Gejolak Pribadi Yang Lahir Di Awal Januari
Saya lahir dari rahim seorang ibu, yang sebelumnya telah terpatri nilai toleransi dalam jiwanya. Dan nilai itu terkemas dalam sebuah kalimat, "love for all hatred for none."  "cinta untuk semua  kebencian tidak bagi siapa pun."  Kira-kira arti dari kalimat itu demikian. Hanya saja manusia seperti saya ini, yang lahir di awal bulan Januari, terkesan cenderung memiliki prinsip hidup yang cukup ambisius.
Ambisi itu semakin memuncak ketika diri saya mulai tertarik untuk mempelajari ragam teologi. Bermulai dari suatu pertanyaan sebenarnya agama yang benar di dunia ini, itu yang mana? Mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan termasuk paham mendasar yang menjadi pegangan saya selaku Muslim Jemaat Ahmadiyah. Dari sini saya mulai mengetahui sosok yang sedang ditunggu oleh semua para pengikut agama di dunia ini. Yang diyakini sebagai Juru Selamat bagi umat manusia, yang mampu mengantarkan manusia menjilat tanah surga. Itu pun jika surga tersebut beralaskan tanah.
Sebenarnya ketertarikan untuk mempelajari agama, baru hadir saat diri saya menginjak sekolah menengah atas. Dan itu bermula dari menemukannya sebuah buku berjudul, 'Filsafat Ajaran Islam' karya Hz. Mirza Ghulam Ahmad.
Yang mana buku itu tercipta dari hasil konferensi agama-agama besar, yang mempertemukan para pemuka agama untuk membahas beberapa topik tertentu. Dan konferensi itu diselenggarakan di Lahore, India pada 26-29 Desember 1896. Adapun topik yang dibahas oleh para pemuka agama waktu itu yakni:
1. Keadaan Jasmani, Akhlak dan Rohani Manusia.
2. Keadaan Manusia Sesudah Mati.
3. Pengaruh Pengamalan Hukum Syariat di Dalam Kehidupan Dunia Ini Dan Di Dalam Kehidupan Yang Akan Datang
4. Kehidupan Yang Akan Datang.
5. Sumber-sumber Ilmu Samawi.
Konferensi setiap agama itu menghadirkan perwakilannya untuk tampil menguraikan topik tersebut melalui sebuah karya tulis yang akan dibacakan di hadapan banyak orang. Dan pada waktu itu perwakilan dari Islam, Hz. Mirza Gulam Ahmad yang dikemudian hari mendirikan sebuah organisasi bernama Jamaah Ahmadiyah lalu kemudian memproklamirkan dirinya sebagai Imam Mahdi serta Juru Selamat yang ditunggu oleh semua umat manusia di dunia ini.
Sayangnya dalam buku tersebut hanya memaparkan pembahasan dari satu sudut pandang agama Islam yang ditulis oleh Hz. Mirza Gulam Ahmad. Sedangkan tulisan dari perwakilan agama lain tidak tercantum. Sehingga membentuk pola pikir dalam benak saya waktu itu. Bahwa agama lain tak mampu sehebat agama Islam dalam memaparkan topik-topik di atas.
Dari situ secara tak sadar diri saya telah mendiskreditkan agama lain. Padahal, saya sendiri pun belum mengetahui penjelasan agama lain terkait topik-topik yang dihadirkan dalam konferensi agama-agama besar waktu itu. Kebanggaan yang melampaui batas menyebabkan diri saya sedikit intoleran. Ditambah dengan prinsip hidup yang ambisius menciptakan keinginan dalam hati waktu itu, 'mengapa tidak aku Ahmadiyah-kan saja seluruh umat manusia di dunia ini.'
Mungkin kebanyakan orang akan bersikap intoleran dikarenakan hidup dalam satu lingkungan yang homogen. Akan tetapi itu tidak berlaku bagi diri saya. Saya memang lahir di tengah lingkungan homogen yakni kultur Islam sampai kelas empat SD. Itu pun mengalami suatu perpindahan yang sifatnya situasional karena selama menginjak sekolah dasar saya sempat empat kali pindah sekolah.
