1. Kesenjangan Digital
Pendidikan berbasis AI hanya menjangkau sekolah-sekolah di kota besar. Di daerah pedesaan, literasi digital masih rendah karena infrastruktur internet yang belum memadai. Banyak UMKM di pedesaan belum siap bertransformasi digital akibat keterbatasan dana dan keahlian.
2. Regulasi yang Lamban
Pemerintah menerapkan regulasi yang ambigu terhadap penggunaan AI, seperti perpajakan tinggi pada layanan AI komersial dan kurangnya perlindungan data pengguna. Hal ini membuat startup dan investor ragu untuk mengembangkan layanan berbasis AI secara masif di Indonesia. Beberapa aplikasi berbasis AI mulai populer di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, misalnya AI untuk perekrutan tenaga kerja, e-commerce berbasis prediksi, dan chatbot layanan pelanggan. Namun, tingkat adopsi di luar Jawa jauh lebih rendah karena kesenjangan digital dan biaya implementasi yang tinggi.
3. Dampak Ekonomi
AI memberikan kontribusi sederhana terhadap efisiensi bisnis besar. Produktivitas nasional meningkat, tetapi kesenjangan antara kota dan desa makin terlihat. Indonesia tetap menjadi pengguna teknologi, bukan pencipta teknologi AI.
Skenario Pesimis: "Krisis AI---Mimpi yang Belum Tercapai"
Dalam skenario pesimis ini, harapan besar untuk revolusi digital di Indonesia tidak lagi menjadi prioritas. Investor global menarik dukungan karena tingkat pengembalian investasi jauh di bawah ekspektasi.
Faktor Kegagalan:
1. Biaya Adopsi yang Tinggi
Startup AI mulai menerapkan model bisnis berbasis langganan, menutup akses gratis yang selama ini menjadi daya tarik utama. Akibatnya, banyak UMKM yang sebelumnya menggunakan AI gratis mulai menghentikan penggunaannya.