Mohon tunggu...
Rafi  Asamar Ahmad
Rafi Asamar Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

I love mom

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Perjalanan Rafi Asamar Ahmad, Menyemai Nilai Toleransi Ditengah Pemikiran Radikalnya

17 Desember 2024   00:58 Diperbarui: 17 Desember 2024   00:58 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana tidak merasa bangga ? Di tengah kebanyakan umat manusia tengah menunggu Juru Selamat kapan datang ke dunia ini. Namun saya yang tinggal di Dusun Cadas, Desa Anggrawati, Kec. Maja, Kab. Majalengka yang jauh dari tempat asal pendiri Ahmadiyah sekonyong-konyong menerima dan beriman kepadanya.

Tidakkah di Desa Anggrawati itu terdapat banyak masyarakat yang tinggal. Namun mengapa harus saya, kalau bukan karena bantuan dari Allah Ta'ala maka tidak mungkin saya yang jauh dari pusat ajaran Jamaah Ahmadiyah di Qadian menerimanya. Saya secara terus terang berpikir demikian, sebagai suatu kebanggaan dalam diri saya.

Kebanggaan yang berlebihan perlahan membuat diri saya menjadi sedikit ambisius. Lantas menganggap bahwa kebenaran yang saya yakini ini, harus sesegera mungkin diyakini pula oleh semua umat manusia yang ada di muka bumi ini, tidak hanya ia atau mereka yang tinggal di Desa Anggrawati semata. Namun lebih dari itu seluruh dunia yang terlihat di daratannya ada manusia, ia harus beriman dan berada dalam bahtera Juru Selamat yakni Hz. Mirza Ghulam Ahmad.

Oleh karena itu, diskusi teologis terkait siapa Juru Selamat baik itu sesama bendera Islam maupun no muslim teramat sangat menyenangkan, mengapa? Karena pada dasarnya baik Islam maupun agama yang lainnya begitu pun kepercayaan lokal di seluruh dunia ini, jelas-jelas masih menunggu dan mencari sosok Juru Selamat itu, Ia akan turun di mana ?

Sedangkan saya sejak dini telah berada dalam sebuah keluarga yang sejak dulu telah meyakini bahwa Hz. Mirza Gulam Ahmad  merupakan sosok Imam Mahdi yang ditunggu umat Islam, Isa Almasih yang dijanjikan bagi kaum Kristen, Avatar yang ditunggu Umat Hindu, Ratu Adil yang dijanjikan kedatangannya oleh kepercayaan lokal, Nabi Elyasa yang dinanti Umat Yahudi, dsb. Lalu mengapa umat agama lain termasuk Islam harus meyakini Hz. Mirza Gulam Ahmad sebagai Juru Selamat bagi mereka? Karena Hz. Mirza Gulam Ahmad berada dalam rahim agama Islam yang memang diperuntukan bagi seluruh umat manusia sekalian alam.

Kebanggaan inilah yang secara pribadi membuat rekan-rekan saya satu persatu menjauh dan seperti tak mengenal meski sebelumnya sempat kenal. Tentu, hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan besar dalam benak ini, apakah alasan rekan-rekan saya menjauh karena prinsip yang dianut ?

Atau pribadi saya yang begitu terlalu arogan dan ambisius, memaksakan apa yang saya yakini sebagai suatu kebenaran ? Sehingga apa yang tadinya dikatakan rekan perlahan mulai menjauh dan tak mau lagi menjalin hubungan. Dan setelah diresapi, dihayati, demi mengkaji diri sendiri. Rupanya pribadi diri saya lah yang patut dijadikan objek atas kesalahan itu.

Mulai sejak saat itu, diri inilah yang nyatanya terkesan terlalu memaksakan prinsip yang saya yakini dan harus diyakini pula oleh orang lain. Tentu, itu bukan suatu hal yang baik dan Islam tidak mengajarkan hal itu. Begitu pun dengan prinsip organisasi Jemaah Ahmadiyah yang termuat dalam mottonya "love for all hatred for none." (cinta untuk semua, tak ada kebencian bagi siapapun).

Mengisyaratkan bahwa pengaplikasian nilai cinta dalam Islam kepada sesama manusia jauh lebih penting di tengah situasi umat manusia saat ini, yang cenderung begitu materialistis dan menciptakan jiwa-jiwa yang terkesan apatis. Dari pada memaksakan orang lain untuk bersedia menerima Imam Mahdi versi Jamaah Ahmadiyah yang saya yakini sebagai suatu kebenaran itu.

Itu artinya lebih jauh pesan yang saya sampaikan bukan dengan sikap arogansi atas kebanggaan yang berlebih. Namun harusnya disampaikan dengan penuh cinta kasih. Bukan berbentuk pemaksaan, bukan juga bentuk perdebatan yang menimbulkan ketegangan, melainkan sharing sudut pandang akan paham dari satu sama lain lantas bermuara pada saling menghargai bukan melukai serta mencaci.

Ini murni kondisi mental dalam diri saya yang perlahan menciptakan suatu sikap evaluasi diri karena cenderung tertarik dalam sebuah perdebatan? Apakah diri ini hanya ingin mencari kepuasan atas ekspresi lawan bicara yang gelagapan saat topik kewafatan Nabi Isa As, Khataman Nabiyyin, dan Juru Selamat dihadirkan dalam sebuah obrolan? sepertinya iya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun