Mohon tunggu...
Asdal Angkar
Asdal Angkar Mohon Tunggu... Relawan - Pelajar

Manusia dan muslim

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi Seorang Palestina: A Hand Is No Longer A Hand (Bahasa Indonesia)

7 Oktober 2024   04:24 Diperbarui: 7 Oktober 2024   07:34 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : MOHAMMED ABED (Getty Images)

Puisi oleh : Mosab Abu Toha

Publisher : Zeteo

________________________

________________________

i

Setelah serangan udara,

di dekat pohon murbei

dan beberapa tanaman liar,

mereka menemukan tubuh seorang anak yang tak bergerak:

Satu matanya tertutup sepenuhnya,

yang lain setengah terbuka,

mengawasi serpihan apa pun

yang bisa membunuhnya kembali.

________________________

ii

Di kotaku, tentara

mengumpulkan semua pria,

memaksa mereka berdiri

berhadapan dinding

sekolah dasar.

Tangan-tangan, diangkat,

menyentuh batu bata yang baru dicat

seolah bersiap

untuk memainkan piano

sebelum peluru-peluru menghujam

kepala dan punggung yang gemetar.

________________________

iii

Selama serangan udara, kami duduk di lantai berdebu,

diam membeku seperti pil dalam botol di apotek, di sebuah kota

di mana tak ada yang sakit, di mana semua orang telah mati.

________________________

iv

Aku melihat pergelangan tangannya.

Hancur,

hampir terputus.

Lalu ke pundaknya.

Setangkai tulang yang patah.

Dia berusia empat tahun.

Aku berkata kepada istriku,

Oh! Lihat betapa beraninya dia.

Dia tidak menangis.

Tidak ada kesakitan. Tidak ada air mata.

Bahkan tanpa orang tua

di sisinya.

Aku menatap wajahnya.

Matanya tidak bergerak.

Jantungnya tidak berdetak.

Dia sedang beristirahat.

________________________

v

Sebuah tangan bukan lagi tangan

selama ia tidak menemukan

tangan lain untuk dijabat,

selama ia tidak menemukan makanan

untuk dibagi dengan yang lain,

selama ia tidak menemukan

pena untuk menulis,

selama ia menjadi satu-satunya daging

yang bisa ditemukan seekor anjing untuk dimakan,

dan selama ia pergi

menghilang, selamanya.

________________________

vi

Apakah ini sungguhan?!

Kami bangun setiap pagi,

memberitahumu tentang pembantaian

yang terjadi semalam?

Apakah satu-satunya tugas kami

melaporkan kematian kami,

merekam tubuh-tubuh yang terpotong,

dan memintamu untuk menolong?

Kapan KAMU akan bangun?

Apakah kamu baik-baik saja terbangun

dan menemukan rumahmu terbakar?

menemukan anakmu hangus?

menemukan istrimu di rumah sakit

tanpa obat?

menemukan lingkunganmu

menjadi tumpukan puing reruntuhan?

tidak bangun?

Bangunlah!!

Cukup melihat kami sambil duduk

di kursi

atau bersandar di sofa.

Kami tenggelam dalam keheninganmu.

Kami menjerit

tetapi kamu mencopot telingamu.

Kamu menaruhnya di kotak penyuara telingamu.

Kami melihat darah

mengalir dari kotak itu.

Darah itu adalah jeritan kami, air mata kami,

DARAH kami.

________________________

vii

Engkau terusir.

Engkau terluka namun tetap bertahan.

Engkau melompat dari ranjangmu

ketika sebuah rudal menghantam rumah sakit.

Engkau berlindung di dalam tenda.

Engkau terusir lagi.

Engkau terusir lagi

dan lagi dengan tongkat penyangga

atau kursi roda.

Engkau "digaza" berjuta-juta kali.

________________________

ix

Jika kami tinggal di rumah kami, mereka membom kami.

Jika kami berlindung di sekolah, mereka membom kami.

Jika kami lari ke rumah sakit, mereka membom kami.

Jika kami pindah ke tenda, mereka membom kami.

Jika kami pergi ke toilet, mereka membom kami.

Jika kami lari dari serangan udara, mereka membom kami.

Jika kami tidak melakukan semua ini, mereka tetap membom kami.

Jika kami diam seperti pohon,

atau sementara pergi seperti daun di musim gugur,

mereka membom kami.

Tapi musim semi akan datang

dan mereka, yang membom kami,

tidak akan menemukan bom di antara

bunga-bunga.

Kami akan berada di pohon-pohon, berjemur di bawah matahari,

dan mereka, yang membom kami,

tidak akan punya matahari,

tidak ada tempat untuk beristirahat,

tidak ada kaki untuk berlari.

________________________

x

Dia tidak pernah bangun.

Aku bisa melihat sebuah mesin jus, kasur,

selimut, puing-puing lemari,

puing-puing keranjang.

Dan mungkin sebuah kentang atau bawang.

Debu membuatnya sulit

membedakan kentang dari bawang.

Tapi aku bisa membedakan kematian.

Aku bisa melihatnya pada mulut yang terbuka,

pada mata yang tertutup.

Aku bisa melihat setiap dari kami

di bawah reruntuhan.

________________________

________________________

Link (Sumber) : https://zeteo.com/p/exclusive-an-original-poem-from-acclaimed

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun