Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Cantika

20 Desember 2018   09:05 Diperbarui: 20 Desember 2018   09:11 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski demikian, pandanganku tetap tidak bisa terlepas dari pedang yang dipajang di dinding itu. Tersarung dengan sempurna, pedang itu seakan-akan memiliki kekuatan yang begitu menakutkan. Meski telah berusaha mengalihkan pandangan, tetap saja beberapa kali aku selalu melirik ke arah pedang tersebut. "Hahaha, ternyata Puteri juga memiliki ketertarikan dengan pedang itu, ya?? Tidak apa, setiap orang berhak memiliki rasa ketertarikan untuk apapun. Tetapi, ya, itu adalah sebuah pedang yang sudah berkarat. 

Makanya dipasangkan sarungnya seperti itu. Pedang itu berjenis cenangkas. Lihat saja bentuknya, itu lurus dan panjang." Penjelasan yang demikian, aku pikir, sudah menjawab sebagian besar dari pertanyaanku tentang pedang itu. Tapi, ya, tentu aku ingin melihat dengan dekat gagang dari pedang itu. Dari kejauhan, gagangnya terlihat bersinar-sinar. Apa karena gagangnya terbuat dari besi yang dilapisi perak?? Entahlah.

"Permisi, Tuan King dan Puteri. Saya membawa pesanan yang tadi dipesan. Diizinkan kah saya masuk??" Pelayan tadi!!! Cukup cepat juga ternyata. "Silahkan. Diletakkan di meja ini. Hati-hati, ya. Jangan sampai tumpah." Instruksi Tuan King. "Baik, Tuan."

Dan lagi, mataku tidak bisa teralikan dari pedang itu. Rasanya aku ingin segera melompat dari tempat duduk ini dan segera meraih pedang itu. Entah mengapa, rasanya pikiran ini hanya tertuju kepada pedang tua itu saja. "Hahaha, tidak saya sangka, Puteri ternyata juga bisa terpengarug oleh aura mistis yang dimiliki oleh pedang itu. Tidak apa-apa, jangan dilawan kehendak jahat pedang itu. Ikuti saja apa yang diinginkan oleh pedang itu." Ucap Tuan King. "Eh, berarti, saya boleh memegang pedang itu,Tuan King??" aku memastikan. Tidak ada jawaban verbal, melainkan Tuan King hanya menangguk-angguk kecil.

Ini adalah suatu kesempatan besar!!! Aku tidak bisa lagi menolak keberadaan pedang itu. Aku harus segera meraihnya. Pedang itu, terlihat begitu besar. Gagangnya ternyata tidak memiliki pola, polos saja. Akan tetapi, ketika aku memegang pedang itu, ada semacam energi yang mengalir bebas ke tubuhku. Aku tidak paham apa yang terjadi. Apa ini semacam sihir? Atau, apakah ada semacam energi lain yang belum diketahui??

"Bagaimana, Puteri?? Bagaimana kesannya setelah memegang pedang itu?" Pertanyaan Tuan King itu, bagaimanapun juga, adalah semacam penyelamat bagiku. Aku, yang seakan-akan tersedot ke semacam ruang yang tidak kasat mata. "Ah, iya, Tuan King?? Hmm, aku, aku rasa ini sangat bagus. Begitu indah kesannya. Benda ini, maksudku, pedang ini memang pantas dipandang sebagai semacam peninggalan bersejarah yang bernilai tinggi." Aku, aku terbata-bata seperti itu, ya?? Tidak perlu seperti itu sebelumnya. "Baguslah kalau begitu."

Lupakan, kali ini, benar-benar lupakan tentang pedang itu untuk sementara waktu. Kali ini, aku benar-benar harus memusatkan perhatianku kepada tujuan awal aku datang ke tempat ini, yaitu untuk menanyakan segala hal tentang insentif.

"Maafkan aku, Tuan King. Saya datang ke sini, hmm, bukannya saya bertindak lancang ingin menanyakan hal ini. Akan tetapi, boleh kah Tuan menjelaskan kepada saya, tentang sesuatu yang dikenal dengan sebutan insentif??"

Fiuh... aku mengucapkan kata-kata itu dengan begitu lancar, plong aja rasanya. Aku tidak tahu, apakah pertanyaanku itu akan diterima oleh Tuan King atau tidak. Sesekali aku mencoba melihat wajah orang itu, sembari menikmati manisan yang aku pesan tadi, aku lihat wajah orang tua itu terlihat santai saja. Memang, sekarang dia terlihat menutup matanya, seperti orang berpikir dia. Tidak berapa lama, dia membuka matanya lagi dan mengatakan, "Hmm, baiklah kalau Puteri begitu penasaran. Saya akan memberitahu. Akan tetapi, tentu saya tidak menjamin kesiapan mental Puteri untuk menerima penjelasannya. Apa, apa Puteri sudah siap??"

Hmm, sejujurnya aku tidak tahu harus menjawab apa. Selama ini, aku tidak terbiasa mengatakan sesuatu yang tidak sejalan dengan kebenaran hatiku. Dengan kata lain, berbohong adalah hal yang paling jarang aku lakukan. Akan tetapi, apa aku mesti melakukan hal yang sebaliknya demi mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang sedang berputar-putar di kepalaku ini?? Aku berkeringat dingin. Sialan!!! Mengapa harus begini?? Aku lihat ke bawah, kakiku bergetar tidak karuan. Apa yang harus aku katakan??

"M.. m.. maaf... ta... tapi, saya belum siap. Akan tetapi, lagi, saya begitu ingin mengetahuinya. Jadi, jadi saya mohon, Tuan, King, eh, Tuan King..." Ucapku terbata-bata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun