Puisi oleh : Mosab Abu Toha
Publisher : Zeteo
________________________
________________________
i
Setelah serangan udara,
di dekat pohon murbei
dan beberapa tanaman liar,
mereka menemukan tubuh seorang anak yang tak bergerak:
Satu matanya tertutup sepenuhnya,
yang lain setengah terbuka,
mengawasi serpihan apa pun
yang bisa membunuhnya kembali.
________________________
ii
Di kotaku, tentara
mengumpulkan semua pria,
memaksa mereka berdiri
berhadapan dinding
sekolah dasar.
Tangan-tangan, diangkat,
menyentuh batu bata yang baru dicat
seolah bersiap
untuk memainkan piano
sebelum peluru-peluru menghujam
kepala dan punggung yang gemetar.
________________________
iii
Selama serangan udara, kami duduk di lantai berdebu,
diam membeku seperti pil dalam botol di apotek, di sebuah kota
di mana tak ada yang sakit, di mana semua orang telah mati.
________________________
iv
Aku melihat pergelangan tangannya.
Hancur,
hampir terputus.
Lalu ke pundaknya.
Setangkai tulang yang patah.
Dia berusia empat tahun.
Aku berkata kepada istriku,
Oh! Lihat betapa beraninya dia.
Dia tidak menangis.
Tidak ada kesakitan. Tidak ada air mata.
Bahkan tanpa orang tua
di sisinya.
Aku menatap wajahnya.
Matanya tidak bergerak.
Jantungnya tidak berdetak.
Dia sedang beristirahat.
________________________
v
Sebuah tangan bukan lagi tangan
selama ia tidak menemukan
tangan lain untuk dijabat,
selama ia tidak menemukan makanan
untuk dibagi dengan yang lain,
selama ia tidak menemukan
pena untuk menulis,
selama ia menjadi satu-satunya daging
yang bisa ditemukan seekor anjing untuk dimakan,
dan selama ia pergi
menghilang, selamanya.
________________________
vi
Apakah ini sungguhan?!
Kami bangun setiap pagi,
memberitahumu tentang pembantaian
yang terjadi semalam?
Apakah satu-satunya tugas kami
melaporkan kematian kami,
merekam tubuh-tubuh yang terpotong,
dan memintamu untuk menolong?
Kapan KAMU akan bangun?
Apakah kamu baik-baik saja terbangun
dan menemukan rumahmu terbakar?
menemukan anakmu hangus?
menemukan istrimu di rumah sakit
tanpa obat?
menemukan lingkunganmu
menjadi tumpukan puing reruntuhan?
tidak bangun?
Bangunlah!!
Cukup melihat kami sambil duduk
di kursi
atau bersandar di sofa.
Kami tenggelam dalam keheninganmu.
Kami menjerit
tetapi kamu mencopot telingamu.
Kamu menaruhnya di kotak penyuara telingamu.
Kami melihat darah
mengalir dari kotak itu.
Darah itu adalah jeritan kami, air mata kami,
DARAH kami.
________________________
vii
Engkau terusir.
Engkau terluka namun tetap bertahan.
Engkau melompat dari ranjangmu
ketika sebuah rudal menghantam rumah sakit.
Engkau berlindung di dalam tenda.
Engkau terusir lagi.
Engkau terusir lagi
dan lagi dengan tongkat penyangga
atau kursi roda.
Engkau "digaza" berjuta-juta kali.
________________________
ix
Jika kami tinggal di rumah kami, mereka membom kami.
Jika kami berlindung di sekolah, mereka membom kami.
Jika kami lari ke rumah sakit, mereka membom kami.
Jika kami pindah ke tenda, mereka membom kami.
Jika kami pergi ke toilet, mereka membom kami.
Jika kami lari dari serangan udara, mereka membom kami.
Jika kami tidak melakukan semua ini, mereka tetap membom kami.
Jika kami diam seperti pohon,
atau sementara pergi seperti daun di musim gugur,
mereka membom kami.
Tapi musim semi akan datang
dan mereka, yang membom kami,
tidak akan menemukan bom di antara
bunga-bunga.
Kami akan berada di pohon-pohon, berjemur di bawah matahari,
dan mereka, yang membom kami,
tidak akan punya matahari,
tidak ada tempat untuk beristirahat,
tidak ada kaki untuk berlari.
________________________
x
Dia tidak pernah bangun.
Aku bisa melihat sebuah mesin jus, kasur,
selimut, puing-puing lemari,
puing-puing keranjang.
Dan mungkin sebuah kentang atau bawang.
Debu membuatnya sulit
membedakan kentang dari bawang.
Tapi aku bisa membedakan kematian.
Aku bisa melihatnya pada mulut yang terbuka,
pada mata yang tertutup.
Aku bisa melihat setiap dari kami
di bawah reruntuhan.
________________________
________________________
Link (Sumber) : https://zeteo.com/p/exclusive-an-original-poem-from-acclaimed
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H