Mohon tunggu...
Sosbud

Peran Pekerja Sosial Internasional terhadap Implikasi Konflik Sosial Etnis Rohingya di Myanmar

25 Januari 2019   01:00 Diperbarui: 25 Januari 2019   01:18 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sementara itu, Myanmar merupakan negara multikultural dengan berbagai macam etnis, baik itu etnis minoritas maupun mayoritas, sehingga potensi untuk terjadinya konflik antar etnis sangat besar untuk terjadi di Myanmar. Hal tersebut terbukti dengan adanya konflik antar etnis Rohingya yang beragama muslim dengan Etnis Rakhine yang beragama Budha di Provinsi Rakhine, Myanmar.

Konflik yang bernuansakan etnis dan agama dalam kehidupan bermasyarakat merupakan konflik yang sulit untuk diselesaikan (intrectable conflict/unnegotiable conflict) dan berlangsung lama (Jeong, 2008).  Selain itu, konflik berbasis agama juga dapat menjadi semakin rumit apabila melibatkan isu etnisitas, dimana kelompok -- kelompok etnis tertentu menjadi pemeluk dari agama yang berbeda sehingga dikenal dengan istilah konflik etnis dan agama (Fox 2002; kadayifci -- Orellana 2009).

Perbedaan -- perbedaan yang berhubungan dengan etnis dan agama juga merupakan permasalahan yang sangat mudah menyulut konflik -- konflik terbuka, bahkan dapat mencapai tingkat intensitas kekerasan tinggi yang menelan korban jiwa seperti konflik Etnis Rohingya yang beragama Islam dengan Etnis Rakhine yang beragama budha di Provinsi Rakhine, Myanmar Barat (Revolusi, 2013).

Konsekuensi negara dengan masyarakat yang beraneka ragam latar belakangnya memang sangat mudah untuk memunculkan potensi konflik sosial, akan tetapi hal tersebut juga merupakan sebuah kekayaan yang harus senantiasa dijaga kearifan lokalnya demi menjaga eksistensi etnis dan kebudayaan suatu masyarakat tertentu. 

Akan tetapi, hal tersebut sepertinya tidak berlaku bagi masyarakat Myanmar karena Pemerintah Myanmar tidak bisa menjaga netralitas dan memberikan keamanan bagi warga negaranya serta condong kepada satu golongan tertentu. Pemerintah sebagai pihak yang  berkewajiban memberikan rasa aman kepada rakyatnya, justru telah menerbitkan Undang -- Undang Kewarganegaraan pada tahun 1982 yang akibatnya dapat mengancam eksistensi etnis Rogingya didalam negerinya sendiri.

Kebijakan tersebut menjelaskan bahwa dari 135 etnis yang diakui oleh Pemerintah Myanmar, Etnis Rohingya Bengali tidak termasuk kedalam 135 etnis yang diakui oleh Pemerintah Myanmar. Bahkan yang menambah parah kasus tersebut adalah junta militer melakukan tindakan yang bersifat represif berupa pembantaian atau genosida kepada etnis Rohingya di Provinsi Rakhine, Myanmar.

Banyak faktor yang memicu awal terjadinya konflik yang berkepanjangan ini, mulai dari kasus pemerkosaan, diskriminasi warga mayoritas dan masalah entitas etnis. Hingga pada akhirnya akar konflik yang terjadi karena adanya kecemburuan terhadap etnis rohingya yang dalam beberapa dasawarsa ini terus meningkat, baik itu dari segi eksistensi maupun perekonomian etnis Rohingya itu sendiri jika dibandingkan dengan etnis lainnya yang ada di Rakhine, Myanmar.

Pribahasa "Seperti Duri dalam Daging" merupakan stigma yang diberikan oleh pemerintah karena kehadirannya dapat mengancam eksistensi dari pemerintahan itu sendiri. Keberadaan Etnis Rohingya dianggap mengurangi hak atas lahan pertanian dan ekonomi karena junlah populasinya yang terus meningkat setiap tahun, khususnya di wilayah Arakan, Provinsi Rakhine yang menjadi pusat kehidupan Etnis Ronhingya.

Secara historis kemunculan pemukiman Etnis Rohingya di Arakan terlacak sejak zaman kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430 -- 1434). Seiring berjalannya waktu, jumlah pemukim Muslim dari Bengal tersu bertambah, terutama ketika Inggris menduduki Rakhine pada tahun 1924.

Kondisi pada waktu itu menggambarkan kalau di Rakhine sedang kekurangan populasi, sehingga Inggris memasukan banyak orang Bengali ke Rakhine untuk bekerja sebagai petani. Hal tersebut pula lah yang mengakibatkan sampai dengan hari ini banyak lahan pertanian di Rakhine  mayorutas penduduk disni berkerja sebagai petani bekerja di sektor agraris.

Resolusi konflik merupakan jalan yang seharusnya bisa dilakukan dalam menyelesaikan masalah suatu konflik tertentu. Resolusi dalam Webster Dictionary menurut Levine (1998:3) adalah (1) tindakan mengurangi suatu permasalahan, (2) pemecahan, dan (3) Penghapusan atau penghilangan permasalahan. Sedangkan Weitzman & Weitzman (dalam Morton & Coleman 2000: 197) mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun