"We are an impossibility in an impossible universe", kata Roy Bradbury, seorang penulis Amerika Serikat.
Pendahuluan
Sains tidak menyukai keajaiban, tetapi nyata sekali keajaiban ada di mana-mana. Jika tidak ada trigger yang mengubah energi potensial menjadi energi kinetik pada inflasi kosmik, niscaya Bing Bang tidak akan terjadi. Jika proses nihilisasi partikel dan antipartikel dibiarkan, maka semesta akan kosong selamanya. Jika hidrogen yang ditarik dan dikumpulkan oleh gravitasi tidak dipatik, maka proses fusi nuklir tidak akan terjadi dan bintang tidak ada. Jika evolusi bekerja seadanya, maka homo sapiens tidak akan pernah hadir.
Jika Big Bang bisa terjadi di sini, maka Big Bang bisa terjadi berlimpah di mana saja. Jika gravitasi bekerja secara utuh, niscaya materi menjadi dominan di semesta. Jika air bisa berlimpah di Bumi, maka air seharusnya berlimpah di seluruh sudut semesta. Jika kehidupan biologis beraneka ragam di Bumi, maka kehidupan biologis seharusnya ada di mana pun di semesta. Jika kecerdasan dan kesadaran tingkat tinggi berhasil di Bumi, maka hal yang serupa harus lazim di semesta.
Tapi semesta tidak bekerja dan bertindak seperti itu, Ferguso.
Karena sains tidak menyukai keajaiban, maka sains terus saja mencari bukti logis, empiris, dan matematis atas fenomena-fenomena yang ada. Bagaimanapun semua upaya itu harus diapresiasi. Tapi bukti-bukti yang ada dan berhasil dikumpulkan itu mengarah kepada dua bentuk semesta saja.
Hanya ada 2 opsi bentuk semesta yaitu ada berlimpah dan penuh keberlimpahan (1), atau tidak ada sama sekali dan kosong selamanya (2). Ini terjadi jika semesta semata dibentuk oleh mekanisme kuantum, kimia, biologi, fisika, kosmologi, dan matematika.
Tapi mekanisme kuantum, kimia, biologi, dan fisika berulang kali dirusak. Akibatnya, skenario kosmologi sering berubah plotnya secara tidak terduga. Narasi kosmologi tidak linear dan tidak pula flat.
A. Bentuk 1 : Tidak Ada Semesta dan Semesta Kosong
Big Bang tidak dimulai dengan singularitas. Model singularitas tidak bisa menjelaskan apa pun. Big Bang menurut pendekatan terbaru yang diterima mayoritas fisikawan dimulai dengan inflasi kosmik.
Dalam model inflasi kosmik, ada suatu energi misterius berada dalam kondisi metastabil yang terikat pada ruang bergulir mengubah energi potensialnya menjadi energi kinetik yang kemudian hal ini menyebabkan Big Bang.
Dalam fisika, suatu energi potensial tetap dalam keadaannya selamanya. Perubahan suatu energi menjadi bentuk energi lain tidak bisa terjadi secara otomatis, spontan, dan serta merta. Perubahan itu membutuhkan suatu trigger.
Perubahan energi potensial menjadi energi mekanik pada inflasi kosmik yang menyebabkan Big Bang jelas membutuhkan trigger. Jika trigger itu tidak ada, maka Big Bang tidak terjadi, dan akhirnya semesta tidak terbentuk.
Fluktuasi kuantum yang terjadi pada medan vakum diduga merupakan bentuk energi misterius seperti yang dimaksud pada inflasi kosmik.
Fluktuasi kuantum dari medan vakum juga terjadi setelah Big Bang.
Fluktuasi kuantum terjadi sebagai akibat dari proses nihilisasi antara partikel hipotesis dengan anti partikel hipotesis dalam medan vakum. Lonjakan energi yang dihasilkannya kemudian memengaruhi field-field di atasnya untuk membentuk partikel elementer dan anti partikelnya.
Model Kosmologi Lambda CDM tidak memberikan penjelasan yang memadai perihal peralihan dari fluktuasi kuantum kepada fluktuasi kerapatan. Fluktuasi kuantum penting untuk menjelaskan kondisi inflasi kosmik yang metastabil, sedangkan fluktuasi kerapatan penting untuk menjelaskan kondisi pembentukan bintang.
Tidak adanya penjelasan yang memadai yang menjembatani plot fluktuasi kuantum kepada plot fluktuasi kerapatan, bukan saja menjadi cacat bagi model kosmologi Lambda CDM, tapi ini adalah misteri sekaligus keajaiban dalam proses pembentukan semesta. Jika tidak ada jembatan itu, maka semesta akan terjebak kepada semesta yang mengkerut ataupun jika pun mampu mengembang akan menjadi semesta yang kosong.
Apalagi proses nihilisasi antara partikel dan antipartikel seharusnya terus terjadi tanpa batas. Akibatnya, jika proses itu tetap begitu adanya, maka atom unsur tidak akan terbentuk. Dengan demikian semesta hasil Big Bang ini akan selamanya kosong, tetap dalam kondisi kuantumnya.
Runtuhnya simetri partikel dan antipartikel jangan hanya dianggap sebagai misteri, melainkan ini merupakan keajaiban besar. Dengan runtuhnya simetri ini, plot fluktuasi kuantum dengan plot fluktuasi kerapatan bisa terjembatani.Â
Fusi Nuklir Bintang
Untuk menjadi helium dalam reaksi fusi nuklir, hidrogen hanya butuh menambah satu nomor atom saja. Prosesnya pun sederhana yaitu dengan menggabungkan dua atom isotop hidrogen, yang paling ideal adalah deuterium dan tritium, baik melalui rantai p-p maupun melalui siklus c-n-o. Dalam kenyataannya ternyata tidak semudah itu. Fusi nuklir bukan proses mudah dan sederhana. Reaksi fusi membutuhkan energi awal yang sangat besar, suhu yang sangat tinggi, dan tekanan yang besar.
Pada proses pembentukan bintang, gumpalan awan gas dengan kepadatan yang tinggi tiba-tiba runtuh dengan sendirinya akibat tekanan gravitasinya sendiri yang tidak stabil. Bagian inti yang tersisa itulah yang kemudian menjadi bintang. Proses keruntuhan tiba-tiba inilah yang disebut sebagai proses ignition atau proses pembakaran. Jika kondisi yang memungkinkan proses ignition ini gagal dicapai maka bintang gagal dibentuk. Jika kondisi ideal yang dibutuhkan ini mudah dicapai, maka seharusnya jumlah bintang ada jauh lebih banyak dari yang ada sekarang dan materi menjadi komponen utama pada semesta. Diperkirakan sekarang ini jumlah bintang pada semesta yang teramati ada sebanyak 200 milyar triliun buah.
Pada reaktor fusi nuklir dengan teknologi inertial, proses ignition dihasilkan dengan gelombang kejut yang diinduksi ke dalam isotop hidrogen yang berada dalam tingkat kepadatan yang tinggi sebagai hasil dari simulasi laser. Sementara pada reaktor fusi nuklir dengan teknologi magnetic confinenment atau tokamak, proses ignition dihasilkan dari induksi aliran listrik pada plasma yang dihasilkan oleh tekanan medan magnet. Tapi kedua teknologi itu gagal dalam dua aspek yaitu mempertahankan kestabilan proses atau masalah endurance dan dalam hal menjaga agar energi output yang dihasilkan lebih besar daripada input energinya.
Dalam proses pembentukan bintang, kita memang belum melihat secara langsung proses induksi yang memicu proses ignition, tapi berasumsi bahwa gravitasi dengan sendirinya menyebabkan proses ignition jelas terlalu menyederhanakan bahkan gegabah.
Gravitasi yang kuat memang dibutuhkan dalam pembentukan bintang, tapi dibutuhkan gravitasi yang sangat kuat untuk melakukan proses ignition secara internal. Ini malah berisiko mengendapkan hidrogen ke dalam lubang hitam dan singularitas. Akibatnya justru bintang tidak akan terbentuk.
Tanpa bintang-bintang itu, semesta akan sepenuhnya dan selamanya gelap.Â
B. Bentuk 2 : Semesta Banyak dan Semesta BerkelimpahanÂ
Evolusi Biologi Tidak Arbiter dan Random
Kita melihat keanekaragaman hayati yang berlimpah. Tapi bila melihat kemampuan genom untuk melakukan mutasi genetik termasuk di antaranya dengan menambah panjang untaian benang DNA-nya, maka seharusnya jumlah keanekaragaman itu tidak terhingga.
Di sisi lain, prinsip kombinasi dalam matematika jika berlaku dalam sistem biologi, pun dalam kondisi jika panjang untaian DNA dibatasi, maka jumlah pengulangan yang dibenarkan pun seharusnya terbatas. Sehingga entitas biologis yang bisa dibentuknya pun sangat terbatas.
Faktanya, genom berada di antara dua kutub itu yaitu di antara panjang rantai DNA yang terbatas mengikuti prinsip kombinasi dalam matematika dengan panjang rantai DNA yang tidak terbatas. Evolusi yang random (asal) dan arbiter (suka-suka) tidak dibenarkan oleh alam.
Evolusi yang arbiter dan random juga seharusnya menciptakan entitas biologis yang memiliki tingkat kesadaran dan tingkat kecerdasan yang tinggi dalam jumlah yang sangat berlimpah. Sementara sampai saat ini baru homo sapiens saja satu-satu yang memiliki tingkat kesadaran dan tingkat kecerdasan yang tertinggi.
Jika jalur evolusi yang ditempuh oleh manusia berhasil dengan sangat baik, seharusnya semua entitas biologis yang ada itu menempuh jalur evolusi manusia.
Terlepas apakah ini bisa diamati atau tidak, apakah ini akan terbukti secara empiris atau tidak, jika matematika di balik teori-teori inflasi kosmik dan teori-teori kuantum benar, maka konsep dan model semesta banyak atau multiverse seharusnya juga benar. Secara logika matematika dan fisika, eksistensi multiverse adalah valid.
Jika fluktuasi kuantum bekerja apa adanya, bahkan menjadi sumber dari energi misterius penyebab Big Bang, maka proses Big Bang seharusnya begitu berlimpah. Dengan begitu, semesta yang ada terbentuk bukan saja semesta di mana kita ini ada, tapi bahkan semesta itu begitu banyaknya, bisa sangat berlimpah.
Dominasi Materi
Semesta ini bagian terbesarnya adalah ruang kosong yang diisi oleh dark energy dan dark matter. Semesta gelap yang mana komposisi dark energy dan dark matter mencapai 95 persen, sedangkan materi cuma 5 persen saja.
Jika proses nihilisasi partikel dan antipartikel sudah bisa diatasi, di mana simetri partikel-anti partikel pecah, maka proses pembentukan materi seharusnya bisa sangat lebih mudah. Sehingga selanjutnya materi seharusnya menjadi dominan di semesta ini.
Jika kesetaraan energi Einstein E = mc2 bekerja secara utuh, maka energi lonjakan dari fluktuasi kuantum, dan bahkan dari dark energy seharusnya bisa digunakan untuk membentuk materi. Akibatnya seharusnya materi menjadi dominan di semesta kita ini.
Asimetri Keberlimpahan Unsur-unsur di Semesta
Sudah sewajarnya unsur dengan nomor atom kecil berada lebih berlimpah ketimbang unsur dengan nomor atom lebih besar. Hidrogen dan helium mengisi sebagian besar semesta karena nomor atomnya adalah 1 dan 2. Tapi prinsip ini rusak sejak lithium yang memiliki nomor atom tiga. Posisi ketiga yang seharusnya diisi oleh lithium sebagai unsur yang paling berlimpah di semesta malah diisi oleh oksigen. Selanjutnya, prinsip ini semakin tidak konsisten seiring dengan bertambahnya nomor atom.
Mekanisme pembentukan atom unsur tidak semudah sekedar menambah jumlah proton ataupun elektron dengan menembakkan secara bertubi-tubi dan terus menerus suatu sistem kuantum dengan proton atau elektron agar nomor atomnya bertambah.
Jika pembentukan atom unsur semudah itu, maka panjang tabel periodik unsur bisa sangat panjang.
Keberlimpahan Air
Rumus kimia air sungguh sangat elegan. Hanya terbentuk dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Dengan melihat keberlimpahan hidrogen dan oksigen di semesta ini, seharusnya air menjadi senyawa yang berlimpah di mana-mana tersedia di setiap sudut semesta. Sehingga seharusnya entitas biologis pun berlimpah di setiap pojok semesta yang ada.
Tapi ternyata proses pembentukan air jauh lebih sulit daripada proses pembentukan urea yang rumus kimianya lebih kompleks. Proses sintesis air membutuhkan reaksi kimia yang kompleks dan kondisi yang lebih sulit dicapai. Daripada menghasilkan air bersih dari sintesis air, lebih mudah dan lebih murah melakukannya dengan desalinasi air.
Kesimpulan
Dengan memperhatikan variabel inflasi kosmik, nihilisasi kuantum, reaksi fusi nuklir, multiverse, komposisi materi di semesta, pembentukan unsur dalam tabel periodik, pembentukan air, dan evolusi biologis yang tidak random dan arbiter, maka semesta akan terjebak ke dalam dua bentuk ekstrem yaitu berlimpah dan berkelimpahan atau tidak ada dan kosong sama sekali jika segala proses pembentukannya semata didasarkan kepada mekanisme kuantum, kimia, fisika, biologi, dan kosmologi.
Semesta yang kita tinggali ini berada di luar kedua kutub tersebut, Ferguso.
Penutup
Kita menerima sampai sejauh ini skenario kosmologi yang disampaikan oleh Model Standar Kosmologi atau Model Lambda CDM, tapi sayang sekali model ini tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang sejumlah perubahan plot, bahkan perubahan plot yang paling tiba-tiba dan paling penting sekalipun.
Model ini di samping menyederhanakan banyak hal, juga tampak tidak jujur terhadap sejumlah hal atau kejadian yang mengubah plot semesta selama 13.8 milyar tahun dengan melibatkan panggung sebesar 94 milyar tahun. Cerita tentang horizon elektrolemah tidak pernah diungkapkan secara terbuka.
Skenario kosmologi yang dibawakan oleh Model Lambda CDM tidak linear dan flat memang, plot-plot yang paling penting bahkan seperti tidak linear dan tidak sinkron dengan keseluruhan cerita yang ada sebelumnya.
Alih-alih perubahan plot itu memperkuat cerita yang ada sebelumnya itu, ini malah seperti mereduksinya. Pada setiap fragmennya menjadi seperti sebuah cerita baru di panggung yang sama. Dalam konteks ini, kini sudah tersebar sejumlah saran dari para fisikawan untuk merombak model standar kosmologi lambda CDM.
Menarik sekali memperhatikan argumentasi Fulvio Melia dalam A Candid Assessment of Modern Cosmology yang menyarankan perombakan besar-besaran dalam model kosmologi Lambda CDM.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H