Sampai di mana secara terbiasa mulai bergaul dan berteman dengan no muslim ketika menginjak kelas lima SD di salah satu sekolah di Jambi. Lalu kemudian menginjak kelas enam SD, saya mulai pindah lagi ke SDN Air Terbit 039, Desa Air Terbit Kec. Kampar, Kab. Pekanbaru. Di sana saya berinteraksi dengan anak-anak transmigrasi dari sebagian daerah di Indonesia.
Saya berhubungan baik dengan mereka, terkadang saling bertukar jawaban saat ulangan, berbagi makanan, bahkan sempat juara dua volly satu kecamatan Kampar yang terdiri dari saya Muslim, Gilang Jawa Kristen, Gery Batak Kristen, Robert Batak Kristen, dan dua lagi nama rekan saya yang lupa.
Mungkin karena waktu itu pemahaman nilai-nilai religius belum begitu mendalam, hanya sebatas baru mengenal huruf ali dan ba. Sehingga kefanatikan kepada nilai-nilai religius belum muncul dalam diri saya.
Namun sejak menginjak sekolah menengah atas, saya mulai sedikit demi sedikit mendalami agama Islam yang berkiblat pada paham Muslim Jemaah Ahmadiyah. Dari mulai membaca Al-Quran, mengenal hadist, sampai ke arah kajian tentang kewafatan Nabi Isa As, Khatamannabiyyin, dan kedatangan Juru Selamat. Yang menjadi suatu kekhasan dari Jemaah Ahmadiyah.
Yang mana ketiga kajian itu, seiring berjalannya waktu saya baru memahami bahwa sedikit besar mampu menyulut kemarahan baik itu non-muslim, begitu pun dalam tubuh Islam sendiri terpercik sedikit amarah. Hal itu dikarenakan paham Muslim Jemaah Ahmadiyah melawan arus utama mayoritas bendera Islam pada umumnya. Yang memahami bahwa Nabi Isa As masih di langit, tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad, dan masih menunggu Imam Mahdi.
Nyatanya tidak hanya itu, keberadaan Jamaah Ahmadiyah secara tidak langsung memicu semua agama di dunia ini, baik itu agama samawi maupun kepercayaan lokal yang ada di dunia ini tersulut amarahnya. Hal itu karena Hz. Mirza Gulam Ahmad nyatanya tidak hanya memproklamirkan diri beliau sebagai Juru Selamat bagi umat Islam semata yakni Imam Mahdi (Isa Almasih).
Namun  Juru Selamat bagi agama di luar Islam, seperti Kristen yang sedang menunggu Isa Almasih, Yahudi yang menanti Elyasa, Hindu dengan Avatarnya, Budha dengan Budhanya, Kong Hu Cu dan kepercayaan lokal lainnya yang ada di seluruh negara di dunia ini. Yang mana kesemuanya itu sejatinya tengah menunggu Juru Selamat  dengan ragam namanya yang ditunggu. Jelas hal ini menimbulkan suatu kebanggaan tersendiri dalam diri saya.
Bagaimana tidak merasa bangga ? Di tengah kebanyakan umat manusia tengah menunggu Juru Selamat kapan datang ke dunia ini. Namun saya yang tinggal di Dusun Cadas, Desa Anggrawati, Kec. Maja, Kab. Majalengka yang jauh dari tempat asal pendiri Ahmadiyah sekonyong-konyong menerima dan beriman kepadanya.
Tidakkah di Desa Anggrawati itu terdapat banyak masyarakat yang tinggal. Namun mengapa harus saya, kalau bukan karena bantuan dari Allah Ta'ala maka tidak mungkin saya yang jauh dari pusat ajaran Jamaah Ahmadiyah di Qadian menerimanya. Saya secara terus terang berpikir demikian, sebagai suatu kebanggaan dalam diri saya.
Kebanggaan yang berlebihan perlahan membuat diri saya menjadi sedikit ambisius. Lantas menganggap bahwa kebenaran yang saya yakini ini, harus sesegera mungkin diyakini pula oleh semua umat manusia yang ada di muka bumi ini, tidak hanya ia atau mereka yang tinggal di Desa Anggrawati semata. Namun lebih dari itu seluruh dunia yang terlihat di daratannya ada manusia, ia harus beriman dan berada dalam bahtera Juru Selamat yakni Hz. Mirza Ghulam Ahmad.
