Tidak cukup hanya sampai di situ pemerintah yang seharusnya berada di posisi tengah (Netral) justru turut serta mempersekusi dengan pelarangan pembangunan tempat ibadah, di banyak kota di Indonesia. Teramat sangat menyedihkan bukan? Tinggal di sebuah negara yang berlandaskan UUD 45 yang menjanjikan kepada semua warga negaranya untuk bebas memilih keyakinan. Namun mengapa negara tidak memberikan ruang aman agar bisa tenang saat memanjatkan sebuah doa pengharapan.
Atau mungkin saya juga harus mengingatkan betapa sulitnya kepercayaan lokal mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena negara secara terang terangan tidak mengakui keberadaan dari mereka. Ditambah belum ramahnya negeri ini pada aksesibilitas, LGBTQ untuk mendapatkan pekerjaan di pemerintahan.
Namun untungnya nilai-nilai Gus Dur yang dihidupkan kembali oleh para penggerak Gusdurian turut merangkul semua komunitas, agama, suku, warna kulit, ragam gender, dsb. Sehingga meski secara tidak langsung negara tak menganggap ada dengan tidak memenuhi hak-hak mereka.
Komunitas Gusdurian telah menjadikan kelompok tersebut ada dan berharga. Kehadiran komunitas Gusdurian begitu terasa manfaatnya, terbukti di awal September 2022 tiga puluh anak muda dari seluruh Indonesia dan salah satunya saya. Turut hadir berkumpul di suatu kampung di kota Yogyakarta dalam sebuah program bernama youth camp muda toleran.
Dalam kegiatan ini tiga puluh anak muda dari latar belakang berbeda satu sama lain saling bertukar cerita, keluh kesah, kekecewaan atas ketidakadilan, menjadi sebuah ruang aman untuk mengkonfirmasi, mengekspresikan diri, serta mau bersuara untuk memperjuangkan hak dari saudaranya.
Kegiatan youth camp muda torleran tidak hanya mempertemukan tiga puluh anak muda dari seluruh Indonesia, untuk saling mengkonfirmasi satu sama lain atas isu yang berkembang di masyarakat yang menyudutkan komunitas maupun kelompoknya. Akan tetapi turut mengajarkan langkah-langkah agar berjiwa penuh toleran yang mana tercantum dalam sebuah materi open mind, open heart, dan open will.
Ketiga hal tersebut sekaligus menyadarkan diri saya secara pribadi untuk lebih mengawas diri jangan-jangan diri sendiri justru intoleran pada suatu perbedaan. Kegiatan youth camp muda toleran turut juga menghadirkan Bapak Supomo selaku bapak konstitusi bertujuan agar ketiga puluh anak muda menyadari bahwa tidak hanya masyarakat luas yang belum terkonfirmasi atas isu yang menyudutkan kelompok nya, tapi negara pun secara tidak langsung turut terlibat dalam mendiskriminasi. Sehingga ruang gerak sengaja dipersempit, mungkin demi kebutuhan golongan tertentu dengan alasan keamanan. Yang mana hal itu sangat bertentangan dengan UUD 45 yang menjadi landasan dalam bernegara.
Jadi teramat sangat keliru jika satu sama lain saling berseteru padahal secara tidak sadar pemerintah telah mengabaikan kewajibannya dalam pemenuhan hak pada warganya. Rasanya teramat penting untuk sama-sama saling merawat keharmonisan ditengah tak hadirnya sebuah negara dalam pemenuhan hak nya. Setidaknya Negara pada akhirnya sadar bahwa Bangsa Indonesia tetap untuh buah dari hubungan harmonis antara kelompok yang belum terealisasikan hak-haknya oleh Negara. Biarpun begitu saya secara pribadi mencintai Indonesia dengan segala dinamikanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H