Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buku dalam Perkara antara Aku dan Dirimu: Perjalanan dan Refleksi Diri

21 Juli 2023   20:12 Diperbarui: 21 Juli 2023   20:23 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kapan kita pegi ke mall?"

"Mall lagi? Padahal, kita sudah dari tempat itu minggu lalu". 

Mala membersihkan buku yang sedari tadi dipegangnya. Dirinya mencoba mengingat, kapan terakhir buku itu dibacanya? Kemungkinan, tahun lalu. Tapi, dirinya tidak berpikir bahwa jeda waktu itu hal yang buruk. Nyatanya, dia telah menamatkan buku itu. Jadi, dia memandang bahwa dirinya sedang rehat dari buku itu. 

Baca juga: Bawalah Aku, Mimpi

"Aku ingat buku itu. Kalau tidak salah, itu bercerita tentang, hmm, suku pendek, bukan, perjalanan suku pendek, bukan?" 

Mala tidak membenarkan, juga tidak menyalahkan. Para Hobbit memang benar suku orang pendek. Dalam artian, mereka lebih pendek daripada Orang Besar, sebutan mereka kepada kita. Ah, dia malah mulai berpikir seperti apa yang tertulis di dalam buku itu. 

"Jadi, memang begitu, kan? Hehehe, setidaknya ada beberapa hal yang aku ingat tentang buku itu." 

"Itupun aku yang memberitahumu. Setidaknya, cobalah membacanya sekali." 

Begitulah hal yang sering terjadi antara Dana dan Mala. Sudah pastinya, Dana tidak akan mengiyakan, lalu diam saja terhadap setiap ucapan dari Mala. 

"Iya, tapi aku menunggu agar ada waktu senggang dulu." 

Mala agak ketus menanggapi Dana. "Ah, selalu begitu". 

"Aku bukannya tidak suka membaca. Aku juga kutu buku sepertimu. Kau tahu itu. Cuma, aku tidak selalu punya minat untuk membaca apa yang kamu baca." 

Mala tidak menanggapi Dana. Dia memalingkan wajah ke sampul buku yang digenggamnya. Berwarna ungu. Dengan sebuah pintu berbentuk lingkaran, sebuah pemandangan di luar rumah, dan seseorang yang siap berpetualang. Memandangi sampul itu, Mala mulai berangan-angan sendiri. Mungkin, akan menyenangkan jika dirinya sendiri yang akan memulai perjalanan tersebut. 

"Hei, kamu melamun lagi!" Dana membuyarkan lamunan indah Mala. Gayung bersambut, Mala memandang Dana dengan tatapan tajam. Hal yang membuat Dana sempat gugup. Dana sendiri merasa heran, sejak kapan dirinya bisa takluk dengan tatapan Mala?

"Kamu ini, selalu menggangguku". Mala meletakkan bukunya ke tempat yang semestinya. 

"Aku tidak mengganggu. Aku sedari tadi berbicara, tapi kamu malah melamun". Begitulah bantahan dari Dana. 

"Eh, begitu? Maaf. Tapi, apa yang ingin kamu katakan tadi?" 

Dana hanya menyampaikan hal yang sederhana. Begitulah penilaiannya. Tentang, bagaimana mereka memulai kebiasaan membaca ini? Lalu, bagaimana mereka akhirnya berada di dua kutub yang berbeda? 

Mala tertawa mendengar itu semua. Jadi, Dana hanya mengajak Mala untuk bernostalgia sebentar. Dari ingatan Mala, mereka berdua telah meniti jalan baca-baca ini sejak SD. Hal yang tidak mengejutkan sebab mereka satu SD. Lebih dari itu, mereka adalah tetangga. Setiap hari bisa bertemu. Tanpa rasa canggung. 

Dana juga mengingat demikian. Tapi, dirinya yakin kalau ingatannya menyimpan satu informasi yang luput dari Mala. Mereka awalnya hanya penasaran. Waktu itu, ketika jam jeda sebelum memasuki jadwal kelas mengaji. Mereka berada di kelas yang kosong. Lalu, sebuah buku paket di atas meja mengalihkan perhatian mereka. 

"Ah, aku yakin, itu buku novel?" Kata Mala.

"Bukan. Lagipula, anak SD mana yang suka membaca novel?" Bantah Dana.

"Sialan kamu. Aku juga suka baca novel pas kelas enam". Mala mengenang bahwa dirinya begitu suka membaca buku-buku novel jenaka waktu itu. 

"Itu, itu ketika kamu yang jadi anak kelas enam. Bagaimana anak-anak kelas enam sewaktu kita masih ingusan? Setauku, mereka tidak seantusias dirimu", jelas Dana. 

Mala sebenarnya ingin membantah. Seingatnya, dia pernah melihat salah seorang kakak kelas yang membaca sebuah buku. Dia yakin kalau itu buku novel. Pasalnya, sampul bukunya lebih familiar kepada sampul yang sering dirancang untuk buku novel. Tapi, dia tau kalau memaksakan ingatannya itu malah akan menyulut api yang lain. 

"Aku ingat betul, kalau buku yang kita lihat di atas meja sewaktu itu adalah buku sejarah. Cuman, buku sejarah itu seharusnya bukan dibaca oleh kita. Tapi, dibaca oleh anak-anak kelas lima", jelas Dana. 

"Kalau begitu, ada apa dengan buku itu? Kenapa akhirnya kita jadi tertarik, dan sampai mengakar akibatnya hingga saat ini?" Pertanyaan Mala ini disambut dengan pancaran memori di dalam benak Dana. Ketika mereka mendekati buku paket itu dan coba membuka isinya. 

Dana hanya melihat tulisan dengan kerajaan-kerajaan. Suatu istilah yang tidak asing walau dirinya masih kelas tiga SD. Malahan, dirinya tergolong paling maju tentang pemahaman sejaran. Tayangan TV tentang sejarah yang rutin ditontonnya setiap malam Minggu menjadi penyebab utama. Selama ini, Dana selalu duduk di depan TV ketika tayangan tentang sejarah itu mengudara. Kebiasaan Dana ini bahkan dimaklumi secara mutlak oleh kedua orang tuanya. Mereka juga ikut nimbrung bersama Dana selama tiga puluh menit. Tidak ada inisiasi untuk mengganti kanal tayangan. 

Tulisan tentang kerajaan-kerajaan membangkitkan gairah besar Dana untuk membaca. Dirinya sudah bisa membaca kala itu. Walaupun, dirinya masih dalam tahapan: Membaca kalau disuruh. Tapi, untuk momen itu, Dana membaca karena keinginan dirinya sendiri. 

Mala, di sisi lain, tidak begitu aktif di momen itu. Dirinya hanya ikut-ikutan membaca sebab Dana melakukannya. Kalaupun dirinya ingin pergi keluar kelas, tapi keinginan tersebut urung dilakukan karena teman-temannya sedang shalat. Dibandingkan Dana, Mala hanya membaca secara sekilas. Seringkali, dia harus menunggu Dana selesai membaca satu halaman. 

"Itulah awal dari perjalanan kita di dunia perbukuan", ucap Dana.

"Perbukuan? Aku pikir, itu berlebihan. Kita baru sekedar rajin membaca. Kita bahkan belum menulis sesuatu kalau bukan karena kebutuhan tugas".

"Tapi, Mala, dirimu sendiri sebenarnya juga ingin sesekali menulis, hmm, sesuatu yang hebat bukan?" Tanya Dana.

Mala diam sebentar. Kemudian, dia beranjak dan mengambil sebuah buku. Sejenis binder. Lalu, menampilkan buku tersebut kepada Dana. 

"Aku sudah coba-coba. Ya, mulai dari puisi, sih. Aku kira, menulis puisi belum memerlukan suatu wacana yang panjang. Bukan berarti, aku meremehkan puisi. Tentu, menulis puisi yang memikat butuh waktu yang tidak sebentar. Tapi, karena puisi yang biasa berlarik-larik itu terlihat tidak lebih menakutkan dari cerpen atau novel, yang satu halamannya saja bisa memuat banyak sekali hal", begitulah penjelasan Mala. 

Dana memandang buku yang masih di dalam genggaman Mala itu. Dengan cepat, dia meraihnya. Hal yang pastinya membuat jengkel Mala. Dana lalu membuka buku tersebut, dan membaca beberapa tulisan yang disebut sebagai puisi oleh Mala. 

"Aku kira, puisi-puisi kamu ini tidak jelek. Eh, maksudku, aku sendiri nyaman dan terpikat ketika membacanya. Kamu merendah, aku pikir. Dibandingkan diriku yang masih kesulitan menulis puisi, kamu mah lebih tinggi kepandaiannya". 

Mala merasa tersipu mendengar perkataan Dana itu. Dia memandang Dana, yang masih asyik membaca setiap lembar di buku itu. Kalau dia pikir-pikir, sepertinya Dana memang serius dengan ucapannya. Dia tidak sedang berupaya sekedar membuat senang hatinya. Dia menatap mata Dana: Dana sangat serius dan begitu mendalami tulisan-tulisannya. 

"Kalau kamu bilang membaca buku sejarah waktu itu awalan dari perjalanan kita, aku jadi sulit menolaknya. Benar, saat ini, aku sudah jauh berbeda darimu. Lalu, soal dunia perbukuan itu, aku juga tidak bisa menampik, kalau siang itu, keputusanku untuk berdua denganku di kelas menjadi awalan dari semuanya. 

Memang, saat ini aku belum seterampil itu untuk menulis cerita, atau buku yang luar biasa. Tapi, aku sudah mengatakannya tadi. Saat ini, kita berdua sedang berada di fase yang begitu maniak dalam membaca. Kita selalu mencari tahu, menjelajahi wacana-wacana, dan perlahan-lahan merasa tahu segalanya. Naif memang. Tapi, aku tidak merasa menyesal.

Kamu juga paham, walau kamu membawaku ke dunia buku-buku ini lewat buku sejarah, tetapi aku telah memilih jalanku sendiri. Aku lebih suka kepada cerita-cerita. Aku cinta kepada novel. Kalaupun tidak berat mengatakan ini, aku cinta kepada sastra. 

Tapi, aku tetap berterimakasih kepadamu. Setidaknya, otakku masih encer ketika diharuskan membaca hal-hal yang bersifat akademik. Uhm, kalau aku sejak awal cuma fokus ke cerita-cerita, aku juga akan meragukan kemampuanku ketika membaca buku-buku pelajaran, sih".

Mala menjelaskan panjang lebar. Sembari kepalanya menunduk. Tidak lupa, jari-jemarinya seakan-akan sedang merajut sesuatu. Dana yang mendengarkan sedari tadi hanya tersenyum. 

"Tapi, kebiasaan membaca kita. Lalu, kamu yang mulai membiasakan diri menulis, untungnya tidak sampai mengganggu aktivitas sehari-hari kita, ya". 

"Tentu saja tidak. Aku sendiri, sih, berusaha membagi waktuku. Setidaknya, aku sudah hafal betul jam-jam ketika ibuku meminta atau menginginkan sesuatu. Ketika periode itu datang, maka aku hanya perlu berhenti sejenak dari buku, lalu mengerjakan apapun yang ibuku inginkan. 

Kalau dipikir-pikir, kamu sepertinya tidak sebagus itu kan, Dana?"

Dana hanya mengangguk malu. Terkadang dirinya bisa lupa waktu; lupa daratan. Terkadang, ketika ibunya meminta sesuatu, Dana malah mengomel sendiri andaikata dia sedang sibuk berkutat dengan bukunya. Hal yang selalu dipertentangkan oleh ibunya. Hal yang juga membawa efek domino yang lebih buruk kepada Dana sendiri. Seringkali ibunya mengomel dan menuduh yang tidak-tidak kepada buku bacaan Dana. Kalaupun buku-buku itu dianggap bersih tanpa dosa, maka Danalah yang harus menerima semua pertanggungjawaban.

"Kamu hanya perlu mengontrol diri, Dana. Apa susahnya rehat sejenak dari buku? Apa buku-buku sains yang kamu baca itu sedemikian rumitnya sehingga harus menyita begitu banyak waktumu? Kalaupun iya, aku pikir tidaklah elok kamu masih berprinsip demikian kepada ibumu. 

Sebenarnya, kamu juga sama menyebabkannya kepada kami, teman-temanmu. Ketika kamu sibuk dengan bukumu, kamu meninggalkan kami. Seolah-olah kegiatan yang kami lakukan tidak ada manfaatnya di matamu. Yah, untung, kami ini teman-temanmu. Termasuk di dalamnya ada aku, dan beberapa sahabatmu. Kami masih bisa memaklumi itu. Tapi, ibumu? Sampai kapan kamu bisa berperang kecil dengan ibumu? Sayang sekali".

Dana terdiam. Dia memikirkan ucapan Mala dengan serius. Sulit baginya untuk bisa memberikan bantahan. Hal yang selama ini selalu ia lakukan, termasuk kepada ibunya. Bisa dikatakan, justru orang pertama yang bisa menundukkan dirinya adalah Mala, bukan ibunya. 

Dalam renungan singkat Dana, dia berpikir bahwa memang ada yang harus diubah dari dirinya. Mencintai buku dan rutin membacanya adalah satu hal. Tapi, dia akhirnya juga menyadari bahwa kehidupan dunia nyata tidak sepatutnya diabaikan. Saat ini, dia merasa bahwa hubungannya dengan teman-temannya sempat merenggang. Apalagi, dia juga sempat berkonflik dengan teman-teman sekelasnya beberapa minggu silam. Waktu itu, mereka berkonflik tentang sikap cuek Dana terhadap jadwal gotong royong bulanan kelas. Bagi Dana, dan seperti biasanya, menghadiri gotong royong bukanlah hal yang penting. Lebih baik pergi ke suatu tempat, lalu menjinakkan diri melalui bacaan. Bukan hal yang buruk, tapi tidak sepatutnya diutamakan jika sudah berhubungan dengan komitmen bersama. 

"Ah, kamu berpikir cukup lama. Aku bisa bertaruh, kamu juga berpikir cukup dalam. Hahaha, tidak masalah. Sesekali kita perlu waktu untuk memikirkan segalanya. 

Kenapa kamu tidak pulang dulu? Biasanya, sehabis Ashar ini, ibumu sering memintamu untuk berbelanja ke warung di simpang, kan? Kalau kamu ingin berubah, coba dari hal yang demikian dulu". 

"Hmm, ya sudahlah. Aku mengalah. Aku pamit. Oh, iya, sebelumnya, aku ingin kamu meminta satu hal". Begitulah Dana, selalu meminta satu hal dan biasanya akan meminta satu hal yang lain, sampai akhirnya dirinya batal pulang pada kesempatan tersebut. Akan tetapi, kali ini dirinya berusaha untuk berkomitmen. Dirinya akan pulang dan menawarkan diri untuk berbelanja ke pasar kepada ibunya. 

"Apa? Ah, kamu ini, seperti biasanya". 

"Jangan begitu. Satu saja. Apa yang mendorong kamu sampai akhirnya menyukai novel? Padahal, setahuku kamu masih ikut-ikutan denganku soal bahan bacaan". Pertanyaan Dana itu disambut dengan tawa ringan dari Mala. Gadis itu berpikir, bahwa Dana terlihat terlalu percaya diri kalau dirinya dulu hanya ikut-ikutan saja. Padahal, Mala pada saat itu masih belum punya tumpuan sendiri soal bahan bacaan. Sebelum, satu momen yang terkesan seperti deja vu terjadi.

"Sederhana, kalau kita berdua pertama kali terjun ke dunia perbukuan, atau apalah namanya, sejak kamu membuka buku sejarah anak kelas lima itu, maka aku juga punya versi 'membuka buku ... di kelas' sendiri. 

Bedanya, waktu itu cuma aku sendiri. Ingat 'kan, kalau di kelas lima SD, kita sudah pisah kelas. Waktu itu, selepas shalat Zuhur, aku pergi ke kelas sendirian. Di meja belakang, ada satu buku. Karena penasaran, aku mendekati buku itu. 

Awalnya, aku mengira bahwa kejadian dua tahun sebelumnya akan terulang kembali. Tapi, semakin aku mendekati buku itu, semakin aku menyadari, bahwa apa yang sedang aku jalani saat itu berbeda dengan kisah kita berdua dua tahun sebelumnya. 

Buku di meja belakang itu bukanlah buku paket. Bukan pula sejenis buku pelajaran lainnya. Itu sebuah novel. Dari kejauhan, sampulnya terlihat lebih hidup dibandingkan sampul-sampul buku pelajaran yang membosankan. Terlihat ada seseorang yang duduk. Dari warnanya mengingatkan kepada momen senja hari. Ketika aku sampai di samping meja itu, barulah aku bisa membacanya dengan jelas. Judul buku itu adalah 'Laskar Pelangi'

Awalnya, aku hanya iseng. Aku juga sama angkuhnya denganmu waktu itu. Aku bisa mengira kalau buku tebal di hadapanku waktu itu adalah buku novel. Sebuah cerita karangan. Buat apa membaca buku khayalan seperti itu? Tapi, aku juga merasa, kalau aku cepat-cepat meninggalkan buku itu tanpa membacanya walau satu kalimat pun, sepertinya aku terlalu pengecut. Akhirnya, aku membukanya. 

Awalnya, aku tidak merasakan ada yang aneh. Tapi, semakin banyak kata yang kuserap, semakin aku merasa ingin tahu. Semakin banyak halaman yang aku balikkan, semakin aku merasa berada di dalam dunia buku itu. 

Aku merasa ada kesenangan aneh yang menjalar di tubuhku. Kesenangan yang membuat tubuhku merasa geli dan dingin sekaligus. Kegelian dan kedinginan yang menggeliat di leherku. Tapi, tidak lama, rasa puas dan bahagia muncul. Seperti diriku plong. 

Suatu kebahagiaan yang jarang-jarang aku rasakan. Semenjak sensasi itu, aku berusaha membaca lebih lama dan lebih mendalam. Barulah aku mengetahui, bahwa buku itu adalah buku milik teman sekelasku dulu, Sofia. Aku meminta agar dia mau meminjamkan buku itu. Ajaibnya, dia mengizinkannya. 

Novel 'Laskar Pelangi' itulah gerbang besarku menuju novel-novel lainnya". 

Penjelasan yang panjang lebar dari Mala. Dana mengangguk pelan. Dirinya angkuh? Mungkin saja. Dia juga tidak membantah kenyataan bahwa dirinya memandang enteng buku-buku sastra. 

"Kamu... pernah membaca novel? Atau, apapun tentang sastra?" Tanya Mala pelan. Dana menghentikan langkah kakinya. Dia berpikir sebentar. Lalu, dia mengingat sesuatu. 

"Ada. Sebuah buku yang aku pinjam di perpustakaan sekolah. Aku mau meminjam, ya, karena sampulnya kupandang menarik saja. Judulnya, ah, seingatku 'Kisah-kisah Tengah Malam'. Aku tidak begitu ingat. Yang jelas, buku itu berisi cerpen. Horror. 

Salah satunya, seingatku, tentang seseorang yang terjebak hujan, lalu menginap di sebuah kastil. Di kastil itu, ada sebuah lukisan wanita. Yang, menurut seseorang itu, selalu mengamatinya. 

Intinya, kisah-kisah seperti itu", jelas Dana. 

Mala tersenyum. Dia sudah tahu, buku apa yang dimaksud oleh Dana. Malahan, dia juga telah membaca buku itu. Sepertinya, buku itu selesai dibacanya ketika menjelang libur semester ganjil yang lalu. 

"Ah, kamu memperlambat langkahku saja. Bye. Sampai jumpa lain waktu". Dana melambaikan tangannya sembari berjalan ke luar. Mala membalas lambaian tangan tersebut. Dia menyadari, bahwa pertemuan mereka setiap sore sudah berakhir untuk kali ini. Lagian, untuk apa juga baginya untuk memperlambat langkah Dana. Padahal, dirinyalah yang meminta Dana untuk pulang. Ibunya Dana telah menunggu. 

Namun, sejenak kemudian, Mala mengingat sesuatu. Kapan jadinya ke mall? Besok adalah hari Minggu. Biasanya mereka ke mall di kota. Kalaupun tidak ada teman-teman yang lain, maka cukup Dana dan Mala saja yang pergi mejeng-mejeng di sana. Dengan cepat Mala berlari keluar, lalu mencari-cari Dana. 

Sementara itu, di luar rumah Mala, ayah dan abangnya Mala terlihat asyik berlomba suara dengan dua ekor burung balam kesayangan mereka. Kebiasaan aneh ini dimulai ketika ayah Mala mendapat hadiah dua ekor burung balam dari temannya. Kalau berbicara ayahnya Mala, tidak heran kalau dirinya suka meniru suara burung. Akan tetapi, berbeda dengan abangnya Mala. Laki-laki itu tidak pernah memelihara burung. Di masa awal, dia sangat menolak keberadaan burung-burung balam itu. Disuruh apapun tentang perawatan burung, dia kelenjeran duluan. Akan tetapi, dalam perjalana waktu, abangnya Mala malah ketularan tradisi meniru suara burung. 

Begitulah adanya saat ini. Ayah dan abangnya Mala begitu asyik menirukan suara burung balam. Dua ekor balam di dalam

 kadang yang menggantung ikut menyahuti karena telah terbiasa. Hingga matahari terbenam sempurna, konser suara burung ini belum akan berhenti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun