Mala tidak menanggapi Dana. Dia memalingkan wajah ke sampul buku yang digenggamnya. Berwarna ungu. Dengan sebuah pintu berbentuk lingkaran, sebuah pemandangan di luar rumah, dan seseorang yang siap berpetualang. Memandangi sampul itu, Mala mulai berangan-angan sendiri. Mungkin, akan menyenangkan jika dirinya sendiri yang akan memulai perjalanan tersebut.Â
"Hei, kamu melamun lagi!" Dana membuyarkan lamunan indah Mala. Gayung bersambut, Mala memandang Dana dengan tatapan tajam. Hal yang membuat Dana sempat gugup. Dana sendiri merasa heran, sejak kapan dirinya bisa takluk dengan tatapan Mala?
"Kamu ini, selalu menggangguku". Mala meletakkan bukunya ke tempat yang semestinya.Â
"Aku tidak mengganggu. Aku sedari tadi berbicara, tapi kamu malah melamun". Begitulah bantahan dari Dana.Â
"Eh, begitu? Maaf. Tapi, apa yang ingin kamu katakan tadi?"Â
Dana hanya menyampaikan hal yang sederhana. Begitulah penilaiannya. Tentang, bagaimana mereka memulai kebiasaan membaca ini? Lalu, bagaimana mereka akhirnya berada di dua kutub yang berbeda?Â
Mala tertawa mendengar itu semua. Jadi, Dana hanya mengajak Mala untuk bernostalgia sebentar. Dari ingatan Mala, mereka berdua telah meniti jalan baca-baca ini sejak SD. Hal yang tidak mengejutkan sebab mereka satu SD. Lebih dari itu, mereka adalah tetangga. Setiap hari bisa bertemu. Tanpa rasa canggung.Â
Dana juga mengingat demikian. Tapi, dirinya yakin kalau ingatannya menyimpan satu informasi yang luput dari Mala. Mereka awalnya hanya penasaran. Waktu itu, ketika jam jeda sebelum memasuki jadwal kelas mengaji. Mereka berada di kelas yang kosong. Lalu, sebuah buku paket di atas meja mengalihkan perhatian mereka.Â
"Ah, aku yakin, itu buku novel?" Kata Mala.
"Bukan. Lagipula, anak SD mana yang suka membaca novel?" Bantah Dana.
"Sialan kamu. Aku juga suka baca novel pas kelas enam". Mala mengenang bahwa dirinya begitu suka membaca buku-buku novel jenaka waktu itu.Â