Penyebaran AI juga terbatas oleh infrastruktur digital Indonesia yang belum merata. Di luar kota besar, banyak wilayah yang masih kekurangan akses internet cepat, menghambat kemampuan masyarakat setempat untuk memanfaatkan teknologi berbasis AI. Meskipun beberapa inisiatif telah dilakukan untuk memperluas jaringan broadband, dampaknya belum dirasakan secara merata. Hal ini memperdalam kesenjangan digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Selain itu, tantangan besar lainnya adalah rendahnya literasi digital. Banyak masyarakat Indonesia yang masih gagap teknologi, tidak hanya dalam memahami cara kerja AI, tetapi juga dalam memahami potensi dan batasannya. Literasi digital yang rendah ini memperparah ketimpangan akses terhadap teknologi, terutama di daerah terpencil yang sudah menghadapi kendala infrastruktur.
Dari sisi kebijakan, pemerintah telah menunjukkan langkah maju melalui inisiatif seperti Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA), tetapi implementasinya masih memerlukan waktu. Banyak sektor masih berada dalam tahap awal pengembangan regulasi, terutama dalam isu-isu seperti perlindungan data, etika AI, dan dampak sosial. Regulasi yang berkembang ini menciptakan ketidakpastian yang membuat beberapa sektor industri ragu untuk mengadopsi AI secara penuh.
Ketimpangan ekonomi juga memainkan peran besar dalam membentuk jalur moderat ini. Dengan sebagian besar masyarakat Indonesia berada pada pendapatan menengah ke bawah, layanan AI yang berbayar sulit dijangkau. Sementara itu, korporasi besar yang memiliki sumber daya lebih cenderung memanfaatkan teknologi ini dengan lebih agresif, menciptakan ketimpangan baru antara perusahaan besar dan UMKM. UMKM, yang menyumbang lebih dari 60% PDB nasional, memiliki potensi besar untuk mengadopsi AI tetapi menghadapi hambatan biaya dan akses teknologi.
Di sisi lain, resistensi sosial terhadap AI juga tidak dapat diabaikan. Di sektor tradisional, ada ketakutan bahwa teknologi ini akan menggantikan pekerjaan manusia, menciptakan ketegangan sosial. Jika resistensi ini tidak diatasi melalui pendekatan kolaboratif dan edukasi, penerapan AI akan berjalan lebih lambat dari yang diharapkan.
Dalam skenario moderat ini, dampak AI di Indonesia akan terasa lebih signifikan di sektor-sektor tertentu, seperti e-commerce, fintech, dan pendidikan daring. Sektor-sektor ini memiliki fondasi digital yang kuat dan lebih siap menyerap manfaat AI. Namun, di luar sektor ini, adopsi AI kemungkinan besar akan bergerak lambat. Korporasi besar akan menjadi pemain utama dalam transformasi teknologi ini, sementara UMKM dan masyarakat umum mungkin tertinggal jika tidak ada dukungan kebijakan yang inklusif dan strategis.
Transformasi Indonesia ke era AI akan berjalan bertahap, bukan revolusioner. Meskipun ada pertumbuhan, skalanya mungkin tidak secepat yang terlihat di negara-negara maju. Kuncinya terletak pada kemampuan Indonesia untuk memperluas akses teknologi, meningkatkan literasi digital, dan memastikan kebijakan yang inklusif. Dengan langkah yang hati-hati tetapi konsisten, Indonesia dapat mengarahkan skenario moderat ini ke arah yang lebih optimis, di mana AI tidak hanya menjadi alat inovasi, tetapi juga motor penggerak kemajuan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.Â
Langkah untuk Mendorong Skenario Optimis
Untuk mewujudkan skenario optimis, Indonesia memerlukan langkah konkret yang melibatkan berbagai pihak, dari pemerintah hingga masyarakat. Berikut adalah strategi yang dapat diterapkan:
1. Pendidikan dan Pengembangan Talenta Digital
Inisiatif Nasional untuk Literasi AI:
Pemerintah perlu mendesain program literasi AI yang berbasis komunitas, dengan modul pelatihan yang mencakup pemahaman dasar AI hingga keterampilan teknis seperti pengembangan algoritma sederhana. Contohnya, program seperti Digital Talent Scholarship dapat diperluas dengan fokus pada teknologi AI.