Oleh karena itu, diskusi teologis terkait siapa Juru Selamat baik itu sesama bendera Islam maupun no muslim teramat sangat menyenangkan, mengapa? Karena pada dasarnya baik Islam maupun agama yang lainnya begitu pun kepercayaan lokal di seluruh dunia ini, jelas-jelas masih menunggu dan mencari sosok Juru Selamat itu, Ia akan turun di mana ?
Sedangkan saya sejak dini telah berada dalam sebuah keluarga yang sejak dulu telah meyakini bahwa Hz. Mirza Gulam Ahmad merupakan sosok Imam Mahdi yang ditunggu umat Islam, Isa Almasih yang dijanjikan bagi kaum Kristen, Avatar yang ditunggu Umat Hindu, Ratu Adil yang dijanjikan kedatangannya oleh kepercayaan lokal, Nabi Elyasa yang dinanti Umat Yahudi, dsb. Lalu mengapa umat agama lain termasuk Islam harus meyakini Hz. Mirza Gulam Ahmad sebagai Juru Selamat bagi mereka? Karena Hz. Mirza Gulam Ahmad berada dalam rahim agama Islam yang memang diperuntukan bagi seluruh umat manusia sekalian alam.
Kebanggaan inilah yang secara pribadi membuat rekan-rekan saya satu persatu menjauh dan seperti tak mengenal meski sebelumnya sempat kenal. Tentu, hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan besar dalam benak ini, apakah alasan rekan-rekan saya menjauh karena prinsip yang dianut ?
Atau pribadi saya yang begitu terlalu arogan dan ambisius, memaksakan apa yang saya yakini sebagai suatu kebenaran ? Sehingga apa yang tadinya dikatakan rekan perlahan mulai menjauh dan tak mau lagi menjalin hubungan. Dan setelah diresapi, dihayati, demi mengkaji diri sendiri. Rupanya pribadi diri saya lah yang patut dijadikan objek atas kesalahan itu.
Mulai sejak saat itu, diri inilah yang nyatanya terkesan terlalu memaksakan prinsip yang saya yakini dan harus diyakini pula oleh orang lain. Tentu, itu bukan suatu hal yang baik dan Islam tidak mengajarkan hal itu. Begitu pun dengan prinsip organisasi Jemaah Ahmadiyah yang termuat dalam mottonya "love for all hatred for none." (cinta untuk semua, tak ada kebencian bagi siapapun).
Mengisyaratkan bahwa pengaplikasian nilai cinta dalam Islam kepada sesama manusia jauh lebih penting di tengah situasi umat manusia saat ini, yang cenderung begitu materialistis dan menciptakan jiwa-jiwa yang terkesan apatis. Dari pada memaksakan orang lain untuk bersedia menerima Imam Mahdi versi Jamaah Ahmadiyah yang saya yakini sebagai suatu kebenaran itu.
Itu artinya lebih jauh pesan yang saya sampaikan bukan dengan sikap arogansi atas kebanggaan yang berlebih. Namun harusnya disampaikan dengan penuh cinta kasih. Bukan berbentuk pemaksaan, bukan juga bentuk perdebatan yang menimbulkan ketegangan, melainkan sharing sudut pandang akan paham dari satu sama lain lantas bermuara pada saling menghargai bukan melukai serta mencaci.
Ini murni kondisi mental dalam diri saya yang perlahan menciptakan suatu sikap evaluasi diri karena cenderung tertarik dalam sebuah perdebatan? Apakah diri ini hanya ingin mencari kepuasan atas ekspresi lawan bicara yang gelagapan saat topik kewafatan Nabi Isa As, Khataman Nabiyyin, dan Juru Selamat dihadirkan dalam sebuah obrolan? sepertinya iya.
