Dalam hal ini, demikian juga Camat. Filosofi yang digunakan dalam struktur tata negara kita menyatakan bahwa Camat adalah pembantu Bupati/Walikota dalam fungsi koordinasi dengan para Lurah/Kades dan bukan menjadi atasan langsung.
Bagaimana memilih Camat sebagai pembantu Bupati atau Walikota?
Kita ajukan gagasan yang sama dengan proses pemilihan RW dan gagasan pemilihan Lurah/Kades di atas. Bahwa calon Camat mestilah dari setiap pengurus inti dalam sebuah organisasi Kelurahan/Desa, yang dimusyawarahkan oleh para Lurah/Kades dan jajaran di atasnya, yaitu Bupati/Walikota.
Demikian pula dalam pemilihan Bupati/Walikota. Para calon adalah pengurus inti dari sebuah Kecamatan, dan tentunya lebih mudah apabila para calonnya adalah para Camat terpilih.
Jadi satu wilayah Kota yang dipimpin Walikota, semisal terdiri atas 7 Kecamatan, maka calon Walikota dan wakilnya adalah para Camat terpilih.
Dari wilayah dengan 7 orang Camat, kita akan memiliki 3 pasang calon Walikota dan wakil Walikota. (7 dibagi 2)
Sementara sebuah wilayah Kabupaten yang misalnya memiliki 11 orang Camat, kita akan memiliki 5 pasang calon Bupati dan Wakil Bupati (11 dibagi 2), yang dengan mekanisme musyawarah di DPRD Kabupaten bisa disusutkan menjadi 2 atau 3 pasang calon.
Selanjutnya dari 2 atau 3 pasang calon, proses pemilihan bisa melalui musyawarah atau dengan Pemilu yang dipilih langsung oleh warga atau rakyat sekabupaten.
Jadinya konsep Pemilu yang melibatkan seluruh warga bisa digunakan untuk pemilihan RT, Lurah/Kades, dan Bupati/Walikota.
Sementara untuk RW, Camat, dan Gubernur tidak perlu melalui Pemilu. Pemilihan Gubernur bisa melalui musyawarah antar Bupati/Walikota dengan melibatkan unsur anggota DPR, untuk sepakat memilih Gubernur diantara para Walikota/Bupati yang berada dalam satu wilayah Provinsi.
Selanjutnya kita masuk pada struktur Pemerintahan Pusat, dimulai dari lembaga MPR/DPR.