Akan tetapi hal ini didasarkan pada kekeliruan dari sikap saya waktu itu, yang memahami nilai-nilai religus dengan sikap arogansi merasa paling benar sendiri, lalu memaksakan prinsip hidup saya pada orang lain. Dan mengesampingkan nilai dari sebuah motto yang  telah menjadi pegangan setiap anggota Muslim Jemaah Ahmadiyah termasuk diri saya secara pribadi.
Maka melalui gerakan kemanusiaan yang terdapat dalam organisasi Muslim Jemaah Ahmadiyah, saya dengan suka rela mendonorkan kedua mata saya untuk mereka yang belum sempat melihat indahnya bunga yang tengah mekar, asiknya melihat alam dari ketinggian, serunya menyaksikan hewan laut berenang tanpa beban. Hal ini sengaja saya lakukan demi menebus kekeliruan yang terkukung oleh ego pribadi yang begitu arogansi.
Entah siapa yang pada akhirnya akan mendapatkan kornea mata saya di saat saya menghembuskan nafas terakhir. Saya berharap semoga kornea mata itu tak memperlihatkan kearoganan diri saya.
Inginnya kornea mata itu melekat pada kedua mata yang cocok, agar ia yang sebelumnya tak mampu melihat dapat merasakan rasa kagum yang pernah singgah dikala diri ini masih bernafas. Di saat diri ini semasa hidup mampu melihat ragam keyakinan, suku, warna kulit, orientasi seksual, dapat tersenyum karena dirinya merasa ada dan berharga.
Apa yang saya upayakan merupakan bentuk dari sikap saya dahulu yang kekeliruan dalam hal menyampaikan suatu ajaran. Karena mana mungkin manisnya gula itu akan terasa manis jika diberikan dengan penuh arogansi serta pemaksaan. Tentu, satu orangpun tidak akan mau untuk sekedar mencicipinya.
Nyatanya pola pikir itu didorong bukan hanya sekedar karena menyelami diri sendiri atas kekeliruan sikap saya yang cenderung arogansi. Namun pertemuan dengan
Jaringan Gusdurian Bogor itu pula lah, saya merasa jauh lebih baik dari sebelumnya dalam hal bagaimana menjalin hubungan harmonis dengan seseorang yang berbeda keyakinan. Di situlah timbulnya suatu kesadaran dalam diri untuk menghargai keyakinan orang lain tanpa harus memaksakan apa yang telah saya yakini.
Dengan begitu saya pada akhirnya mengetahui keluh kesah yang bersemayam dalam diri saudara saya yang berbeda keyakinan. Yang mana keluh kesahnya itu, ternyata sama dengan apa yang saya rasakan.
Sulitnya membangun tempat ibadah dikarenakan adanya "Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006" tentang pembangunan rumah ibadah yang multi tafsir itu.
Mengingat biarpun saya mengakui seorang muslim Jamaah Ahmadiyah tapi sebagian besar menganggap organisasi Jamaah Ahmadiyah di luar Islam. Hal itulah yang membuat terkadang mendapatkan respon negatif di tengah masyarakat ketika Jamaah Ahmadiyah hendak membangun masjid.
Ditambah adanya UU No. 9 dan 8 tentang pembangunan tempat ibadah yang menyulitkan tidak hanya kelompok saya akan tetapi kelompok no muslim yang merupakan saudara saya pun mengalaminya. Dan nyatanya pertemuan dengan Jaringan Gusdurian tidak hanya sebatas mengenal nilai-nilai plularisme.Â