Apa yang saya lakukan jelas tidak mencerminkan dari motto tersebut, justru terkesan menodai dengan sikap saya yang penuh arogansi. Rupanya apa yang saya yakini tak bisa saya paksakan pada orang lain, mereka bebas untuk memilih apa yang menjadi sumber ketentraman, kenyamanan, serta kedamaian dalam pertemuan dengan Tuhan.
Mereka bebas memilih melalui perantara siapa saja yang mereka yakini, yang mampu mengantarkan dirinya kepada kebenaran. Kesadaran ini lah yang mengubah cara pandang saya dalam berkeyakinan sekaligus lahirnya kembali sebuah pertanyaan dalam benak ini. Jika diri saya telah meyakini sosok Juru selamat, lantas keselamatan apa yang bisa diberikan pada mereka yang tidak satu keyakinan dengan diri saya ?
Pertanyaan itu begitu sangat mengusik diri saya, dengan segala macam kekurangan lahiriah maupun batiniah. Dan walaupun pada dasarnya diri ini telah menerima sosok Juru selamat. Nyatanya diri saya secara pribadi pun, masih mempertanyakan apakah setelah kematian nanti saya akan selamat dari panasnya api neraka ? Pertanyaan-pertanyaan ini lah yang membuat diri saya mulai berdamai dan berupaya untuk segera membenahi pola pikir, menurunkan ego yang sempat singgah dan hadir dalam diri saya.
Tentu perubahan pola pikir serta ego yang perlahan menurun bukan tanpa alasan. Mengingat history dari Nabi Muhammad SAW saat tinggal lama di Madinah, History dari Nabi Isa As dalam al-kitab, serta Juru Selamat yang saya yakini Hz. Mirza Gulam Ahmad yang tak pernah memaksakan apa yang telah menjadi kebenaran harus serta merta diyakini oleh banyak orang. Hal itulah yang membuat pola pikir serta ego pribadi dalam diri saya perlahan berubah serta mereda.
Oleh karena itu, diri saya hadir bukan sebagai seorang yang arogan dan merasa paling benar sendiri. Namun saya hadir kini membawa cinta serta pesan damai sebagaimana para nabi terdahulu hadir dengan cinta, kasih sayang, kedamaiannya, sehingga kehadiranya dapat bermanfaat bagi masyarakat secara luas. Dan apa yang diri saya telah alami kiranya tidak di alami juga oleh orang lain, hidup berdampingan nyatanya telah difirmankan Allah Ta'ala itu sendiri dalam Al-Qur'an yang menjadi pegangan saya.
Lantas haruskah diri ini memaksakan keyakinan saya kepada orang lain ? Rasanya hal itu sangat bertolak belakang dan belum tentu Allah Ta'ala itu sendiri meridhoi. Karena Allah Ta'ala pun nyatanya tidak pernah memaksa hambanya untuk mengimani-Nya meskipun Allah Ta'ala merupakan Sang Penguasa Alam Semesta dengan segala isinya itu.
Maka melalui paham Islam yang bernaung dalam sebuah organisasi Muslim Jemaah Ahmadiyah. Saya siap dan sukarela menebar cinta kasih tanpa melihat serta memandang suku, etnis, agama, warna kulit, golongan, untuk sama-sama hidup berdampingan, saling mengenal lebih dalam, menjalin hubungan harmonis. Demi tercipta ruang aman bagi kita untuk beribadah tanpa harus memperdebatkan prinsip-prinsip dasar yang begitu sangat sensitif dan teramat melelahkan ini.
Â
Bentuk Nyata Dari Sebuah Motto
Saya sedikit mencoba untuk menyelami apa yang ada dalam pikiran orang lain, tentang apa yang telah saya katakan. "Saya siap dan suka rela menebar cinta kasih." Pernyataan ini jika belum ter-implementasikan ke dalam sebuah bentuk aksi, nyatanya masih berupa sebuah bualan tanpa bukti.
Saya tidak ingin ter-cap sebagai seorang yang manis bertutur kata namun kosong dari aksi nyata. Dan jangan beranggapan hal ini semata-mata hanya ingin mendapatkan sebuah pengakuan atau suatu validasi dari mulut manusia, atas sebuah pernyataan yang mungkin akan terlontar, akh cuma ngomong doang !
Akan tetapi hal ini didasarkan pada kekeliruan dari sikap saya waktu itu, yang memahami nilai-nilai religus dengan sikap arogansi merasa paling benar sendiri, lalu memaksakan prinsip hidup saya pada orang lain. Dan mengesampingkan nilai dari sebuah motto yang  telah menjadi pegangan setiap anggota Muslim Jemaah Ahmadiyah termasuk diri saya secara pribadi.
Maka melalui gerakan kemanusiaan yang terdapat dalam organisasi Muslim Jemaah Ahmadiyah, saya dengan suka rela mendonorkan kedua mata saya untuk mereka yang belum sempat melihat indahnya bunga yang tengah mekar, asiknya melihat alam dari ketinggian, serunya menyaksikan hewan laut berenang tanpa beban. Hal ini sengaja saya lakukan demi menebus kekeliruan yang terkukung oleh ego pribadi yang begitu arogansi.
Entah siapa yang pada akhirnya akan mendapatkan kornea mata saya di saat saya menghembuskan nafas terakhir. Saya berharap semoga kornea mata itu tak memperlihatkan kearoganan diri saya.
Inginnya kornea mata itu melekat pada kedua mata yang cocok, agar ia yang sebelumnya tak mampu melihat dapat merasakan rasa kagum yang pernah singgah dikala diri ini masih bernafas. Di saat diri ini semasa hidup mampu melihat ragam keyakinan, suku, warna kulit, orientasi seksual, dapat tersenyum karena dirinya merasa ada dan berharga.
Apa yang saya upayakan merupakan bentuk dari sikap saya dahulu yang kekeliruan dalam hal menyampaikan suatu ajaran. Karena mana mungkin manisnya gula itu akan terasa manis jika diberikan dengan penuh arogansi serta pemaksaan. Tentu, satu orangpun tidak akan mau untuk sekedar mencicipinya.
Nyatanya pola pikir itu didorong bukan hanya sekedar karena menyelami diri sendiri atas kekeliruan sikap saya yang cenderung arogansi. Namun pertemuan dengan
Jaringan Gusdurian Bogor itu pula lah, saya merasa jauh lebih baik dari sebelumnya dalam hal bagaimana menjalin hubungan harmonis dengan seseorang yang berbeda keyakinan. Di situlah timbulnya suatu kesadaran dalam diri untuk menghargai keyakinan orang lain tanpa harus memaksakan apa yang telah saya yakini.
Dengan begitu saya pada akhirnya mengetahui keluh kesah yang bersemayam dalam diri saudara saya yang berbeda keyakinan. Yang mana keluh kesahnya itu, ternyata sama dengan apa yang saya rasakan.
Sulitnya membangun tempat ibadah dikarenakan adanya "Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006" tentang pembangunan rumah ibadah yang multi tafsir itu.
Mengingat biarpun saya mengakui seorang muslim Jamaah Ahmadiyah tapi sebagian besar menganggap organisasi Jamaah Ahmadiyah di luar Islam. Hal itulah yang membuat terkadang mendapatkan respon negatif di tengah masyarakat ketika Jamaah Ahmadiyah hendak membangun masjid.
Ditambah adanya UU No. 9 dan 8 tentang pembangunan tempat ibadah yang menyulitkan tidak hanya kelompok saya akan tetapi kelompok no muslim yang merupakan saudara saya pun mengalaminya. Dan nyatanya pertemuan dengan Jaringan Gusdurian tidak hanya sebatas mengenal nilai-nilai plularisme.Â
Namun nilai-nilai persaudaraan dalam bingkai NKRI menjadi suatu isu bersama yang senantiasa diperjuangkan secara bersama-sama. Hal itu akan berdampak pada kualitas dari beribadah itu sendiri, karena dengan tidak adanya konflik antar agama dan keyakinan maka tidak ada lagi rasa takut pada para pengikutnya untuk hanya sekedar menemui Tuhan di rumah nya (tempat ibadah), tak ada lagi rasa canggung saat berbagi dengan seksama, dan tentunya tidak ada lagi rasa takut untuk mengungkapkan identitas dirinya di muka umum. Mengingat setiap individu menyadari bahwa Indonesia tercipta karena keberagamaan.
Saya masih mengingat betul ketika saya waktu itu berdomisili di Kota Bogor dan mengenal gerakan Gusdurian. Sejak saat itu saya turut serta menjaga kenyamanan Gereja Protestan dan Gereja Katolik beribadah pada waktu hari Natal. Yang kebetulan pada tahun-tahun itu kelompok ekstrimisme di Kota Bogor sedang galak-galaknya. Tidak hanya itu saya turut juga menjalin hubungan dengan berkunjung ke tempat ibadah lain, seperti pure, kelenteng, lalu bercengkrama mengenal lebih dalam akan keyakinan agama lain.
Ini mungkin bukti aksi nyata yang saya lakukan dan belum berdampak apa pun, tapi saya pribadi berkeinginan agar keharmonisan ini terus terjalin. Dan semakin mengenal banyak komunitas, maka semakin terbuka pikiran saya begitu pun sisi kemanusian dalam diri saya
Lebih lanjut aksi nyata yang pernah saya lakukan bersama komunitas genpintar yang didalamnya terdapat ragam keyakinan, orientasi seksual, suku, serta warna kulit turut menyuarakan suara dalam sebuah bait puisi berantai yang sengaja diperdengarkan di hadapan pemangku kebijakan.
Mungkin para pemangku kebijakan itu mendengar akan sulitnya pembuatan KTP bagi penganut penghayat kepercayaan, situasi Indonesia yang belum ramah aksesibilitas, LGBTQ yang mana mereka pun berhak bekerja di pemerintahan begitu pun di perusahaan, adanya kebijakan SKB tiga menteri tentang pelarangan Jemaah Ahmadiyah. Membuka mata saya bahwa Indonesia kini sedang tidak baik-baik saja, masih ada banyak hal yang perlu untuk dibenahi terkhusus dalam hal keadilan serta kesetaraan.
Sedangkan dari pertemuan itu sisi kemanusian saya tersentuh, lantas terbentuk dengan sendirinya sebuah pandangan baru akan pentingnya saling bahu membahu menyatukan kekuatan untuk bersama-sama saling menguatkan, menebar nilai-nilai toleransi, dan turut bersatu memperjuangkan hak serta keadilan yang selama ini belum sempat diberikan oleh negara.
Menebar Nilai Toleransi, Demi Keutuhan Indonesia
Entah diri saya akan menjadi seperti apa jika tidak dibentengi dengan sebuah motto, "Love For All Hatred For None," serta bertemu dengan pemikiran Gus Dur, berbaur dan menyelami nilai-nilai Gus Dur bersama para penggerak Gusdurian. Mungkin akan jauh lebih radikalnya pemikiran ini, karena didorong oleh sebuah realita teologis yang mengharuskan para pemeluk suatu agama untuk mencari bukan menunggu Juru Selamat itu sendiri. Tapi berbekal nilai-nilai di atas ditambah dengan penyerapan nilai-nilai dari pemikiran Gus Dur. Nyatanya kolaborasi dua nilai itu mampu meredam sikap arogansi diri saya pribadi yang merasa paling benar sendiri.
Kiranya sudah seharusnya kata toleransi bersemayam dalam benak saya. Agar kesadaran akan pentingnya menghargai orang lain tumbuh melebur dalam keharmonisan. Mengingat bangsa Indonesia yang terdiri dari ragam suku, keyakinan, warna kulit, dsb begitu rentan untuk dijadikan objek perseteruan yang berakibat lahirnya perpecahan.
Maka jika saya tidak memulai dari diri saya untuk bersikap toleransi, masihkah bangsa Indonesia akan tetap utuh ? Sepertinya akan hancur terkoyak oleh kepentingan kelompok masing-masing. Untungnya saya telah lebih dulu mengetahui apa yang disampaikan oleh mendiang Gus Dur bahwa keberagaman itu adalah Indonesia, dan bukan Indonesia jika tidak beragam.
Yang mana perkataan ini sekaligus menyadarkan bahwa pentingnya hidup rukun, demi menyongsong arah gemilang bangsa ini. Meskipun masih sering kita lihat adanya kecacatan dalam pemenuhan keadilan. Namun saya tak sungkan untuk terus mengingatkan akan hal itu. Akan ketidakikutsertaan pemerintah dalam menyelesaikan kasus Muslim Jemaah Ahmadiyah di transsito Lombok yang sudah 16 tahun mengungsi dan diperparah dengan lahirnya SKB 3 Menteri.
Tidak cukup hanya sampai di situ pemerintah yang seharusnya berada di posisi tengah (Netral) justru turut serta mempersekusi dengan pelarangan pembangunan tempat ibadah, di banyak kota di Indonesia. Teramat sangat menyedihkan bukan? Tinggal di sebuah negara yang berlandaskan UUD 45 yang menjanjikan kepada semua warga negaranya untuk bebas memilih keyakinan. Namun mengapa negara tidak memberikan ruang aman agar bisa tenang saat memanjatkan sebuah doa pengharapan.
Atau mungkin saya juga harus mengingatkan betapa sulitnya kepercayaan lokal mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena negara secara terang terangan tidak mengakui keberadaan dari mereka. Ditambah belum ramahnya negeri ini pada aksesibilitas, LGBTQ untuk mendapatkan pekerjaan di pemerintahan.
Namun untungnya nilai-nilai Gus Dur yang dihidupkan kembali oleh para penggerak Gusdurian turut merangkul semua komunitas, agama, suku, warna kulit, ragam gender, dsb. Sehingga meski secara tidak langsung negara tak menganggap ada dengan tidak memenuhi hak-hak mereka.
Komunitas Gusdurian telah menjadikan kelompok tersebut ada dan berharga. Kehadiran komunitas Gusdurian begitu terasa manfaatnya, terbukti di awal September 2022 tiga puluh anak muda dari seluruh Indonesia dan salah satunya saya. Turut hadir berkumpul di suatu kampung di kota Yogyakarta dalam sebuah program bernama youth camp muda toleran.
Dalam kegiatan ini tiga puluh anak muda dari latar belakang berbeda satu sama lain saling bertukar cerita, keluh kesah, kekecewaan atas ketidakadilan, menjadi sebuah ruang aman untuk mengkonfirmasi, mengekspresikan diri, serta mau bersuara untuk memperjuangkan hak dari saudaranya.
Kegiatan youth camp muda torleran tidak hanya mempertemukan tiga puluh anak muda dari seluruh Indonesia, untuk saling mengkonfirmasi satu sama lain atas isu yang berkembang di masyarakat yang menyudutkan komunitas maupun kelompoknya. Akan tetapi turut mengajarkan langkah-langkah agar berjiwa penuh toleran yang mana tercantum dalam sebuah materi open mind, open heart, dan open will.
Ketiga hal tersebut sekaligus menyadarkan diri saya secara pribadi untuk lebih mengawas diri jangan-jangan diri sendiri justru intoleran pada suatu perbedaan. Kegiatan youth camp muda toleran turut juga menghadirkan Bapak Supomo selaku bapak konstitusi bertujuan agar ketiga puluh anak muda menyadari bahwa tidak hanya masyarakat luas yang belum terkonfirmasi atas isu yang menyudutkan kelompok nya, tapi negara pun secara tidak langsung turut terlibat dalam mendiskriminasi. Sehingga ruang gerak sengaja dipersempit, mungkin demi kebutuhan golongan tertentu dengan alasan keamanan. Yang mana hal itu sangat bertentangan dengan UUD 45 yang menjadi landasan dalam bernegara.
Jadi teramat sangat keliru jika satu sama lain saling berseteru padahal secara tidak sadar pemerintah telah mengabaikan kewajibannya dalam pemenuhan hak pada warganya. Rasanya teramat penting untuk sama-sama saling merawat keharmonisan ditengah tak hadirnya sebuah negara dalam pemenuhan hak nya. Setidaknya Negara pada akhirnya sadar bahwa Bangsa Indonesia tetap untuh buah dari hubungan harmonis antara kelompok yang belum terealisasikan hak-haknya oleh Negara. Biarpun begitu saya secara pribadi mencintai Indonesia dengan segala dinamikanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H