bahwa Arini dan Damar saling mencintai

sejak dulu. Santi selalu mendukung hubungan mereka. Namun, mengapa kini semuanya terasa

begitu rumit? Mengapa Damar bisa berubah menjadi sosok yang begitu kejam dan penuh

kecemburuan? Arini tak pernah membayangkan bahwa kisah cinta indahnya akan berakhir

dengan penderitaan seperti ini. Ia menatap foto itu dalam-dalam sekali lagi, kemudian

mengambil buku diary kesayangannya dari laci meja rias.

Di antara lembaran-lembaran buku diary yang telah menguning, Arini menemukan sebuah surat.

Surat itu ditulis oleh Damar saat mereka masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas

(SMA). Surat itu penuh dengan ungkapan cinta dan janji setia. Arini membaca surat itu dengan

hati yang pedih. Kata-kata Damar bagai racun yang meresap ke dalam jiwanya. Bagaimana

mungkin seorang laki-laki yang pernah begitu mencintainya, kini tega menyakitinya sedemikian

rupa? Arini menitikkan air mata. Ia kembali teringat akan pertengkaran mereka tadi siang.

Damar dengan sembarangan menuduh Arini berselingkuh. Padahal, telepon dan pertemuan

makan siang itu semata-mata karena urusan pekerjaan. Tiba-tiba, sebuah ide cemerlang muncul

di benaknya. Ia ingin meminta bantuan kepada Santi. Ia yakin, hanya Santi yang dapat membantunya. Arini pun memutuskan untuk menghubungi Santi. Ia menekan tombol panggilan

pada ponselnya.

"Halo, Rin? Ada apa?" suara Santi di seberang sana terdengar khawatir.

"San... aku butuh bantuanmu. Aku dan Damar..." Arini tak sanggup meneruskan kata-katanya,

ia terisak.

"Kenapa? Ada apa dengan kalian? Apa Damar menyakitimu?" Santi bertanya dengan nada

cemas.

Arini mengangguk. "Ia menuduhku selingkuh... ia mengataiku egois dan tidak pernah

membujukku. Aku bilang menyesal telah menikah denganku."

Santi terdiam sejenak. "Aku akan sampai ke sana sekarang. Tunggu aku ya."

Arini menghela napas lega. Ia yakin, Santi akan selalu ada untuknya. Saat menunggu Santi, Arini

tersadar. Sepertinya ia lupa menceritakan kepada Santi tentang pikiran-pikirannya. Karena terlalu

buru-buru menelepon Santi, ia jadi lupa menyelesaikan ceritanya.

Beberapa saat kemudian, bel pintu rumah berbunyi nyaring. Arini segera membukakan pintu.

Santi berdiri di ambang pintu dengan wajah yang terlihat khawatir. Ia langsung memeluk Arini

dengan erat.

"Sudah, Rin, jangan menangis. Ceritakan padaku, apa yang terjadi." kata Santi lembut.

Arini mempersilakan Santi masuk dan mereka duduk di sofa ruang tamu. Arini kemudian

menceritakan semua peristiwa yang terjadi, mulai dari pertengkarannya dengan Damar hingga

gagasan yang muncul di benaknya.

"Aku ingin kita membuat Damar cemburu. Aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan saat

dia menuduhku selingkuh," kata Arini, matanya memancarkan tekad.

Santi menatap Arini dengan bingung. "Kamu yakin dengan ide ini, Rin? Apa itu tidak akan

memperbaiki keadaan?"

"Aku yakin, San. Aku ingin Damar sadar, seberapa besar cintaku padanya dan seberapa besar
rasa sakit yang ia torehkan di hatiku," jawab Arini dengan mantap. Santi menghela napas. Ia
tahu, Arini memang sangat keras kepala. Mau tidak mau, ia harus mendukung sahabatnya.
"Baiklah, aku akan menerimanya. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Santi.
Arini tersenyum. "Aku sudah punya rencana, San. Tenang saja." Arini menjelaskan rencana
kepada Santi. Santi mengangguk-angguk, lalu tersenyum. Sebuah rencana yang sangat berani,
tapi mungkin bisa menjadi solusi untuk masalah mereka.
Keesokan harinya, Arini mulai melaksanakan rencananya. Ia menghubungi seorang teman lama
yang pernah menyukainya, yaitu Rian. Arini meminta Rian untuk berpura-pura menjadi
kekasihnya. Awalnya, Rian ragu-ragu, namun setelah mendengar penjelasan Arini, akhirnya ia
menyetujui permintaan itu. Arini kemudian mulai mengunggah foto-foto kebersamaannya
dengan Rian di media sosial. Foto-foto yang memperlihatkan mereka sedang menikmati makan
malam romantis, berjalan bergandengan tangan, dan tertawa bahagia diunggahnya secara
sengaja. Ia juga membuat status yang menyatakan bahwa ia telah jatuh cinta pada seorang pria
baru. Tentu saja, unggahan Arini membuat Damar sangat marah. Damar segera menghubungi
Arini dengan nada marah. Ia menuduh Arini dengan tegas bahwa ia telah berselingkuh. Arini
hanya menjawab dengan santai, mengatakan bahwa ia hanya membalas perbuatan Damar. Damar
semakin marah besar. Ia tidak menyangka bahwa Arini bisa seberani ini. Di sisi lain, Santi diam-
diam merasa khawatir. Ia takut rencana mereka akan gagal dan justru membuat keadaan menjadi
lebih buruk. Namun, ia tetap berusaha memberikan semangat kepada Arini. Ia selalu meyakinkan
Arini bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Beberapa hari kemudian, Arini dan Damar sepakat bertemu di sebuah kafe. Damar yang
mengusulkan pertemuan itu, beralasan ingin membicarakan masalah yang sedang mereka hadapi.
Arini datang dengan penampilan yang berbeda dari biasanya. Ia mengenakan gaun cantik,
rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya dipulas dengan riasan menawan. Damar terpukau
melihat perubahan penampilan Arini. Ia baru menyadari betapa cantiknya istrinya.

"Ada apa kamu menyuruhku datang ke sini?" tanya Arini dengan nada ketus.

"Aku... aku ingin minta maaf, Rin. Aku salah sudah menuduhmu yang tidak-tidak. Aku

menyesal sudah kasar padamu," jawab Damar dengan suara lirih.

Arini tersenyum sinis. "Maaf? Semudah itukah kamu meminta maaf setelah semua katamu yang

menghancurkan hatiku?"

Damar menjawab. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia merasa bersalah dan bodoh. Ia tak pernah

menyangka bahwa sikapnya yang kekanak-kanakan bisa membuat Arini berubah menjadi seperti

ini.

"Aku sudah tidak mencintaimu lagi, Damar. Aku sudah menemukan seseorang yang lebih

menghargaiku," kata Arini sambil menatap tajam ke arah Damar.

Damar terkejut. Ia tidak menyangka Arini akan berkata seperti itu. Ia merasa seperti ditikam

pisau.

"Tapi, Rin..." lirih Damar.

Arini berdiri dari kursi. "Maaf, aku harus pergi. Aku sudah ditunggu seseorang," kata Arini

sambil berlalu meninggalkan Damar yang bersandar di kursi.

Damar bersandar di kursi. Saat Arini pergi, ia melihat seorang wanita keluar dari balik dinding

kafe. Wanita itu adalah Santi. Santi menghampiri Damar dan duduk di kursi yang tadi diduduki

Arini. Santi tersenyum pada Damar.

"Hai, Damar. Bagaimana kabarmu?" sapa Santi dengan nada ramah.

Damar sangat terkejut, "Santi? Kamu? Kok bisa di sini?"

Santi terkekeh, "Tentu saja bisa. Kamu lupa kalau aku sahabatnya Arini? Dan sekarang aku...

Kekasihmu."

Damar semakin bingung. "Maksud kamu? Kamu... Kekasihku?"

Santi mengangguk sambil tersenyum lembut. "Iya. Kamu sudah membuat Arini patah hati. Aku
tidak akan membiarkan Arini sama kamu lagi. Kamu pantas mendapat hukuman, dan
hukumanmu adalah menyakitiku sama seperti kamu menyakiti Arini."
Damar mengerutkan keningnya. "Tapi... Tapi, aku tidak pernah mencintaimu, San."
Santi tersenyum mengejek. "Aku tahu. Sama seperti dulu kamu juga tidak pernah mencintaiku
kan? Tapi aku selalu ada ketika kamu butuh, sama seperti Arini. Tapi kamu malah menyakitinya.
Aku hanya ingin kamu tau, betapa bodohnya kamu karena tidak menghargai ketulusan yang ada
di depan mata."
Damar menundukkan kepala, air matanya menetes perlahan. Baru saat itu ia menyadari betapa
besar kesalahannya. Ia telah menyia-nyiakan cinta tulus dan tanpa syarat dari Arini. Kini, ia
harus menanggung akibat dari perbuatannya. Namun, yang lebih membuatnya terpukul adalah
pengkhianatan dari Santi, sahabat terdekat Arini. Bagaimana bisa seseorang yang selama ini
mendukung hubungan mereka tega melakukan hal seperti itu? Ia merasa seperti terperangkap
dalam mimpi buruk. Segala sesuatu terasa begitu rumit dan tidak masuk akal. Ia tidak pernah
menyangka hubungannya dengan Arini akan berakhir tragis seperti ini. Dan yang paling
mengejutkannya adalah pengkhianatan dari Santi yang selama ini dianggapnya sebagai sahabat
sejati.
Arini yang berdiri di luar kafe itu tersenyum tipis. Ia memeluk erat Rian, sepupu Santi yang
memiliki wajah sangat mirip dengan Rian, kekasihnya. Tatapannya lantas tertuju pada kafe di
seberang jalan. Dalam hati, ia bertekad agar Damar merasakan sakit yang sama seperti yang
pernah ia rasakan. Ia tidak akan membiarkan dirinya disakiti lagi. Kini, ia harus belajar untuk
mencintai dan menghargai dirinya sendiri. Arini tidak akan pernah kembali ke rumah yang penuh
dengan kepahitan itu. Ia akan mencari rumah baru yang sesungguhnya, tempat di mana ia bisa
menemukan kedamaian dan cinta sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun