Mohon tunggu...
Moh. Ashari Mardjoeki
Moh. Ashari Mardjoeki Mohon Tunggu... Freelancer - Senang baca dan tulis

Memelajari tentang berketuhanan yang nyata. Berfikir pada ruang hakiki dan realitas kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Upaya Serang Ahok Pakai Kebohongan Publik?

23 November 2016   18:39 Diperbarui: 23 November 2016   18:49 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

REVOLUSI SPIRITUAL.

Berbagai daya, upaya, akal, jurus mencari jalan untuk menghalalkan segala cara. Ditempuh mereka yang panik ketakutan. Mereka takut menjadi korban kebijakan tegas Presiden Jokowi. Sangat mengerikan dan menakutkan bagi mereka. 

Bagi mereka. Mungkin sudah terbayang dan terasakan bagaimana siksa keji neraka abadi di dunia-akhirat.

 

Mereka yang panik adalah kaum perampok yang sudah tersingkir dan didepak dari jabatan-jabatan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tetapi belum dimintai pertanggungan jawaban. 

Yang sebelum zaman Presiden Jokowi, mereka tidak segan berbuat sewenang-wenang memenjarakan, menghabisi, menghilangkan dan menyengsarakan hidup rakyat sebagai pemilik negara. 

Mereka yang panik adalah kaum khianat. Yaitu kaum koruptor dan penggelap pajak yang mencuri uang negara dengan menyalah gunakan kewenangan yang amanah rakyat.

Mereka yang panik adalah kaum penentang NKRI yang berdasar Pancasila. Yaitu golongan Islam yang tidak mengerti Islam, tetapi ngotot ingin NKRI menjadi negara Islam. Termasuk dalam golongan ini adalah para penista agama; kaum munafik,  para penyesat ayat suci; para ulama yang suka kafirkan umat beda agama. Mereka yang mengaku tukang santet. Dan termasuk kaum pendusta sejenis Dimas Kanjeng dan yang lain. 

Mereka yang panik adalah kaum dajjal—mafia, kaum nekolim menurut istilah Bung Karno. Yang tidak berambisi jadi penguasa. Tetapi berusaha dekat dan menguasai pemerintah yang berkuasa.

Mereka yang panik adalah kaum yang merasa golongannya paling benar dan mengerti. Dalam Alquran , mereka disebut para “ahli kitab.”  Sebagian besar “ahli kitab” yang ada di Indonesia ada di MUI. Mereka bergelar akademis dari sarjana sampai profesor dan doktor.  Mereka adalah yang merasa paling berhak menasihati setiap umat maupun pemerintah dengan fatwanya yang harus ditaati. Mereka terlalu takabur mengaku mampu melindungi umat Islam dari Sabang sampai Papua.

Mereka. Para “ahli kitab” di MUI agaknya tidak menyadari bahwa hanya dengan satu ucap yang tidak menyejukkan, setiap saat bisa seketika merobohkan tubuh siapa saja. Terkena serangan strook. 

 

Kebohongan publik 

Maksudnya. Ahok diserang oleh para penyerangnya dengan cara membuat kebohongan publik.

Mereka yang panik adalah kaum-kaum yang menggalang kekuatan untuk terus berusaha menekan pemerintah untuk menggulingkannya.

Demo 2 Desember 2016. Telah tercium  bau sebagai satu tahapan untuk makar. 

Kata Fadli Zon makar itu istilah orde baru. Tepat sekali pendapat itu. Karena seperti itulah tujuan demo 212. Menggulingkan pemerintah seperti dilakukan orde baru terhadap orde lama. Dengan cara semakin hebat menghujat Ahok.  Supaya ledaknya mengguncang istana.

 

Belakangan ada celah baru. Buat mereka yang panik untuk memfitnah Ahok dengan bersenjatakan “kebohongan publik.”  Fitnah demikian menunjukkan kebingungan mereka.

“Dugaan Ahok” bahwa para demonstran dibayar 500 rupiah per orang sangat masuk akal. Bukan mengada-ada. Bisa diuji. Paling tidak pasti disediakan atau dianggarkan oleh pihak penyelenggara demo. Siapa penyelenggara demo, bisa dilihat dari surat-surat minta izin untuk demo dari  kepolisian.

Bisa ditanyakan juga kebenarannya, kepada setiap ulama yang mengkoordinir peserta demo. Kalau mereka mengaku anggaran dipikul sendiri-sendiri oleh para peserta demo. Alangkah bodohnya mereka yang berdemo hanya untuk menjatuhkan Ahok, tanpa dibayar.  Apa untungnya bagi para demonstran? Apa yang demo itu dibodohi semua pakai menistakan agama? Tak masuk akal sehat.

Kalau ada peserta demo yang tidak mengaku merasa terima aggaran 500.000 rupiah per orang pasti haknya dimakan oleh ulama yang mengkoordinir. Hendaknya mereka menuntut haknya kepada ulama yang memimpinnya.

Kalau Habib Rizieq mengaku tidak mempunyai anggaran untuk demo. Jelas Habib itu yang membuat kebohongan publik dengan menggelapkan anggaran. Pemerintah DKI saja mengeluarkan anggaran tidak sedikit untuk menjaga dan membantu mereka yang demo.

Kalau saja peserta demo diperkirakan ada 1 juta orang dengan anggaran 500.000 rupiah per orang. Bisa dihitung anggaran demo paling tidak mencapai nilai 500.000.000.000—500 milyar rupiah. Suatu jumlah yang tidak besar untuk menjatuhkan pemerintah. Apa lagi jika biaya yang dipakai adalah “uang siluman.”

Biasanya demo berbau makar biayanya pasti besar.  500 milyar itu masih kecil belum sebanding dengan nyawa satu orang yang bisa tewas dalam demo.

Dari mana dana untuk demo yang dipimpinnya?  Kalau Habib Rizieq ulama yang bersih pasti bisa menjawab dengan nyaring dan jelas. Supaya tidak termasuk melakukan kebohongan publik. Dan juga bukan uang siluman yang pasti asalnya bisa dilacak. Di kuburan manapun.

 

Janganlah sembarangan menggunakan kebohonganmpublik. Kebohongan publik hanya  bisa dinyatakanmdengan dukungan pengetahuan untuk menguji kebenaran. Tidak bisa ditentukan dengan ngotot debat kusir di  pengadilan. 

Kalau benar ada kebohongan publik, polisi pasti tidak bisa mengambil tindakan. Yang sangat mungkin hanya publiklah yang bisa memberi sanksi sosial. Baik kebohongan publik itu benar ada atau tidak ada.

Contohnya. 

Dulu. Zaman meletusnya perang teluk. Presiden Geoge W Bush mungkin melakukan kebohongan public yang maha keji buat kemanusiaan. Dia secara tegas dan luas mengatakan bahwa Presiden Saddan Hussein punya senjata kimia—pemusnah mematikan.  Lalu pasukan AS menyerang Irak. Dan presiden Irak itu dibiarkan digantung rakyatnya. Ternyata banyak diberitakan bahwa Sadam Hussein tidak punya senjata seperti yang dituduhkan. Siapa yang sanggup menuntut George W Bush? Tidak ada. Kebohongan publik agaknya hanya layak diceritakan saja.

Sekarang sedang ramai dipentaskan “kebohongan publik.” Di mana-mana, melalui YouTube ramai dengan fenomena keberadaan UFO dengan alien yang bisa bebas difilmkan. 

Bayangan yang terlihat mata memang riel. Bagaimana dengan wujud nyatanya? Tidak mudah menerangkan kalau tidak tahu ilmunya. Yang tidak ada dan belum ada ternyata sudah ada.

Tak kalah ramainya dibicarakan mengenai fenomena kebohongan NASA mendaratkan manusia di bulan. Konspirasi bumi datar. Istana dajjal di Arab Saudi.  Dan sebagainya.

Dan maaf. Dakwah Dr. Zakir Naikyang kontroversi dan memukau banyak umat beragama di belahan bumi manapun. Menurut penulis dia juga membuat kebohongan publik. Karena pandangannya lebih banyak mengurai “kesalahan” karena ada perbedaan. Dari pada menyajikan “kebenaran” dengan perbedaan.

 

Siapa yang harus peduli dengan nilai kebenaran sebuah “kebohongan publik” yang sekarang sudah seperti memenuhi dunia maya yang nyata? 

Termasuk kebohongan publik yang kabarnya dituduhkan Rahmawati Soekarnoputri kepada Ahok? Apa polisi harus peduli?

Sungguh tak punya etika lapor kepada polisi ada “kebohongan publik.”  Terkesan hanya mengada-ada. 

Dan inginkan dunia tahu. Bahwa ada Rakhmawati Soekarnoputri yang sangat beda dengan Megawati Soekarnoputri seorang negarawan tangguh yang disegani hampir seluruh ketum parpol.

Menyatakan bahwa Rahmawati Soekarnoputri sangat beda dengan Megawati Soekarnoputri, bukan suatu kesalahan. Tetapi menyatakan kebenaran yang diterima dan diakui siapa saja yang sezaman.

Dan fenomena perbedaan yang demikian tragis antar kedua saudara sekandungan. Bisa terjadi pada siapa saja. Pada anak presiden, anak raja, anak ulama, anak filsuf maupun anak ilmuwan. Khususnya di NKRI.

Mudah-mudahan tidak terjadi pada anak orang biasa yang berguru pada ulama yang “kyai” biasa.

 

Sungguh tidak masuk akal sehat. Dan alangkah menyesatkan. Tokoh-tokoh terkenal NKRI yang bergelar profesor doktor dan sering kali masih dapat tambahan sebutan kehormatan sejati sebagai ahli atau pakar.  Membandingkan kasus Pak Ahok dengan kasus Ariswendo Atmowiloto yang “merendahkan” kedudukan Rasulullah saw., seperti halnya yang dilakukan oleh Desmod Mahesa. 

Membandingkan kasus Pak Ahok dengan yang dilakukan Lia Eden, sebagai pimpinan sekte Kerajaan Tuhan yang meresahkan masyarakat dengan ulahnya melakukan kebohongan agar dirinya dikultuskan pengikutnya.  

Dan alangkah bodoh dan menyesatkan membandingkan kasus Pak Ahok dengan kasus Ahmad Musadeq, yang ditangkap polisi karena mengaku dirinya adalah seorang nabi, padahal umat Islam mengakui bahwa sesudah Nabi Muhammad saw tidak akan ada lagi nabi baru. Bahkan tidak ada satu pun negara di dunia yang menolak bahwa Nabi Muhammad saw adalah Nabi akhir zaman.   Sesudah Muhammad saw tidak akan nada lagi nabi baru. 

 

Apakah tidak sebaiknya semua pihak yang lapor seseorang telah melakukan kebohongan publik dan juga pencemaran nama baik. Ditahan polisi lebih dahulu sampai tuduhannya lengkap dengan bukti-bukti yang memenuhi syarat untuk memanggil yang dituduh.

“Kebohongan publik” mungkin salah satu bentuk kreatifitas manusia yang melebihi kemampuan Tuhan? Tuhan sendiri tidak mampu membuat  kebohongan publik. Jangankan berbohong, omong saja Tuhan tidak bisa. 

Demikian. Salam bahagia sejahtera bagi yang sempat membaca tulisan ini. Terimakasih.

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun