"Siapa gadis kecil itu, Nenek??" kata Arka. Perjalanan panjang mencari kayu bakar di perbukitan bagian barat desa, hal itu tidak memengaruhi fokus Arka sedikitpun. Sekali dia melihat seorang gadis, dia langsung terkesima. Padahal dia masih berusia enam tahunan masa itu. Apa benar seorang bocah berusia enam tahun bisa merasakan sesuatu yang berada di luar dimensi usianya?? Entahlah.Â
Yang jelas, Arka begitu penasaran dengan gadis berpakaian putih itu. "Oh, dia itu bernama Cantika, kalau tidak salah. Dia adalah anak dari juragan kios di pasar. Enak ya, jika lahir dari keluarga yang kaya. Tapi, sudahlah. Hal itu tidak perlu untuk diperdebatkan." Ucap nenek Nyon.
Sekali Arka menengok, dia (gadis itu) terlihat begitu cantik. Memang benar, rambutnya yang lurus dan hitam pekat itu terlihat berkilau di bawah sinar mentari. "Ah, nenek Nyon, ya?? Dari pasar ya, apa tadi membeli beberapa karung tomat segar dari kios kami?" kata ibu Cantika. Nenek Nyon tersenyum, sembari berkata, "Iya, benar Nyonya. Kami baru saja membeli beberapa karung tomat segar dari kios Anda. Tapi, ya, tentu aku dan cucuku ini tidak cukup kuat untuk menangkat beberapa karung yang dipesan. Jadi, kami akan menunggu sore nanti, ketika juru angkut datang membawa pesanan kami." Jelas nenek Nyon.
Hubungan mitra bisnis antara nenek Nyon dengan keluarga Cantika telah berlangsung sejak lama. Semenjak nenek Nyon masih muda, kira-kira dua puluh tahun yang lalu, itu adalah awal pertemuan antara dirinya dengan kakek dari Cantika.Â
Awalnya nenek Nyon sedang kehabisan stok tomat untuk diolah menjadi sup. Secara kebetulan, kakek Cantika datang menawarkan bantuan beberapa karung tomat segar. Ya, semenjak kejadian itulah, yang awalnya hanya berupa bantuan, sekarang telah menjadi suatu bentuk kemitraan sepanjang masa. Pasalnya, nenek Nyon memiliki rencana untuk mewariskan usaha dagangnya ini kepada Arka yang akan memasuki usia dewasa tidak lama lagi.
"Mama, siapa anak lelaki jorok itu?? Kenapa dia kucel sekali?? Apa dia tidak pernah mandi??" tanya Cantika kepada ibunya. Hal yang wajar, karena anak kecil cenderung bertanya apa adanya. Terlebih, latar belakang Cantika sebagai seorang anak orang kaya menjadikannya sedikit diskriminatif terhadap para miskin. "Dia itu bernama Arka. Masa iya, dia kucel??? Kelihatannya bersih loh. Mata kamu aja yang kemasukan debu. Hahaha," jawab ibu Cantika.
***
Masa ibu mengatakan hal yang demikian?? Memang benar kok, bahwa anak laki-laki itu kelihatan kucel dan kotor. Dari penampilan itu saja aku sudah tahu, bahwa dia itu adalah seorang kere. Apa ibu membela anak kucel itu?? Apa gunanya juga?? Tidak ada.
"Ibu, ayo kita lanjutkan perjalanan pulang. Aku lapar, aku ingin makan makanan yang lezat hari ini. Para pembantu di rumah sudah disuruh menyiapkan masakan yang lezat kan bu??" tanyaku. Ibu hanya mengangguk-angguk saja. Memang, sudah kebiasaan ibu yang selalu angguk-angguk ketika menjawab pertanyaan dariku.Â
"Ya, ibu. Janganlah hanya sekedar mengangguk-angguk begitu. Aku juga ingin mendengarkan jawaban dari suara ibu. Masa, sama Cantika ibu berlaku demikian??" aku berusaha memelas. Ibu memandangiku, wajahnya sangat kebingungan. Wajar saja, permintaan polos dari putrinya ini, sepertinya hal itu membuat ibu bertanya-tanya.Â
"Iya, Cantika. Ibu sudah bilang sama para pekerja yang ada di rumah. Jangan khawatir. Nanti, setiba di rumah, kamu bisa langsung menyantap beberapa gulai yang diolah dari bahan terbaik." Yay!!! Akhirnya ibu bersuara.
Belakangan hari ini, sepertinya itu adalah rentetan hari ketidakberuntungan bagiku. Bagaimana tidak, aku yang biasanya selalu menjadi yang terbaik di kelas, pada ulangan terakhir, aku hanya sanggup berada di tingkat kedua. Sungguh tidak bisa diterima!! Apa istimewanya, maksudku apa hebatnya anak lain yang sekarang menempati tahtaku itu?? Perasan dia biasa-biasa saja. Bahkan, selama ini dia lebih banyak diamnya daripada berbicara. Tidak mungkin menurutku jika orang semacam itu bisa berubah dengan cepat. Apalagi kalau dia Cuma belajar semalamam suntuk saja.
Tidak berhenti sampai di situ, beberapa hari yang lalu, ahli dapur terbaik yang kami miliki mengundurkan diri. Aku sangat terkejut, bahkan sempat terperanjat. Ahli dapur itu beralasan bahwa dia ingin mengolah sawah sekarang. Loh, kok bisa seperti itu?? Padahal, selama ini aku sudah terbiasa dimanja dengan olahan makanan yang dia buat.Â
Makanannya terasa begitu nikmat, bumbunya pas dan tidak pernah antara gosong atau masih mentah hasil masakannya. Kalau aku berharap sama makanan ibu, lebih baik, jangan deh. Ibu pernah sekali membuat makanan, seingatku semacam gulai. Dan hasilnya, sungguh berupa mimpi buruk di dunia nyata.
"Ibu, apa ibu ada rencana untuk membuat adek??" Hmm, mengapa aku menanyakan hal semacam itu, ya?? Apa aku masih sadar?? Dengan cepat, tangan kiriku yang sedari tadi menggenggam tangan kanan ibu, sekarang berada di mulutku. Ya, aku menutup mulutku dengan wajah yang penuh tekanan. "Oh tidak. Aku bicara apa, sih???" Keringat dingin mengucur dengan sangat deras. Aku, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Otakku terasa kosong, tidak ada pikiran. Lebih dari itu, aku tidak berani sedikitpun mengangkat wajahku ke arah ibu. Takut!!! Aku sangat takut.
"Ya, bersabar aja dulu. Sekarang belum ada waktu antara ibu sama bapak kamu buat begituan. Jangan mendesak begitu. Ketika kamu sudah dewasa dan diliputi oleh berbagai kesibukan, kelak kamu juga akan mengerti." Tandas ibuku.
"Iya, Bu." Hanya itu, hanya itu yang bisa aku katakan. "Syukurlah! Ibu tidak terlalu marah."
***
"Hey, lihat!!! Nyonya dan puteri Cantika sudah kembali. Segera persiapkan hidangannya. Segera rapikan meja makan itu!!!"
Kata-kata itu lah yang sempat aku dengar ketika kami masih berada di luar. Entah darimana pembantu itu mengetahui bahwa kami sudah kembali. Pasalnya aku lihat, hampir semua jendela tertutup. Apa dia punya ilmu sihir??
"Bu, aku mau pergi ke rumah pak guru Mul dulu ya. Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan," pintaku. Ibu hanya menangguk-angguk, lagi. Kekesalanku memuncak kali ini. Aku tahu, sangat tahu, kalau ibu itu memang agak jutek orangnya sama anggota keluarga sendiri.Â
Bagiku, semua keramahtamahan yang dia tampakkan kepada orang banyak hanya sekedar topeng. Dia kan ingin jadi terkenal di hadapan semua orang. Masalah angguk-angguknya barusan, aku benar-benar marah karena dia sedang asyik berbicara (gossip?) dengan ibu-ibu lain. Aku tidak tahu, apakah dia mendengarkan perkataanku atau tidak. Sungguh menyebalkan.
"Hey, kenapa kamu mau menjual banyak karung tomat segara sama si Nyon miskin itu?? Apa dia sanggup membayar lunas?? Meski kedai sup tomat rendahannya itu selalu laku, tentu tidak mungkin penghasilannya bisa disamakan dengan golongan kita ini. Jujurlah, apa si Nyon itu membayar kontak??"
"Tentu tidak!!! Sampai sekarang saja, si Nyon busuk itu telah berhutang dua ribu lembaran kertas negara kepada kami. Mengerikan bukan??? Tapi, itu tidak masalah. Kami akan memberi waktu sampai angkanya benar-benar tidak bisa ditolerir lagi. Setelah itu, kami akan merebut kedai sup tomatnya itu. Kemudian kami mengusirnya. Setelah itu, kedai itu akan menjadi milik kami. Kami tinggal melanjutkan apa yang telah susah payah didirikan oleh nenek tua itu. Hahaha."
Itulah beberapa transkrip percakapan yang berhasil aku tangkap. Tidak mungkin!!! Apa ibu selicik itu orangnya??? Ah, sudahlah. Aku tidak mau memikirkan perkara orang dewasa dulu.
Rumah pak guru Mul, sebenarnya tidak begitu jauh dari tempat tinggalku. Cukup berjalan kaki selama lima menit, dan sampailah. Rumahnya terkesan sederhana, jika dikomparasikan dengan gaya-gaya rumah yang lazim ditemui di perumahan kaya ini. Rumahnya hanya berupa satu ruangan yang mencakup semua, atapnya dari jerami dan terdapat beberapa bunga di depan rumahnya.Â
Aku suka berada di sana. Selain jauh dari perbincangan tidak berguna, rumah itu juga penuh dengan buku-buku. Setiap kali aku ke sana, Pak Mul selalu mempersilahkan aku membaca beberapa koleksi bukunya. Lebih dari itu, terkadang aku juga diperolehkan membaca beberapa karangan yang dia buat berkaitan dengan kejadian-kejadian di desa TarukoPedang ini.
"Pak Mul, Pak Mul!!! Apa Anda ada di rumah???"
Tidak ada respon. Mungkin saja Pak Mul sedang ada keperluan di luar. Tapi, tentu aku harus mencoba memastikan dua kali lagi. "Pak Mul, Pak Mul!!! Apa Anda ada di rumah???" dan sekali lagi tidak ada respon. Asaku mulai pupus. Akan tetapi, di pengharapan terakhir, aku mencoba sekali lagi, "Pak Mul, Pak Mul!!! Apa Anda ada di rumah???"
"Apa yang kamu lakukan?? Aku berada di luar sedari tadi. Beruntung aku pulang di saat yang tepat. Kalau tidak, tentu, kamu akan pulang dengan rasa sedih yang luar biasa." Ah, suara itu, itu adalah suara Pak Mul. Aku kaget ketika melihat beliau berada di samping kiriku. Tidak terlalu dekat sih, kira-kira berjarak 100 meter. "Syukurlah!! Saya kira saya akan pulang dengan tangan kosong tadinya."
"Jangan berkata seperti itu. Ayo, silahkan masuk. Ada keperluan apa datang hari ini?? Hmm, entahlah. Lebih baik diceritakan di dalam. Kalau di luar sini, takutnya tumpukan batu atau kerumunan semut akan menafsirkan berbeda."
"Baik, Pak. Tapi, tentu saya tidak bisa masuk sekarang. Pintu rumahnya masing terkunci. Dan, kuncinya ada sama bapak!!!"
"Tentu!! Ini kuncinya."
***
Tata ruang rumah Pak Mul tidak berubah sedari dulu. Ruang tamunya, bisa dikatakan, juga sekaligus berfungsi sebagai ruang belajar. Di samping kiri-kanan ruangan, terdapat banyak lemari buku yang memuat banyak sekali buku-buku kuno. Di lantai juga berserakan banyak kertas, entah itu bagian dari transkrip kuno atau memang murni tulisan dari Pak Mul. Tempat tidurnya juga berada di sudut kiri ruangan. Tidak ada dapur; kalau merasa lapar, Pak Mul biasa pergi mencari makanan keluar. Sementara kakusnya?? Kakus memiliki ruang tersendiri, jauh di belakang rumah.
"Ini, lihat!!! Aku berhasil menemukan beberapa kerang langka di sungai. Aneh sekali, padahal kerang ini sudah jelas-jelas terlihat langka. Namun, tidak banyak orang yang menyadarinya. Jumlah mereka juga melimpah, di sepanjang aliran pantai barat mudah ditemukan. Lihatlah, lihatlah!!!"
Hah!?? Sepanjang pantai barat?? Apa Pak Mul barusan dari tempat itu??
"Anu, apa bapak barusan dari pantai barat itu?? Ngapain pergi sejauh itu?? Dan, apa itu hanya demi beberapa buah kerang??" tanyaku penasaran.
"Kamu tentu belum paham apa yang suka saya kerjakan, Cantika. Kalau kamu tidak tertarik dengan kerang, tentu kamu lebih tertarik terhadap penyelesaian masalahmu. Coba ceritakan, apa yang sedang mengganjal di kepalamu!!"
Hmm, itu adalah sebuah ide yang sangat bagus. Daripada capek-capek memikirkan sekaligus memperdebatkan keberadaan beberapa butir kerang langka, lebih baik antara aku dan Pak Mul memikirkan ganjalan di pemikiranku saat sekarang ini.
"Aku hanya penasaran, mengapa anak-anak dari kalangan kere terlihat kotor dan kumuh begitu? Apa mereka tidak pernah mandi?? Atau, apa mereka pernah sekali menginjakkan kaki di ruang kelas?? Aku tidak pernah melihat mereka." Tanyaku. Pak Mul menarik nafas panjang. Mungkin dia risih?? Tapi, kelihatannya tidak. "Pertanyaan yang menarik. Aku akan mencoba menjawab. Maafkan kalau jawabannya jelek."
"Itu hanya ilusimu saja. Sebenarnya, tidak ada bedanya antara anak-anak dari kalangan kere dengan anak-anak dari kalangan kaya. Toh, kalian sama-sama manusia, kan??? Lalu, mengapa perlu mempermasalahkan hal yang tidak perlu dipermasalahkan?? Memang benar, anak-anak dari golongan kere lebih coklar kulitnya. Tentu saja demikian, mereka lebih sering terpapar mentari daripada anak-anak manja seperti kalian. Masalah sekolah, aku kurang tahu bagaimana persisnya. Tapi, tetap ada sekolah di kawasan kere. Hanya saja, mungkin, cara mereka berbeda daripada cara kita." Jelas Pak Mul panjang lebar.
Sejujurnya, aku banyak mengiyakan jawaban dari guruku tersebut. Tapi, "Pak Mul, apa hanya karena mereka kurang harta, terus lebih coklat dan tidak terlalu pintar membuat mereka diperlakukan layaknya budak belian??" tanyaku sekali lagi. Pak Mul kembali menjawab dengan tenang, "Tidak! Itu adalah penyataan kuno dari para tetua kalangan kaya yang kulot.Â
Pemikiran sempit itu harus diubah. Bagaimanapun, kita tidak bisa dianggap sebagai golongan kaya tanpa keberadan dari golongan kere. Lagipula, semua bidang usaha yang kita geluti mengambil banyak tenaga kalangan kere. Jika ada insentif bodoh untuk mengusir kalangan kere dari tempat ini, itu benar-benar suatu ajuan yang sangat bodoh. Memangnya, apa para tuan tanah sudah cukup bertenaga untuk mengolah tanah yang keras itu selama setengah hari penuh??"
Insentif mengusir para kere?? Hal macam apa lagi itu?? Apa rencana licik Ibu juga ada kaitannya dengan insentif bodoh itu??
 "Maaf, Pak Mul. Tapi, insentif yang ada katakan tadi, maksudnya apa ya??" aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Hahaha, aku keceplosan, ya?? Tapi, memang itu lah yang sedang naik ke pemikiran para kaya kulot akhir-akhir ini. Tapi, mohon maaf, aku tidak bisa berkomentar lebih banyak. Karena memang hanya itu lah yang aku ketahui."
Praktis, aku tidak bisa berkata apa-apa. Apa itu benar?? Apa benar semua kalangan kere akan diusir dari daerah ini?? Untuk apa?? Pembersihan?? Apanya yang dibersihkan kalau begitu?? Benar sekali kata Pak Mul, kalau para pekerja keras itu diusir dari tempat ini, lalu, siapa yang akan menggarap sawah atau siapa yang akan menjaga para ternak??
***
"Bagaiamana masakannya, sayang?? Apa cukup lezat di lidahmu??" tanya ibuku. Aku tidak bisa menjawab saat itu juga. Baru satu cicipan yang aku rasakan. Ini adalah sebuah fakta, aku begitu telaten jika harus berurusan dengan rasa dari suatu makanan. Aku mencoba berkali-kali, dua cicip, tiga cicip dan empat cicip. Ibu menanti jawabanku dengan sabar. Para pembantu semakin berat nafas mereka. Mereka begitu takut, andaikata masakan mereka kurang lezat olehku, tentu konsekuensinya begitu berat. "Hmm, lumayan Ma. Setidaknya, ini cukup untuku mengisi kekosongan dari ahli dapur kita yang lama," tandasku.
Suka cita terlihat di ruangan itu, beberapa pembantu saling berpelukan, beberapa cukup saling berpegangan tangan, sedangkan sisanya cukup senyam-senyum saja. Dengan begini, berarti ini adalah suatu prosesi resmi diterimanya mereka sebagai pembantu tetap di rumah keluargaku. Karena, ya, memang begitulah peraturannya. Mundurnya ahli dapur yang lama, berarti para pembantu yang lain juga harus ikut mundur. Diterimanya masakan ahli dapur yang baru, berarti hal ini mengamankan posisi para pembantu yang tadinya hanya magang itu.
"Ibu, aku ingin menanyakan banyak hal sebenarnya. Terutama, di sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolah, aku sering mendengar desas-desus. Sebagai anak yang baik, aku ingin Ibu sendiri yang akan memberi jawaban kepadaku." Aku berusaha berbicara dengan penuh tata krama. Kata-katanya pun juga aku usahakan merupakan pilihan kata paling lembut. Aku tidak ingin Ibu merasa tersinggung ataupun menjadi menaruh kecurigaan tidak perlu kepadaku.Â
"Ya, sayang. Tapi, tentu kita akan membicarakannya malam nanti. Jadi, bersabarlah dulu ya." Jawab ibu. Aku tidak bisa berkata lebih. Jika memaksa, tentu upaya ku yang lembut ini akan gagal. Kecurigaan adalah hal yang paling mudah ibu berikan kepada orang lain, bahkan terhadap anggota keluarganya sendiri.
"Baik, Bu."
***
Keadaan mulai sedikit lebih dingin, wajar, mentari sudah semakin tergelincir ke arah barat. Kali ini, atau lebih tepatnya, waktu yang seperti ini sangat cocok dimanfaatkan untuk pergi main-main ke luar. Perutku sudah kenyang dan juga aku sudah diberi izin oleh ibu untuk pergi ke luar sebentar. Jadi, apa lagi yang perlu aku khawatirkan?? Para penjahat?? Itu mustahil. Di kawasan kaya, sangat banyak tentara desa yang melakukan patroli di sana sini. Jadi, membuka celah untuk melakukan tindak kejahatan tetap dirasa cukup sulit.
"Hmm, bagusnya aku pergi ke mana ya??"
Menanggapi pertanyaan yang aku buat sendiri, sejujurnya aku lebih ingin melangkahkan kaki ku ini untuk mencari kebenaran dari insentif itu. Apa benar hal itu?? Kalau itu Cuma bohongan, rasanya kurang hajar sekali yang membuat berita bohong separah itu. Yang lebih kacau lagi, golongan kaya yang paling terdidik pun juga ikut-ikutan terkena getah dari rumor yang meresahkan itu. Jadi, pada intinya, aku harus menemui langsung seseorang yang sangat berkuasa di kawasan kaya ini.
Di dekat gerbang utama masuk desa, ada sebuah rumah yang sangat besar. Jika dibandingkan dengan rumah-rumah lain di kawasan ini, perbandingannya cukup jauh; rumah kami dapat dikatakan setara dengan rumah para kere sedangkan rumah yang besar itu bagaikan rumah kaya dengan ukuran sepuluh kali lipat. Di depan rumah itu, terdapat sebuah kantor pemerintahan kawasan kaya yang tidak kalah besar ukurannya. Kedua bangunan tersebut sering dianggap sebagai tempat suci bagi para orang kaya.
Siapa pemilik dari tempat itu?? Jawabannya sudah sangat pasti, siapa lagi kalau bukan keluarga King. Mereka adalah yang paling kaya di daerah ini. Kekuasaan mereka bahkan dianggap setara dengan lima tetua yang kebanyakan berasal dari golongan kere. Jadi, bisa dikatakan bahwa Keluarga King adalah penyeimbang dari kekuasaan Lima Tetua.
