Namun nilai-nilai persaudaraan dalam bingkai NKRI menjadi suatu isu bersama yang senantiasa diperjuangkan secara bersama-sama. Hal itu akan berdampak pada kualitas dari beribadah itu sendiri, karena dengan tidak adanya konflik antar agama dan keyakinan maka tidak ada lagi rasa takut pada para pengikutnya untuk hanya sekedar menemui Tuhan di rumah nya (tempat ibadah), tak ada lagi rasa canggung saat berbagi dengan seksama, dan tentunya tidak ada lagi rasa takut untuk mengungkapkan identitas dirinya di muka umum. Mengingat setiap individu menyadari bahwa Indonesia tercipta karena keberagamaan.
Saya masih mengingat betul ketika saya waktu itu berdomisili di Kota Bogor dan mengenal gerakan Gusdurian. Sejak saat itu saya turut serta menjaga kenyamanan Gereja Protestan dan Gereja Katolik beribadah pada waktu hari Natal. Yang kebetulan pada tahun-tahun itu kelompok ekstrimisme di Kota Bogor sedang galak-galaknya. Tidak hanya itu saya turut juga menjalin hubungan dengan berkunjung ke tempat ibadah lain, seperti pure, kelenteng, lalu bercengkrama mengenal lebih dalam akan keyakinan agama lain.
Ini mungkin bukti aksi nyata yang saya lakukan dan belum berdampak apa pun, tapi saya pribadi berkeinginan agar keharmonisan ini terus terjalin. Dan semakin mengenal banyak komunitas, maka semakin terbuka pikiran saya begitu pun sisi kemanusian dalam diri saya
Lebih lanjut aksi nyata yang pernah saya lakukan bersama komunitas genpintar yang didalamnya terdapat ragam keyakinan, orientasi seksual, suku, serta warna kulit turut menyuarakan suara dalam sebuah bait puisi berantai yang sengaja diperdengarkan di hadapan pemangku kebijakan.
Mungkin para pemangku kebijakan itu mendengar akan sulitnya pembuatan KTP bagi penganut penghayat kepercayaan, situasi Indonesia yang belum ramah aksesibilitas, LGBTQ yang mana mereka pun berhak bekerja di pemerintahan begitu pun di perusahaan, adanya kebijakan SKB tiga menteri tentang pelarangan Jemaah Ahmadiyah. Membuka mata saya bahwa Indonesia kini sedang tidak baik-baik saja, masih ada banyak hal yang perlu untuk dibenahi terkhusus dalam hal keadilan serta kesetaraan.
Sedangkan dari pertemuan itu sisi kemanusian saya tersentuh, lantas terbentuk dengan sendirinya sebuah pandangan baru akan pentingnya saling bahu membahu menyatukan kekuatan untuk bersama-sama saling menguatkan, menebar nilai-nilai toleransi, dan turut bersatu memperjuangkan hak serta keadilan yang selama ini belum sempat diberikan oleh negara.
Menebar Nilai Toleransi, Demi Keutuhan Indonesia
Entah diri saya akan menjadi seperti apa jika tidak dibentengi dengan sebuah motto, "Love For All Hatred For None," serta bertemu dengan pemikiran Gus Dur, berbaur dan menyelami nilai-nilai Gus Dur bersama para penggerak Gusdurian. Mungkin akan jauh lebih radikalnya pemikiran ini, karena didorong oleh sebuah realita teologis yang mengharuskan para pemeluk suatu agama untuk mencari bukan menunggu Juru Selamat itu sendiri. Tapi berbekal nilai-nilai di atas ditambah dengan penyerapan nilai-nilai dari pemikiran Gus Dur. Nyatanya kolaborasi dua nilai itu mampu meredam sikap arogansi diri saya pribadi yang merasa paling benar sendiri.
Kiranya sudah seharusnya kata toleransi bersemayam dalam benak saya. Agar kesadaran akan pentingnya menghargai orang lain tumbuh melebur dalam keharmonisan. Mengingat bangsa Indonesia yang terdiri dari ragam suku, keyakinan, warna kulit, dsb begitu rentan untuk dijadikan objek perseteruan yang berakibat lahirnya perpecahan.
Maka jika saya tidak memulai dari diri saya untuk bersikap toleransi, masihkah bangsa Indonesia akan tetap utuh ? Sepertinya akan hancur terkoyak oleh kepentingan kelompok masing-masing. Untungnya saya telah lebih dulu mengetahui apa yang disampaikan oleh mendiang Gus Dur bahwa keberagaman itu adalah Indonesia, dan bukan Indonesia jika tidak beragam.
Yang mana perkataan ini sekaligus menyadarkan bahwa pentingnya hidup rukun, demi menyongsong arah gemilang bangsa ini. Meskipun masih sering kita lihat adanya kecacatan dalam pemenuhan keadilan. Namun saya tak sungkan untuk terus mengingatkan akan hal itu. Akan ketidakikutsertaan pemerintah dalam menyelesaikan kasus Muslim Jemaah Ahmadiyah di transsito Lombok yang sudah 16 tahun mengungsi dan diperparah dengan lahirnya SKB 3 Menteri.