"Tapi, apa mereka ada di rumah ya?? Mereka kan tergolong kalangan yang sangat sibuk. Tapi, ya, mudah-mudahan saja mereka berada di tempat," pikirku.
***
Fiuuh, perjalanan yang lumayan ini, akhirnya terbayarkan juga. Sekarang aku berada di batas desa, sekaligus aku berada di depan rumah Keluarga King. Ingin cepat-cepat mengetuk pintu, akan tetapi, tubuh terasa begitu penat. Aku butuh sedikit istirahat. Beruntung sekali aku hari itu, setidaknya ada dua hal yang membuatku berpikiran demikian: pertama, ternyata Keluarga King berada di rumah. Kedua, di samping kantor pemerintahan terdapat sebuah kedai teh yang siap melayani para pengembara ataupun para golongan kaya yang ingin sesekali mencicipi hidangan kelas bawah.
Untuk menghilangkan penat, aku memutuskan untuk pergi ke kedai itu terlebih dahulu. Tentu saja, aku tidak bisa mengompromikan keadaan fisikku ini. Aku harus mengakuinya secara jujur, aku tidak sekuat para gadis apalagi para anak laki-laki lain. Setidaknya, aku harus mengisi sedikit lambungku ini.
"Permisi..." itulah yang pertama kali aku katakan. Ruangan dalamnya cukup luas, kira-kira terdapat 20 meja panjang di dalam sana. Di dekat pintu masuk, terdapat meja kasir yang sedikit lebih tinggi dari tubuhku. Para pekerja di sini, sejujurnya, berasal dari kalangan kere. Tempat ini adalah kepunyaan dari Keluarga King. Baik juga mereka ternyata.
Aku memutuskan untuk duduk di salah satu dari dua meja yang masih kosong, letaknya di bagian sudut kiri ruangan, paling sudut. Cukup aneh dan terkesan janggal, meja panjang dengan dua buah kursi panjang seharusnya bisa memuat sepuluh orang sekaligus. Akan tetapi, ini hanya untuk aku sendiri saja. Terlebih, di ruangan itu, hanya aku sendiri yang berasal dari golongan kaya. Sementara selebihnya adalah para pengembara yang antara baru datang ke negeri ini atau yang akan pergi melanjutkan perjalanan mereka.
"Permisi, Kakak. Apa ada yang bisa saya bantu??"
Seorang pelayan akhirnya datang. Dia seorang anak perempuan kecil, sama kumalnya dengan si Arka itu, mungkin?? Akan tetapi, pakaiannya begitu rapi, wajarlah, dia bekerja di kawasan elite. Awalnya aku bingung ingin memesan apa. Sebelum akhirnya aku memutuskan apa-apa saja yang akan aku pesan, "Satu sajian teh dengan manisan lokal. Jangan lupa air putihnya sekalian." Untuk saat sekarang ini, hanya itu yang aku butuhkan.
"Mohon bersabar ya, Kak. Pesanannya akan segera datang."
Aku tahu, sangat tahu, kalau pesananku akan datang. Tapi, untuk berapa lama aku harus menunggu?? Aku tidak suka menunggu lama-lama. Selama ini, apa yang aku pesan harus diprioritaskan. Tapi, apa mereka paham nilai itu di tempat ini?? Bikin kesal saja pelayan dekil itu.
"Wah-wah, untuk apa seorang gadis kecil datang ke tempat ini?? Apa sekedar pergi jalan-jalan menjelang hari sore, atau sekedar ingin mengetahui kehidupan di daerah perbatasan desa?? Saya begitu penasaran, Puteri Cantika."
Ah, tidak ku sangka aku seberuntung ini. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ya, seperti itulah keberuntungan yang melanda diriku saat sekarang ini. "Ah, Tuan Labeyaume King!!! Kebetulan sekali, saya juga ingin menanyakan beberapa hal kepada Anda. Awalnya saya berharap menemui Anda di rumah, tapi, ternyata bisa juga kita bertemu di tempat ini ternyata." Cetusku.Â
Orang tua itu hanya tertawa mendengar perkataanku itu. "Tentu, tentu. Saya juga berharap perbincangannya bisa diadakan di rumah saya saja. Bagaimana kalau Puteri datang ke rumah sekarang juga?? Ya, jangan bingung begitu. Pesanan Puteri akan diantarkan langsung ke rumah saya nanti. Bagaimana?? Saya pikir Puteri tidak akan menolak penawaran saya ini." Benar sekali! Aku tidak akan menolak penawaran semacam itu. "Baik, Pak."
***
Keadaan rumah Keluarga King memang berada jauh di atas ekspektasi ku. Desain dalam ruangannya benar-benar sangat elegan. Tidak pernah ada satupun rumah dari kawasan kaya yang pernah aku bertamu ke dalamnya mengalahkan gaya desain seperti ini. Memang, rumahnya hanya satu lantai. Tetapi, berbagai pernak-pernik yang digunakan untuk menghias dalam rumah benar-benar antik. Bisa dikatakan, bahwa seluruh yang ada di ruangan tamu ini adalah semua peninggalan artefak TarukoPedang semenjak zaman klasik.
"Terlalu lama Puteri melihat-lihat semua barang antik itu. Hahaha, jangan terlalu terpaku dengan bentuk mereka yang eksotis. Toh, kenyataanya mereka masihlah berupa peninggalan dari abad-abad yang telah berlalu. Tidak ada lagi orang-orang yang berminat memiliki artefak-artefak itu. Selain karena harganya yang sangat mahal, juga tidak terlihat lagi fungsi praktis mereka. Tentu, bagi kalangan awam, lebih baik membeli dan memiliki barang-barang terbaru yang lebih murah dan lebih jelas terlihat kegunaannya."
Ya, aku cukup setuju, sih. Bagaimana pun, benda-benda ini meskipun memiliki kesan yang begitu misterius dan menggugah rasa keingintahuan, akan tetapi tetap saja tidak seluruhnya masih bisa digunakan di zaman sekarang ini.
Meski demikian, pandanganku tetap tidak bisa terlepas dari pedang yang dipajang di dinding itu. Tersarung dengan sempurna, pedang itu seakan-akan memiliki kekuatan yang begitu menakutkan. Meski telah berusaha mengalihkan pandangan, tetap saja beberapa kali aku selalu melirik ke arah pedang tersebut. "Hahaha, ternyata Puteri juga memiliki ketertarikan dengan pedang itu, ya?? Tidak apa, setiap orang berhak memiliki rasa ketertarikan untuk apapun. Tetapi, ya, itu adalah sebuah pedang yang sudah berkarat.Â
Makanya dipasangkan sarungnya seperti itu. Pedang itu berjenis cenangkas. Lihat saja bentuknya, itu lurus dan panjang." Penjelasan yang demikian, aku pikir, sudah menjawab sebagian besar dari pertanyaanku tentang pedang itu. Tapi, ya, tentu aku ingin melihat dengan dekat gagang dari pedang itu. Dari kejauhan, gagangnya terlihat bersinar-sinar. Apa karena gagangnya terbuat dari besi yang dilapisi perak?? Entahlah.
"Permisi, Tuan King dan Puteri. Saya membawa pesanan yang tadi dipesan. Diizinkan kah saya masuk??" Pelayan tadi!!! Cukup cepat juga ternyata. "Silahkan. Diletakkan di meja ini. Hati-hati, ya. Jangan sampai tumpah." Instruksi Tuan King. "Baik, Tuan."
Dan lagi, mataku tidak bisa teralikan dari pedang itu. Rasanya aku ingin segera melompat dari tempat duduk ini dan segera meraih pedang itu. Entah mengapa, rasanya pikiran ini hanya tertuju kepada pedang tua itu saja. "Hahaha, tidak saya sangka, Puteri ternyata juga bisa terpengarug oleh aura mistis yang dimiliki oleh pedang itu. Tidak apa-apa, jangan dilawan kehendak jahat pedang itu. Ikuti saja apa yang diinginkan oleh pedang itu." Ucap Tuan King. "Eh, berarti, saya boleh memegang pedang itu,Tuan King??" aku memastikan. Tidak ada jawaban verbal, melainkan Tuan King hanya menangguk-angguk kecil.
Ini adalah suatu kesempatan besar!!! Aku tidak bisa lagi menolak keberadaan pedang itu. Aku harus segera meraihnya. Pedang itu, terlihat begitu besar. Gagangnya ternyata tidak memiliki pola, polos saja. Akan tetapi, ketika aku memegang pedang itu, ada semacam energi yang mengalir bebas ke tubuhku. Aku tidak paham apa yang terjadi. Apa ini semacam sihir? Atau, apakah ada semacam energi lain yang belum diketahui??
"Bagaimana, Puteri?? Bagaimana kesannya setelah memegang pedang itu?" Pertanyaan Tuan King itu, bagaimanapun juga, adalah semacam penyelamat bagiku. Aku, yang seakan-akan tersedot ke semacam ruang yang tidak kasat mata. "Ah, iya, Tuan King?? Hmm, aku, aku rasa ini sangat bagus. Begitu indah kesannya. Benda ini, maksudku, pedang ini memang pantas dipandang sebagai semacam peninggalan bersejarah yang bernilai tinggi." Aku, aku terbata-bata seperti itu, ya?? Tidak perlu seperti itu sebelumnya. "Baguslah kalau begitu."
Lupakan, kali ini, benar-benar lupakan tentang pedang itu untuk sementara waktu. Kali ini, aku benar-benar harus memusatkan perhatianku kepada tujuan awal aku datang ke tempat ini, yaitu untuk menanyakan segala hal tentang insentif.
"Maafkan aku, Tuan King. Saya datang ke sini, hmm, bukannya saya bertindak lancang ingin menanyakan hal ini. Akan tetapi, boleh kah Tuan menjelaskan kepada saya, tentang sesuatu yang dikenal dengan sebutan insentif??"
Fiuh... aku mengucapkan kata-kata itu dengan begitu lancar, plong aja rasanya. Aku tidak tahu, apakah pertanyaanku itu akan diterima oleh Tuan King atau tidak. Sesekali aku mencoba melihat wajah orang itu, sembari menikmati manisan yang aku pesan tadi, aku lihat wajah orang tua itu terlihat santai saja. Memang, sekarang dia terlihat menutup matanya, seperti orang berpikir dia. Tidak berapa lama, dia membuka matanya lagi dan mengatakan, "Hmm, baiklah kalau Puteri begitu penasaran. Saya akan memberitahu. Akan tetapi, tentu saya tidak menjamin kesiapan mental Puteri untuk menerima penjelasannya. Apa, apa Puteri sudah siap??"
Hmm, sejujurnya aku tidak tahu harus menjawab apa. Selama ini, aku tidak terbiasa mengatakan sesuatu yang tidak sejalan dengan kebenaran hatiku. Dengan kata lain, berbohong adalah hal yang paling jarang aku lakukan. Akan tetapi, apa aku mesti melakukan hal yang sebaliknya demi mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang sedang berputar-putar di kepalaku ini?? Aku berkeringat dingin. Sialan!!! Mengapa harus begini?? Aku lihat ke bawah, kakiku bergetar tidak karuan. Apa yang harus aku katakan??
"M.. m.. maaf... ta... tapi, saya belum siap. Akan tetapi, lagi, saya begitu ingin mengetahuinya. Jadi, jadi saya mohon, Tuan, King, eh, Tuan King..." Ucapku terbata-bata.
"Baiklah, kalau begitu..."
Detik jam terdengar begitu berat. Masa yang terlewat hanya untuk mendengarkan apa yang aku cari, rasanya ingin membuatku muntah. Ingin sekali rasanya aku pergi jauh-jauh. Akan tetapi, aku tidak bisa. Aku harus mendengarkan semua penjelasannya sampai akhir!!! Akan tetapi, aku tidak sampai hati mendengarkan semua ini. Tidak, ini tidak mungkin!!! Apa kita, maksudku, apa orang-orang kaya memang sepakat untuk melakukan hal sebejat itu???
***
Aku berjalan, dengan pelan sekali, tanpa bisa mendengarkan apa pun di sekitarku. Aku, aku masih dibebani oleh plot yang coba dirancang oleh para orang kaya. Aku, aku memang belum siap mental untuk mendengarkan hal semacam itu. Tapi, apa yang bisa aku perbuat???
"Hey, kamu gadis yang tadi kan??"
Suara itu, aku tidak kenal. Tetapi suara cempreng membuyarkan lamunanku.
"Lah!?? Kamu ternyata!!!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI